Mangrove Cegah Bencana dan Ciptakan Kesejahteraan

Penanaman mangrove
Endang Mustinah

Mangrove bisa menjadi benteng alam yang tangguh menghadapi bencana tsunami atau kenaikan muka air laut akibat tsunami. Pada saat yang sama, mangrove bisa bisa menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi untuk kesejahteraan petani.

“Produk yang bisa diolah menjadi sirup, minuman ready to drink, tepung untuk bahan kue atau jajanan coklat,” kata penyuluh kehutanan muda Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Santan, Kalimantan Timur Endang Mustinah saat diskusi Pojok Iklim, Rabu (13/1/2021)

Pojok iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman soal aksi nyata dalam pengendalian bencana perubahan iklim.

Endang salah satu jenis mangrove yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah Sonneratia ovata. Buah mangrove jenis itu bisa diolah menjadi banyak produk turunan seperti sirup, wedang, sampai minuman ready to drink dalam kemasan.

“Minuman dari buah Sonneratia ovata banyak mengandung vitamin C. Jadi biasa dijadikan doping bagi kami di lapangan di masa pandemi ini,” kata dia.

Jenis mangrove lain yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah Bruguiera yang diolah menjadi tepung. Tepung  bruguiera bisa dimanfaatkan untuk memuat kue-kue kering seperti eggroll atau semprong.

Pemanfaatan mangrove sebagai bahan pangan terus digenjot oleh Endang Mustinah bersama kelompok tani hutan (KTH) binaannya di Kota Bontang, Kalimantan Timur. Sebagian besar KTH binaan Endang diawaki oleh para srikandi alias kaum perempuan.

Menurut Endang, saat awal mula mendampingi masyarakat tahun 2010, mangrove sempat dipandang kurang bermanfaat. Oleh masyarakat mangrove sering ditebang untuk sekadar diambil kayunya atau dikonversi untuk pemanfaatan lain.

Padahal, peran mangrove sangat besar sebagai benteng bencana alam seperti tsunami dan kenaikan air laut. Apalagi, Kota Bontang adalah kota yang sebagian besar dikelilingi oleh laut.

“Mangrove penting sebagai benteng dari bencana alam,” katanya.

Secara telaten Endang mendampingi KTH yang ada di Kota Bontang. Meski secara teknis unit kerjanya tidak mencakup wilayah mangrove, namun Endang mendapat dukungan dari instansi pemerintah lain seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mahakam-Berau dan Balai Taman Nasional Kutai.

Saat ini mangrove yang dikelola KTH binaan Endang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kemampuan produksi bibit yang awalnya hanya 20.000 bibit per tahun kini sudah mencapai 300.000 bibit per tahun.

KTH yang didampingi Endang kini juga berstatus sebagai wanawiyata widyakarya dan siap menjadi lokasi pembelajaran bagi siapapun yang berminat. Mulai dari sesama KTH, pelajar hingga peneliti.

Endang menyatakan mangrove yang bagus tidak akan berarti jika masyarakatnya tidak sejahtera. Itu sebabnya berbagai upaya pemanfaatan mangrove seperti pengolahan produk terus dikembangkan.

Sugiharto