Mencegah Deforestasi: Kulminasi Prestasi (Kehutanan) Indonesia, Benarkah?

Kawasan hutan
Lisman Sumardjani

Oleh: Lisman Sumardjani (Pengamat dan praktisi kehutanan Indonesia, dengan pengalaman lebih dari 40 tahun)

Deforestasi tiba-tiba menjadi isu utama saat Presiden Joko Widodo menghadiri COP 26 di Glasgow. Harian Kompas, 3 November 2021, menjadikan deforestasi sebagai headline.  Presiden Jokowi menyampaikan prestasi Indonesia dalam menangani perubahana iklim, antara lain deforestasi yg turun signifikan dan terendah dalam 20 tahun terakhir, kebakaran hutan turun 82% pada 2020 dan dimulainya rehabilitasi hutan bakau.  Indonesia juga menargetkan net sink gas rumah kaca dari penggunaan hutan dan lahan (FoLU).

Namun dibalik itu semua, besoknya, 4 November 2021, Kompas mensitir keraguan Indonesia antara pilihan  deforestasi dan pembangunan.  Dikatakan Indonesia ingin menghentikan deforestasi tapi belum bisa menghentikan total karena alasan pembangunan.  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan menegaskan melalui twitter bahwa pembangunan tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi, sehingga diprotes netizen.

Menurut KLHK laju deforestasi di tahun 2019-2020 menurun 75,03% sehingga berada pada angka 115 ribu hektare (ha), dibanding deforestasi di tahun 2018-2019 sebesar 462 ribu ha.  Tampaknya ini memang prestasi, mengingat deforestasi tahun 2017-2018 sebesar 440 rb ha,  dibanding sebelumnya di tahun 2016-2017 sebesar 480 ribu ha, tahun 2015-2016 629 ribu ha, 2014-2015 mencapai 1 juta ha lebih.

Namun apakah benar bahwa dengan menekan deforestasi itu merupakan prestasi dunia kehutanan Indonesia?  Karena menghentikan deforestasi lebih merupakan menghentikan kehilangan hutan.  Pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana kondisi hutan Indonesia saat ini.

Untuk lebih memahami ini semua secara lengkap, kita bisa mulai dengan membahas hasil penelitian terakhir yang dilakukan Kemen G Austin et al 2019 Environ. Res. Lett. 14 024007, yang berjudul What causes deforestation in Indonesia? (Apa penyebab deforestasi di Indonesia).  Selama periode  tahun 1990-1996 Indonesia kehilangan 1,87 juta ha akibat deforestasi.  Periode 1996-2000 bahkan mencapai 3,51 juta ha, 2000-2003 seluas 1,08 juta ha, kemudian 2003-2006 juga mencapai 1,17 juta ha.  Ini adalah kehilangan hutan yang sangat luar biasa yang mengancam  keaneka ragaman hayati  dan membuat Indonesia menjadi salah satu negara terbesar emiter gas rumah kaca (GHG) secara global.

Data yang digunakan  oleh Austin dkk ini berasal dari data tahun 2001-2016 menggunakan peta GFC yang menggambarkan hilangnya tutupan hutan tahunan.  Hasilnya menunjukkan penyebab (driver) deforestasi adalah Penanaman Kebun Sawit, seluas 2.080.978 ha atau 23% dari total deforestasi.  Berikutnya adalah perubahan menjadi Padang Rumput/Belukar seluas 1.840.884 ha atau 20%, perubahan menjadi lahan pertanian (Skala besar, Skala kecil dan campuran) totalnya mencapai 29%.   Artinya memang deforestasi itu berubah dari hutan menjadi non hutan.  Hanya 20% yang tetap menjadi hutan walau dengan klasifikasi lain,  yaitu menjadi Hutan Tanaman dan Hutan Sekunder  (14% dan 6%).

Di Kalimantan, perkebunan kelapa sawit adalah pendorong utama deforestasi dari 2005 hingga 2013, dengan puncaknya pada tahun 2009. Konversi hutan menjadi padang rumput/semak belukar juga merupakan pendorong penting hilangnya hutan di Kalimantan.  Lebih dari dua pertiga luas hutan nasional yang berubah menjadi padang rumput pada tahun 2016 terjadi di Kalimantan.

Di sisi lain, Sumatera memiliki profil driver yang lebih bervariasi, dengan area deforestasi yang kurang lebih sama yang didorong oleh perkebunan  kelapa sawit, padang rumput/semak belukar, dan pertanian skala kecil.  Pulau ini mengalami puncak ekspansi perkebunan kelapa sawit

ke hutan agak lebih awal dibandingkan di Kalimantan, dari tahun 2005 hingga 2009, diikuti oleh puncak ekspansi hutan tanaman dari tahun 2010 hingga 2012. Khususnya, Sumatera memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi laju deforestasi yang didorong oleh pertanian skala kecil dan perkebunan skala kecil dibandingkan Kalimantan.  Lihat tabel di bawah ini.

