Membangun Persemaian Kehutanan Ideal

Pembibitan pohon
Pramono DS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Pernyataan Ketua delegasi Indonesia di COP 29 sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim, Hashim Djojohadikusumo Senin (11/11/2024) di Baku Azerbaijan yang menyebut bahwa sebanyak 12,7 juta ha hutan di Indonesia yang telah rusak akan direboisasi dalam rangka mengurangi emisi karbon di Indonesia, harus disikapi para rimbawan di Kementerian Kehutanan dengan bijak. Kenapa?

Sejarah masa lalu memberikan pelajaran sangat berharga tentang ketidakberhasilan kegiatan reboisasi ini. Bukankah reboisasi atau reforestasi yang selama ini dikenal sebagai program rehabilitasi hutan telah dilakukan sejak orde baru hingga terakhir pemerintahan Jokowi (1976 – 2024) telah dilakukan kegiatan yang sama dengan luas dan skala yang sama bahkan lebih besar dari itu. Kenapa tidak dilakukan evaluasi lebuh dahulu, berapa luas kumulatif kawasan hutan yang telah direboisasi hingga saat ini dan berapa luas kawasan hutan yang telah berhasil menjadi tutupan hutan (forest coverage) kembali? Hingga kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sekarang kembali menjadi Kementerian Kehutanan, belum sekalipun pernah merilis data keberhasilan reboisasi selama ini.

Masalah deforestasi dan reboisasi/reforestasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak ada habisnya bila diulas/dibahas tanpa berpegang pada data yang sama dan sahih (valid). Mengacu pada data dalam buku “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit Desember tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan luas hutan (bentang darat) Indonesia secara hukum (de jure) 120,5 juta ha.  Luas ini terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta ha, hutan lindung 29,6 juta ha, hutan produksi 63,4 juta ha. Dari luas 120,5 juta ha itu, yang masih punya tutupan hutan seluas 97,1 juta ha. Sedangkan yang tidak punya tutupan hutan alias lahan terbuka, semak belukar dan lahan terlantar seluas 33,4 juta ha, yang tersebar pada hutan konservasi 4,5 juta ha, hutan lindung 5,6 juta ha dan hutan produksi 23,3 juta ha.

Kesalahan reboisasi yang akut dan laten selama ini adalah pertama, prioritas sasaran lokasi reboisasi tidak jelas (hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi). Kegiatan reboisasi lebih banyak dilakukan di hutan produksi yang aksesnya lebih mudah dijangkau, padahal bencana hidrometeorologi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh rusaknya daerah hulu DAS yang pada umumnya adalah kawasan lindung (hutan konservasi dan hutan lindung). Kedua, kegiatan reboisasi masih dianggap sebagai sistem keproyekan dimana tanaman hutan hanya dipelihara dan dirawat hingga umur 3 tahun, selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam sampai tanaman menjadi pohon dewasa. Keberhasilan luas reboisasi selama ini dihitung berdasarkan jumlah bibit yang ditanam, bukan berapa luas tanaman menjadi pohon dewasa minimal umur 15 tahun (tananman sudah dianggap menjadi pohon dewasa). Namun, ada satu hal lagi yang sering dilupakan yakni ketersediaan bibit tanaman kehutanan berkualitas yang berasal dari persemaian tanaman kehutanan yang berkualitas juga (termasuk pemilihan jenis, distribusi bibit, lamanya bibit di persemaian dan seterusnya).

Paradigma Baru Reboisasi

Paradigma reboisasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dalam bentuk menanam pohon hutan (revegetasi) atau pengayaan (enrichment planting) untuk membangun hutan baru pada kawasan hutan yang telah mengalami proses deforestasi khususnya pada kawasan hutan yang tidak lagi mempunyai tutupan hutan (non forested). Reforestasi atau juga dikenal dengan istilah reboisasi seharusnya ditempatkan dalam kerangka (frame) membangun hutan kembali secara permanen sebagaimana keadaan sebelum terjadinya kegiatan deforestasi. Bentuknya dapat berupa hutan monokultur maupun hutan heterogen. Pisahkan dulu pengertian deforestasi di kawasan hutan produksi yang secara legal memang disahkan melalui perizinan dari pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam maupun hutan tanaman yang dikelola dengan prinsip lestari dan berkelanjutan yang akan direforestasi secara terus menerus setelah dilakukan penebangan/pemanenan (cutting).

