Membidik Potensi Wisata Buru

ilustrasi berburu

Perburuan satwa mungkin punya citra negatif. Namun dengan pengelolaan yang tepat, perburuan satwa diyakini bisa menggerakan perekonomian sekaligus mendukung konservasi keanekaragaman hayati. Banyak negara di dunia yang terbukti berhasil mengelola wisata buru. Di Indonesia, perlu banyak pembenahan jika wisata buru mau digarap.

Demikian terungkap pada seminar daring bertajuk Prospek dan Tantangan Pengelolaan dan Perburuan Satwa Liar di Indonesia yang diselenggarakan Forum Kolaborasi Rimbawan Indonesia (FKRI), Kamis (30/7/2030).

Ketua FKRI Darwin Andi Tjukke menyatakan saat ini kayu bukan lagi primadona hasil hutan. Oleh karena itu berbagai potensi hasil hutan bukan kayu harus terus digali, termasuk pemanfaatan satwa liar. “Penangkaran satwa dan operasionalisasi 13 taman buru merupakan potensi yang besar yang selama ini belum tergarap,” katanya.

Dia menyatakan, jika dikelola dengan baik, wisata buru bukan saja menjadi penyaluran minat khusus, tapi juga mendukung konservasi keanekaragaman hayati sekaligus membuka lapangan kerja serta menyejahterakan masyarakat di sekitar lokasi.

Menurut Darwin Andi, sebelum wisata buru bisa dioperasionalisasikan, payung hukum yang ada perlu dibenahi. Termasuk penguatan peraturan pelaksana Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Darwin Andi berharap, seminar berseri yang diselenggarakan FKRI bisa memberi masukan kepada pemerintah terkait hal itu.

Ketua Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) Rahmat Shah sepakat soal besarnya potensi wisata buru. Rahmat yang juga seorang profesional hunter menyatakan besarnya potensi membuat banyak negara mengoperasikan wisata buru.

“Bahkan negara-negara yang sebenarnya ada di bawah Indonesia soal biodiversitas,” katanya.

Menurut dia, dengan konsep konservasi dan pemanfaatan, maka wisata buru tidak akan memusnahkan satwa liar, malah akan menambah populasi dan menjaga habitatnya. Pasalnya satwa yang dijadikan target adalah satwa yang bukan endemik atau mengalami kelebihan populasi. Satwa target juga bisa merupakan satwa yang jika dipertahankan malah akan mengganggu upaya konservasi secara keseluruhan.

Dana yang diperoleh dari wisata buru, kata dia, dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan konservasi, termasuk mendanai kegiatan pengamanan untuk mencegah aktivitas perburuan liar.

Rahmat mengungkapkan, harga paket wisata buru bisa tembus 300 ribu-500 ribu dolar AS (Rp4 miliar-Rp7 miliar) dengan satwa target yang masuk dalam kelompok big five (lima besar). Satwa  dalam kelompok big five adalah gajah, badak, singa, banteng, dan macan tutul.

Menurut dia, ada beberapa kategori operasionalisasi wisata buru. Pertama, wisata buru dimana areal perburuan adalah kawasan yang sengaja di beri pagar. Satwa target umumnya sengaja dilepasliarkan. Setiap jenis satwa ada bandrol harga tersendiri. “Ini sering disebut supermarket hunting,” katanya.

Operasionalisasi wisata buru ala supermarket ini banyak dipraktikan oleh sejumlah negara, termasuk di Asia, Amerika Serikat, dan Australia. “Sapi yang dijadikan satwa target di Australia itu sapi bali,” kata Rahmat.

Ada juga wisata buru yang termasuk dalam kategori sport hunting. Dalam kategori ini, satwa target benar-benar liar. Pemburu harus melakukan penjelajahan untuk mendapatkan target. Pemburu juga tak bisa mengambil jarak yang terlalu dekat karena target punya kesempatan untuk lolos. “Jaraknya bisa 100-200 meter,” katanya. Wisata buru kategori ini banyak dipraktikan di negara-negara Afrika.

Dia mengingatkan, karena tujuannya konservasi maka penikmat wisata buru haruslah beretika. Itu sebabnya pemburu tidak boleh melakukan perburuan di luar satwa target yang telah ditentukan. Peluru dan teknik menembak yang digunakan pun harus bisa memastikan satwa target langsung mati setelah ditembak. Jadi satwa tersebut tidak menderita akibat luka.

“Kita harus ingat tata krama. Wisata buru ini bukan untuk pemusnahan, pembantaian,” katanya.

