Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menjadi sorotan dan sasaran kritik tajam publik satu bulan belakangan. Bahkan, pernyataannya yang bernada positif, seperti ajakan untuk menanam pohon, tetap ‘dirujak‘, terutama oleh netizen.
Hal itu tidak lepas dari cuitan Siti Nurbaya melalui akun resmi Twitter @SitiNurbayaLHK, Rabu (3/11/2021). “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tulis Siti.
Cuitan itu sejatinya merupakan utas (thread) terdiri dari 11 cuitan yang menjelaskan langkah Indonesia untuk mengendalikan deforestasi untuk mencapai target FoLU Net Sink, yaitu sebuah kondisi di mana penyerapan gas rumah kaca (GRK) lebih tinggi dari emisi pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030. Cuitan itu disarikan dari penjelasan Menteri Siti saat melakukan pertemuan dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Glasgow, Selasa (2/11/2021), di sela kehadirannya pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC.
Namun, dari 11 cuitan secara berangkai, hanya cuitan itu yang menjadi sorotan dengan lebih dari 11.000 kali retweet dan 1.700 komentar. Tingginya angka retweet dibandingkan like ini merupakan ciri dari cuitan yang kontroversial. Bahkan sorotan pada cuitan Menteri Siti juga terjadi sampai ke parlemen. Padahal, cuitan tersebut jelas menyebut program pembangunan Presiden Jokowi dan 81,9% parlemen dikuasai oleh partai pendukung pemerintah.
Ketua Komisi IV DPR Sudin mengaku bingung dengan pernyataan Menteri Siti soal deforestasi karena berbeda pandangan dengan Presiden Jokowi. “Saya bingung juga, menteri mengatakan, untuk pembangunan Indonesia, apapun akan dilakukan, termasuk deforestasi. Sementara, presiden bicaranya lain lagi,” kata Sudin dalam rapat kerja dengan jajaran Eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang disiarkan langsung dari Gedung DPR, Senin (22/11/2021).
Sudin yang berasal dari PDI Perjuangan, partai yang sama dengan Jokowi, menyatakan jika mengacu pada pernyataan Siti, maka masyarakat boleh membabat hutan untuk tujuan pembangunan. “Kalau deforestasi atas nama pembangunan, saya suruh masyarakat babat hutan, saya suruh bangun kebun, supaya kalian bisa hidup, kalian bisa makan. Kalian bisa menyekolahkan anak,” cetus Sudin.
Padahal, kata Sudin, dirinya selalu menegaskan masyarakat tidak boleh menebang hutan secara sembarangan, apalagi hutan yang dilindungi. Sudin kemudian memberi contoh saat dia melakukan kunjungan kerja di kawasan hutan Register 40 Lampung. Masyarakat di sana meminta agar kawasan hutan dilepas. Apalagi, secara fisik di sana sudah berubah menjadi kebun jagung.
“Di Jati Agung, Lampung Selatan, mereka meminta untuk melepaskan kawasan hutan lindung tersebut. Saya katakan, tidak bisa, itu hutan milik negara, bukan milik saya,” kata Sudin.
Meski demikian, suara DPR sesungguhnya tidak bulat juga. Wakil Ketua Komisi IV, Budisatrio Djiwandono justru mengapresiasi capaian KLHK yang berhasil meredam laju deforestasi terendah sepanjang sejarah.
Budisatrio, politisi yang berasal dari Partai Gerindra, partai yang memayungi Prabowo Subianto — lawan Jokowi pada Pemilihan Presiden 2019 — malah menyatakan Indonesia berhasil menekan laju deforestasi karena kebijakan yang diambil KLHK. “Saya mesti mengakui prestasi tersebut (penurunan deforestasi) karena kebijakan KLHK,” katanya saat berbicara di Paviliun Indonesia COP26 UNFCCC.
Budisatrio memaparkan, kebijakan yang menurutnya berdampak besar pada pengendalian deforestasi di Indonesia adalah kebijakan penghentian izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Terhitung Agustus 2021, luas areal yang masuk dalam kebijakan tersebut mencapai 66,1 juta ha seperti tercantum dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
Rinciannya, seluas 51,2 juta ha berupakan kawasan hutan konservasi, 5,3 juta ha lahan gambut, dan 9,6 juta ha hutan alam primer — baik di kawasan hutan produksi maupun areal penggunaan lain.