Selama ini terdapat pemahaman yang salah yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) bahwa reforestasi adalah kegiatan menanam pohon yang  indentik dengan membangun hutan, yamg dikapitalisasi dari jumlah bibit atau anakan yang tanaman dalam  luasan tertentu untuk mereduksi (mengurangi) luasan kawasan hutan yang telah terdeforestasi yang luas terus bertambah akibat adanya laju deforestasi setiap tahunnya. Padahal membangun hutan adalah membentuk bibit atau anakan pohon yang ditanam tidak sekedar ditanam tetapi juga perlu dipelihara, dijaga dan dirawat menjadi pohon dewasa setidak-tidak telah berumur minimal 15-20 tahun. Dalam terminologi ilmu kehutanan, khususnya ekologi hutan; untuk menjadi pohon dewasa, anakan/bibit pohon yang ditanam harus mengalami proses metamorphosis dengan melalui 4 (empat) tahapan yakni seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m; sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm; pole (tiang) yaitu pohon pohon muda yang berdiameter 10 – 35 cm; trees (pohon dewasa), yang berdiameter diatas 35 cm.

Celakanya pemerintah sampai sekarang  masih menggunakan paradigma lama dalam kegiatan reforestari yang dilaksanakan bersifat keproyekan dengan alasan keterbatasan anggaran. Menanam anakan pohon dan pemeliharaannya hanya dilakukan sampai tanaman berumur 3 tahun. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam. Dengan kata Pohon untuk mencapai fase sapihan, tiang hingga menjadi dewasa dibiarkan berjuang dan tumbuh sendiri tanpa intervensi manusia. Lucunya lagi, dalam kegiatan reforestasi ini, pemerintahan berharap sangat adanya peran serta dan partisipasi masyarakat untuk merawat dan memeliharanya. Padahal, rehabilitasi kawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh. Beda dengan rehabilihatasi lahan, memang perawatan dan pemeliharan tanaman selanjutnya diserahkan kepada pemilih lahan.

Agar reboisasi berhasil, pemerintah harus sanggup membiayai pemeliharaan dan perawatan tanaman menjadi pohon dewasa. Ingat, karena menyangkut kawasan hutan maka tanggung jawab reboisasi adalah tanggungjawab penuh pemerintah (Kementerian Kehutanan) dan tidak dapat dibebankan pada peran serta masyarakat. Lain halnya, penghijauan yang dilakukan pada kawasan non kehutanan, keberhasilannya sangat tergantung pada partisipasi masyarakat penuh.

Sasaran Reboisasi Harus Jelas

Sasaran reboisasi seluas 12,7 juta ha mestinya diprioritaskan terlebih dulu kelokasi kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung yakni hutan konservasi dan hutan lindung yang telah terdeforestasi dan terdegradasi (tidak ada tutupan hutannya) seluas 10,1 juta ha yang terdiri dari hutan konservasi 4,5 juta ha dan hutan lindung 5,6 juta ha. Sebagai kawasan lindung, hutan konservasi dan hutan lindung wajib mempunyai tutupan hutan, karena mempunyai peran strategis sebagai penyeimbang tata air dari hulu ke hilir dalam suatu ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Bencana hidrometeorologi yang selama ini terjadi di Indonesia seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan sebagian besar diakibatkan oleh minimnya luas kecukupan tutupan hutan di daerah hulu suatu kawasan DAS, khususnya DAS-DAS besar. Hal ini tidak akan terjadi atau kecil peluangnya terjadi bencana hidrometeorologi apabila semua kawasan lindung terutama hutan konservasi dan hutan lindung d daerah hulu telah mempunyai tutupan hutan semuanya.

Sisanya kegiatan reboisasi seluas 2,6 juta ha dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi. Itupun harus dipilih dan dipilah pada hutan produksi yang bukan diperuntukkan penggunaan lain (alih fungsi hutan) untuk dilepaskan kawasan hutan produksi yang selama ini dikenal sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan bukan juga hutan produksi biasa (HPB) yang akan diberikan untuk kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam IUPHHK-HA). Dengan kata lain reboisasi di kawasan hutan produksi dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Dari hutan produksi yang terdeforestasi dan terdegradasi seluas 23,3 juta ha, terdiri dari hutan produksi terbatas (HPT) 5,4 juta ha, hutan produksi biasa (HPB) 11,4 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,5 juta ha.