Sekjen Pengurus Besar Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin) Fitrian Judiswandarta menekankan soal etika dalam perburuan. Menurut dia, dalam perburuan tidak boleh ada tembakan kedua yang dikhawatirkan akan membuat satwa menderita. “One Shot one kill. Makanya sebelum berburu ada perencanaan, senjata apa yang akan digunakan,” katanya.

Dia juga menyatakan perlunya setiap pemburu memiliki akta yang merekam aktivitasnya. Pemburu juga harus terus berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, selain dengan kepolisian terkait penggunaan senjata api.

Kajian


Pengembangan wisata buru di Indonesia sejatinya bukan baru kemarin. Sejak lama Indonesia memiliki kawasan yang ditetapkan sebagai Taman Buru. Tercatat ada 15 taman buru di seluruh Indonesia (lihat grafis).

Taman-taman buru tersebut menjadi bagian dari kawasan konservasi yang secara total luasnya di Indonesia mencapai 27,1 juta hektare. Meski taman buru sudah ditetapkan sejak lama, namun hingga kini operasionalisasi wisata buru belum pernah benar-benar diresmikan.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno menuturkan, perlu ada redefinisi jika wisata buru akan dioperasionalisasikan. “Masukan dari berbagai pihak sangat membantu,” katanya.

Dia mengingatkan, kawasan konservasi punya tujuan untuk menyangga kehidupan. Menurut dia, ada 6.700 desa yang berada di sekitar dan dalam kawasan konservasi. Selain itu, ada 1,8 juta wilayah adat yang sebagian besar di dalam kawasan taman nasional.

Menurut Wiratno, kawasan konservasi akan terjaga jika masyarakat merasakan manfaat dari keberadaannya. Seperti yang terjadi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Kawasan seluas 21.000 hektare itu mampu menyangga areal seluas 100.000 hektare pada 3 kabupaten dengan lebih dari 60 desa.

“Satwa liar bisa menjadi entry untuk memperkuat sistem penyangga kehidupan,” katanya.

Wiratno mengakui, perburuan bisa menjadi menjadi bagian dari pengendalian populasi. Meski demikian, manajemen hubungan antara predator puncak dengan mangsanya perlu benar-benar dipahami. “Di Jawa kalau mangsa diburu, akan ada problem besar. Maka redefinisi (wisata buru) dalam konteks kekinian menjadi sangat penting,” kata dia.

Menurut Wiratno, perlu dilakukan sejumlah kajian untuk mengoperasionalisasikan wisata buru. Kajian itu termasuk soal kepadatan satwa buru. Pembaruan soal jenis satwa yang dapat diburu juga perlu dilakukan. Selain itu pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan perlu dilakukan secara ketat.

Dia mengungkapkan, jika memenuhi persyaratan, wisata buru bisa saja dilakukan. “Misalnya di Barelang Rempang, dekat Singapura. Bisa dilakukan breeding rusa dan di restocking. Setelah sehat (populasinya), baru dilakukan perburuan,” katanya.

Wiratno menyatakan tantangan dalam pengelolaan satwa liar di Indonesia adalah perburuan liar, termasuk penggunaan jerat yang mematikan satwa. Dia berharap, jika wisata buru bisa dioperasionalisasikan maka pemburu legal bisa membantu menghentikan aktivitas perburuan liar.

Pembenahan

Pakar hukum lingkungan dan kehutanan Dr Budi Riyanto menuturkan banyak payung hukum yang mesti dibenahi sebelum bisa mengoptimalkan potensi wisata buru.

Dia menjelaskan, meski menjadi bagian dari Undang-undang No 5 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, kegiatan perburuan tidak menjadi bagian dari UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Meski demikian taman buru menjadi bagian dari UU 41/1999 tentang Kehutanan yang terbit belakangan.

“Jadi tidak tunduk secara strict (ketat) pada UU 5/1990 meski menjadi bagian dari kawasan konservasi. Akibatnya dalam taman buru ada kegiatan yang atraktif dibandingkan cagar alam, kawasan suaka alam, atau kawasan pelestarian alam,” katanya.

Dari situ kemudian terbit Peraturan Pemerintah (PP) No 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Menurut Budi, PP tersebut perlu disempurnakan dengan kondisi saat ini.

Khususnya terkait izin berburu, penggunaan alat buru dan klasifikasi satwa buru. PP pengelolaan taman buru perlu mengatur diantaranya tentang kriteria kawasan taman buru, pengelolaan, kelembagaan monitoring dan evaluasi kawasan.

Sugiharto