Menurut Budisatrio, didukung dengan kebijakan itu dan kebijakan lainnya, Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi 75,03% selama periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115,4 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,4 ribu ha. “Ini sebuah pencapaian yang historis,” kata Budisatrio.
Data NDC
Jika suara dari DPR terkesan politis, suara yang lebih tegas datang dari kalangan LSM. Tak cukup melontarkan kritik dengan membalas cuitan Menteri Siti, sejumlah LSM bahkan menggelar acara khusus bertajuk “Menteri Siti VS Everybody”, Kamis (25/11/2021), yang ditayangkan langsung melalui kanal berbagi video YouTube.
Pembicara yang hadir diantaranya dari Auriga Nusantra, Greenpecae Indonesia, Forest Watch Indonesia, Walhi, dan HAKA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh).
Menurut pengkampanye Walhi Nasional, Uli Artha Siagian, klaim pemerintah yang menyatakan telah melakukan intervensi untuk menurunkan deforestasi tidak cukup sesuai dengan realita di lapangan.
“Tidak cukup hanya membandingkan deforestasi yang terjadi beberapa waktu terakhir. Kenyataannya masih terjadi deforestasi,” katanya.
Menurut Uli, salah satu pendorong deforestasi adalah dikuasainya 61% wilayah daratan Indonesia oleh konsesi perusahaan ekstraktif. “Sebanyak 2.000 perusahaan terdata melakukan aktviitas di hutan, fakta ini mengakibatkan deforestasi masih terjadi,” katanya.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas menyatakan, cuitan Menteri Siti diunggah ketika situasi di lapangan kontraproduktif dengan analisis dan dan narasi yang dibangun. Misalnya saja soal terjadinya banjir di Kabupaten Sintang yang telah merendam beberapa pekan yang diakibatkan oleh deforestasi.
Itu sebabnya, tak heran jika kemudian masyarakat menyampaikan kritik karena Menteri Siti Nurbaya seharusnya menegakkan UUD 1945 untuk hak asasi manusia mendapat lingkungan hidup yang lebih baik dan Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Bukan malah menyatakan pembangunan tidak akan berhenti karena deforestasi,” katanya.
Menurut Rio, data yang disampaikan pemerintah soal keberhasilan mengendalikan deforestasi juga masih perlu dipertanyakan. Berdasarkan data pemerintah, laju deforestasi pada tahun 2019-2020 memang mengalami penurunan menjadi 115,4 ribu ha, turun 75,03% dari sebelumnya 462,4 ribu ha pada periode 2018-2019. “Namun, apakah penurunan ini karena effort pemerintah?” katanya.
Menurut Rio, kenyataannya masih banyak izin industri ekstraktif yang beroperasi di kawasan hutan. Rio juga menyatakan, kenyataannya laju deforestasi setelah diberlakukan kebijakan PIPPIB justru lebih tinggi dibanding sebelum diberlakukan PIPPIB.
Rio menuturkan, pihaknya men-challenge data yang dipaparkan pemerintah secara ilmiah. Sayangnya, upaya tersebut malah berujung pembungkaman dengan melakukan pelaporan berdasarkan UU ITE dan juga ancaman melakukan audit. “Sayangnya upaya kami untuk men-challenge secara akademis malah dibungkam dengan cara yang tidak demokratis,” katanya.
Rio melanjutkan, data deforestasi Indonesia juga seharusnya tidak dibaca secara tunggal, mengingat karakteristik Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Apalagi, jika melihat data deforestasi, ternyata lokasi deforestasi justru terjadi di wilaya yang masih berhutan.
“Jangan melihat data deforestasi secara agregat. Kita tidak bisa membaca kehilangan hutan secara total mengingat karakteristik Indonesia yang kepulauan. Ketika dibaca secara total, ternyata deforestasi justru terjadi di wilayah yang masih berhutan,” katanya.
Rio menyatakan, masih terjadinya deforestasi di Indonesia sesungguhnya tidak mengejutkan karena berdasarkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk penurunan emisi GRK UNFCCC, Indonesia masih memberi ruang untuk deforestasi sekitar 400.000 ha setiap tahun hingga tahun 2030.
Rio mengingatkan, deforestasi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai penyebab emisi GRK semata, tapi juga hilangnya keanekaragaman hayati dan ruang hidup masyarakat. Di Papua, katanya, deforestasi bisa menghilangkan sejarah dan identitas penduduk. “Makanya, ini kritik yang harus dilakukan kepada pemerintah, dan pemerintah harus melakukan upaya yang serius,” katanya. Sugiharto