Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Swasembada pangan nampaknya merupakan harga mati bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk lima tahun mendatang (2024-2029). Kondisi ini dapat dimengerti setelah pemerintahan Joko Widodo dalam satu dekade lalu (2014-2024) belum mampu menciptakan swasembada pangan terbukti masih adanya impor beras dari negara lain, di tengah ketidakpastian global konflik Rusia-Ukraina maupun konflik Israel-Hamas yang melebar ke negara tetangga di Timur Tengah. Situasi dalam negripun tidak menguntungkan dengan laju pertambahan penduduk yang makin bertambah plus musim tanam yang tidak menentu akibat perubahan iklim yang melanda dunia.
Dwi Andreas Santoso, guru besar pertanian IPB University (Kompas, 21/11/2024) dengan gamblang dan sederhana menggambarkan bahwa swasembada pangan adalah jika sebuah negara memproduksi sebagian pangan dalam jumlah yang mendekati atau melampaui 100 persen dari yang dikonsumsi. Dengan kata lain mampu memenuhi kebutuhan pangannya dari produksi dalam negeri. Upaya swasembada pangan telah diupayakan pemerintah sejak pemerintahan Soeharto hingga pemerintahan Joko Widodo, namun peningkatan produksi pangan terutama komoditas padi sebagai bahan pangan pokok bangsa Indonesia tidak mampu mengimbangi laju pertambahan penduduk yang meningkat. Memang pemerintah Indonesia pernah mencapai swasembada pangan, terbukti Presiden Soeharto pada 1984 mendapatkan penghargaan Badan Pangan Dunia (FAO), namun penduduknya masih berjumlah 120 juta jiwa. Empat puluh tahun kemudian (2024) penduduk Indonesia telah mencapai tidak kurang dari 280 juta jiwa atau meningkat 2,3 kalinya. Kita harus belajar dari negara Republik Rakyat Tiongkok yang berpenduduk 1,40 milyar jiwa dan negara India yang berpenduduk 1,44 milyar jiwa mampu menyediakan pangan sendiri bagi penduduknya.
Intensifikasi
Untuk menggapai impian swasembada pangan dan meningkatkan produksi pangan terutama padi/beras, hanya da 2 (dua) cara yang dapat ditempuh pemerintah, yakni melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi sawah. Intensifikasi sawah yang dimaksud adalah meningkatkan produksi sawah baku yang ada seoptimal mungkin dengan teknologi, pemupukan dan pengairan yang cukup. Luas baku sawah Indonesia menurut Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019 seluas 7.463.987 ha. Dari luas baku sawah (2019), Jawa mendominasi (47 persen), disusul Sumatera (24 persen), Sulawesi (13 persen), Kalimantan (10 persen), Nusa Tenggara-Bali (6 persen), Maluku dan Papua (1 persen). Jika berdasarkan kualitasnya, maka ada sekitar 2,9 jt ha lahan beririgasi; 3,040 juta ha lahan tadah hujan, dan 1,523 juta ha lahan sawah rawa pasang surut/lebak. Lahan yang beririgasi, sebagian besar berada di Jawa, memiliki kualitas lebih baik dibandingkan jenis sawah lainnya (tadah hujan dan pasang surut). Intensitas tanam dapat dilakukan paling tidak dua kali dalam setahun pada lahan beririgasi, sementara pada sawah tadah hujan maupun pasang surut umumnya ditanami sekali setahun.
Sejak pemerintahan Jokowi (2014 hingga 2024), salah satu infrastruktur yang dibangun di bidang pertanian. Tercatat, 53 bendungan sudah diresmikan dan sisanya masih ada delapan bendungan yang belum dibangun dari target sampai 2024 lebih dari 61 bendungan. Membangun 4500 embung, 1,1 juta km jaringan irigasi dan pemanfaatan varietas unggul padi selama tujuh tahun terakhir. Infrastruktur pertanian berupa bendungan dan jaringan irigasi membuka peluang intensifikasi luas baku lahan sawah yang tadinya panen sekali dalam setahun menjadi tiga kali dalam setahun. Infrastruktur pertanian berupa bendungan dan jaringan irigasi membuka peluang intensifikasi luas baku lahan sawah yang tadinya panen sekali dalam setahun menjadi tiga kali dalam setahun. Di samping itu juga dapat memperluas pencetakan sawah baru (ekstensifikasi) sepanjang dapat dijangkau oleh sarana jaringan irigasi yang baru dibangun.
Sayangnya, intensifikasi sawah yang telah dilakukan sejak era orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, nampaknya sudah mencapai puncak kejenuhan. Dalam diskusi membahas dampak El Nino pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun. Data yang disampaikan Direktur Serealia Kementan M. Ismail Wahab memperlihatkan pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, lalu pada 2022 surplus hanya 1,34 juta ton. Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare. Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk peruntukan nonpangan.