Ketersediaan Bibit

Selama ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam memenuhi kebutuhan bibit untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL, termasuk kegiatan reboisasi) dipenuhi dengan membangun persemaian permanen di Indonesia. Manajemen persemaian kehutanan permanen yang dibangun pemerintah ditiap tiap provinsi ternyata keliru selama ini. Bibit tanaman hutan yang dihasilkan dari persemaian kehutanan permanen, ternyata tidak untuk meehabilitasi hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi , tetapi hanya dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya untuk kegiatan rehabilitasi lahan diluar kawasan hutan yang tidak menyentuh untuk kegiatan reboisasi. Lagian aspek teknis , pemusatan persemaian kehutanan permanen ini sesungguhnya mempunyai banyak kelemahan. Salah satunya adalah dalam pendistribusian bibit.

Secara teknis, tingkat kesulitan yang dihadapi adalah mereboisasi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang tingkat aksesibilitasnya rendah. Pada umumnya topografi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung adalah berbukit-bukit dan bergunung-gunung yang sulit dijangkau oleh manusia. Jangankan untuk menanam bibit tanaman, membawa bibit ke lokasi tanamanpun sudah sulit. Dalam mendistribusikan bibit tanaman kesasaran lokasi penanaman, aturan yang ada jarak antara persemaian dengan lokasi penanaman tidak boleh lebih dari 5 km. Bilamana bibit diangkut lebih dari radius 5 km, maka peluang bibit rusak dan mati akan sangat tinggi, karena bibit mengalami stress, akibat jauhnya jarak yang ditempuh. Oleh karena itu ketentuan di kehutanan bahwa 10.000 ha kawasan hutan harus mampu membangun persemaian sendiri didalamnya yang berkapasitas memproduksi bibit minimal 16.500.000 bibit plus sulaman tahun berjalan 1.650.000 bibit. Meski mahal, membangun persemaian disekitar lokasi penanaman, namun efektifitas keberhasilan lebih terjamin.  Dari luas 12,7 juta ha yang akan direboisasi mestinya dibutuhkan 1.270 titik lokasi persemaian yang mampu menyediakan bibit yang akan ditanami setiap lokasi reboisasi minimal seluas 10.000 ha.

Persemaian tanaman kehutanan yang ideal dan akan dibangun sudah tentu mengikuti kaidah-kaidah teknis persemaian diantaranya adalah dekat dengan sungai atau sumber air, lahannya datar, cukup luas dan subur sebagai bahan untuk media persemaian, aksesibilitasnya memadai (dekat dengan jalan raya yang bisa dilalui mobil). Kualitas bibit yang dihasilkan yang tinggi akan menentukan minimal 30 – 40 persen keberhasilan hidup tanaman di lapangan. Syukur syukur bibit yang dihasilkan tidak menggunakan media tanah dan kantong plastik (polybag) tetapi menggunakan sabut kelapa/serat tebu yang dicampur dengan cairan hara mineral yang cukup tinggi sebagaimana yang dilakukan dalam persemaian modern, sehingga pada saat bibit diangkut dan dibawa ke lapangan tanaman dapat dibawa dalam jumlah besar karena beratnya sangat ringan. Meski biayanya mahal untuk menghasilkan bibit tanpa media tanah, namun hasilnya sangat efektif dan peluang hidup dilapangan sangat besar.

Persoalan mendasar adalah mampukah pemerintah (meskipun akan bermitra dengan pihak swasta atau dana dari luar negeri (pinjaman/hibah)), mampu menyediakan dana yang sangat besar, yang menurut perkiraan para ahli kehutanan dapat menelan biaya  tujuh sampai sepuluh kali lebih besar dari yang selama ini disiapkan oleh pemerintah setiap hektarnya?

Kita lihat saya perkembangan selanjutnya meski pemerintahan Prabowo–Gibran hanya lima tahun dan tidak cukup satu daur untuk membanghun hutan (15 tahun). ***