Ekstensifikasi
Satu-satunya cara untuk menggenjot dan menambah peningkatan produksi padi/beras untuk mencapai swasembada pangan adalah dengan memperluas lahan baru untuk memproduksi komoditas padi melalui kegiatan ekstensifikasi. Ekstensifikasi dimaksudkan untuk menambah luas sawah baku yang ada melalui pencetakan sawah baru, food estate, budidaya kahan kering maupun program lainnya. Ekstensifikasi yang logis dan masuk akal hanya dapat dilakukan di lahan-lahan diluar P. Jawa yang masih luas dan pada umumnya adalah kawasan hutan dengan atau tanpa petani. Program ekstensifikasi dengan ataupun tanpa petani perlu digaris bawahi karena SDM petani diluar Jawa jumlahnya terbatas, dengan ketrampilan yang rendah. Oleh karena itu, dalam kegiatan food estate dan pencetakan sawah baru ini yang luasnya jutaan ha harus dilakukan dengan sentuhan teknologi total untuk mengefisienkan tenaga kerja di lapangan. Lupakan sementara kesehjahteraan petani di areal ekstensifikasi sebagaimana petani di areal intensifikasi yang hanya mengolah lahan sawah antara luas 0,25 – satu hektar.
Menurut buku “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit Desember tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) 120,5 juta hektare. Luas ini terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta hektare, hutan lindung 29,6 juta hektare dan hutan produksi seluas 68,3 juta hektare. Dari ketiga kawasan fungsi hutan tersebut, hanya hutan produksilah yang layak dan dapat dialih fungsikan dan dilepaskan kawasannya menjadi lahan sawah, food estate dan kebun komoditas pangan.
Stigma food estate melenyapkan kawasan hutan yang dihembuskan Walhi (Kompas, 17/05/2024), sesungguhnya tidaklah benar adanya. Dari luas 68,3 juta ha kawasan hutan produksi, yang mempunyai tutupan hutan (forest coverage) hanya 45,5 juta ha. Sedangkan sisanya seluas 23,3 juta ha sudah tidak mempunyai tutupan hutan (unforested) berupa lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar dengan sebaran hutan produksi terbatas (HPT) 5,4 juta ha, hutan produksi biasa (HPB) seluas 11,4 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,5 juta ha. Dari cadangan kawasan hutan prdouksi yang tidak mempunyai tutupan hutan seluas 23,3 juta ha ini (tanpa mengganggu hutan produksi yang masih mempunyai tutupan hutan dan hutan lindung), food estate maupun ekstensifikasi lainnya seperti pencetakan sawah baru dan program lainnya dapat memanfaatkan kawasan hutan ini lebih dari cukup tanpa mengganggu lingkungan dan fungsi ekologis kawasan hutan. Food estate sebagai lumbung pangan telah dibangun di Kalteng, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Papua Selatan ditargetkan untuk menambah produksi padi dari luas baku sawah yang telah dilakukan intensifikasi terutama di P. Jawa. Meski hasil dari kegiatan food estate saat ini belum optimal sebagaimana hasil dari sawah baku dari intensifikasi, namun pada gilirannya nanti setelah kondisi lahan food estate stabil akan memberikan hasil yang cukup memuaskan. Dalam APBN 2024, pemerintah mencatumkan target ketahanan pangan di bidang pertanian di antaranya adalah ketersediaan beras nasional menjadi 46,84 juta ton. Pemerintah juga menargetkan lumbung pangan (food estate) seluas 61.400 hektare terbangun di Kalimantan Tengah. Selain itu produksi padi di Kalteng, Sumatera Selatan, Papua Selatan juga ditargetkan sebanyak 5,06 juta ton.
Untuk meningkatkan produksi padi dalam mempertahankan swasembada beras, sebenarnya pemerintah tidak saja mengandalkan hasil produksi padi dari lahan baku sawah, tetapi juga memanfaatkan hasil padi dari lahan kering. Kegiatan perhutanan sosial sebagai bagian dari program reforma agraria yang memberi akses kepada masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk meningkat produksi padi melalui budidaya padi di lahan kering pada lahan-lahan dalam kawasan kegiatan perhutanan sosial. Kegiatan Kementerian Kehutanan (KLHK), yang mempunyai peluang untuk ikut andil membantu meningkatkan produksi pangan khususnya komoditas padi adalah kegiatan Perhutanan Sosial yang sekarang telah mencapai 8 juta ha dari target 12,7 juta ha. Potensinya sangat besar, dari target luas perhutanan sosial 12,7 juta ha, 50 persennya saja (kurang lebih 6 juta ha) ditanami padi lahan kering dengan sistem tumpangsari akan menghasilkan padi 18 juta ton brutto (asumsi 1 ha menghasilkan 3 ton padi) setiap kali panen.
IPB University meluncurkan varietas padi terbaru, yaitu padi 9G IPB. Ini temuan baru IPB atas padi unggul berupa padi gogo atau padi lahan kering. Varietas padi IPB 9G memiliki potensi hasil pada lahan darat mencapai 9,09 ton per hektare dengan produktivitas rata-rata 6,09 ton per hektare. Dengan varietas baru dari IPB itu, hasil bruto padi lahan kering dari lahan perhutanan sosial dapat mencapai 36 juta ton.
Masalahnya adalah lahan yang disiapkan untuk kegiatan perhutanan sosial tidak semuanya layak untuk tanaman padi lahan kering. Untuk lahan perhutanan sosial di Jawa dan sebagian Sumatera barangkali bisa dimanfaatkan. Namun tidak bagi lahan di Kalimantan dan sebagian Sumatera karena lahan hutannya berupa lahan gambut. Karena itu Kementerian Kehutanan bersama-sama Kementerian Pertanian sebaiknya melakukan pemetaan untuk memilah-milah kelayakan lahan hutan yang ada. ***