Tabel

 

Melihat hasil studi Austin ini, pantas bila kemudian orang menghubungkan cuitan Ibu Menteri Siti yang menyebutkan bahwa pembangunan tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon dan deforestasi, melihat dari driver utama deforestasi yaitu pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang di sisi lainnya menjadi salah satu penghasil devisa ekspor utama Indonesia. Harap dicatat di tahun 2020 nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 18,44 miliar dolar AS atau Rp258 triliun naik 18,43% dari tahun sebelumnya.

Memang mengherankan bila prestasi kinerja (Menteri) KLHK diukur dari kemampuan menahan laju deforestasi.  Orang bisa mudah berargumen bahwa wajar saja deforestasi tahun 2019-2020 sangat kecil, karena periode ini merupakan tahun yang basah, hujan berlangsung sepanjang tahun.  Pasti angka deforestasi akan naik, bila terjadi musim kemarau yang panjang, dimana api akan sangat mudah digunakan untuk membersihkan land-clearing hutan.  Seharusnya prestasi KLHK itu diukur lebih dari sekedar menahan laju deforestasi, tetapi lebih kepada bagaimana hutan Indonesia tetap dijaga kualitas dan kuantitasnya.  Buat apa prestasi deforestasi kecil namun tak ada lagi hutan yang tersisa, kalaupun ada hanya berupa belukar dan padang rumput?  Ini yang tidak pernah disebut-sebut oleh Ibu Menteri maupun Bapak Presiden yang juga seorang rimbawan.

Padahal indikasi ini sudah datang jauh hari sebelumnya.  Skenario yang dikeluarkan oleh UNEP pada tahun 2002 menunjukkan bahwa sebagian besar hutan hujan alami di Indonesia akan terdegradasi pada tahun 2032.   WWF, ditahun 2017, memprediksi Kalimantan akan kehilangan 75% luas wilayah hutannya pada 2020 menyusul tingginya laju deforestasi.  Dari sekitar 74 juta ha hutan yang dimiliki Kalimantan, hanya 71% yang tersisa pada 2005. Sementara jumlahnya pada 2015 menyusut menjadi 55%. Jika laju penebangan hutan tidak berubah, Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta ha hutan hingga 2020, artinya hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa.

Makalah yang ditulis tahun 2012 oleh Belinda Arunarwati Margono, et all,  menyebutkan Sumatera telah kehilangan 7,5 juta ha hutan antara tahun 1990 hingga 2010, dan sekitar 2,6 juta ha diantaranya adalah hutan primer. Sebagian besar hutan yang hilang adalah hutan sekunder yang habis akibat penebangan liar. Hanya 8% hutan perawan yang tersisa di Sumatera.  Walaupun hutan Sumatera sudah gawat,  Menteri KLHK tertanggal 17 Oktober 2019 tetap memberikan  izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan jalan angkut batubara yang jelas-jelas mengancam keaneka ragaman hayati di areal Hutan Harapan yang mencoba menyelamatkan sisa-sisa hutan dataran rendah tropika di Sumatera.  Cuitan twiter Ibu Menteri tertanggal 3 November 2021 itu meneguhkan kembali kekhawatiran bahwa pemerintah lebih pro pembangunan dibanding konservasi.

Bahkan Taman Nasional pun tidak luput dari penjarahan. Penebangan liar terjadi di 37 dari 41 taman nasional di Indonesia, tetapi yang paling parah terjadi di Gunung Palung, Kutai, Danau Sentarum, Gunung Leuser dan Tanjung Puting. Padahal beberapa taman nasional ini menampung populasi utama orangutan dan merupakan bagian dari Jaringan Cagar Biosfer Dunia UNESCO

Permasalahan pencegahan deforestasi itu persis seperti mencegah tangki penyimpanan air jangan sampai bocor. Walaupun airnya sudah tidak bocor, yang harus diperhatikan adalah apakah air masih ada di tangki tersebut.  Seharusnya kita tidak hanya mencegah agar air tidak rembes bocor tetapi juga memastikan tersedia air yang cukup.  Kalau memang airnya kurang ya air di tangki harus ditambah agar tersedia cukup.

Dalam kasus kehutanan, yang namanya deforestasi (artinya perubahan dari hutan menjadi non-hutan) itu tidak mungkin dicegah sehingga menjadikan deforestasi itu nol.  Perubahan dari hutan menjadi penggunaan lahan yang lain itu ya pasti terjadi.  Bertambahnya penduduk pasti membutuhkan lahan buat tumbuh dan berkembang, apalagi bila pola dan cara kehidupannya sama atau mirip seperti cara kehidupan saat ini.  Yang tidak boleh terjadi adalah ternjadinya perubahan lahan dari hutan menjadi non-hutan tanpa perencanaan, alias deforestasi ilegal.

Masalahnya apakah tutupan lahan oleh hutan yang ada di kawasan hutan (seluas 85,9 juta ha) dan di Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 8,2 juta ha atau total 94.1 juta ha yang merupakan 50,05% dari luas lahan Indonesia itu cukup?  Bila melihat ketentuan UU Kehutanan dimana disetiap pulau atau DAS minimal terdapat 30% hutan maka 50,05% bisa dianggap memenuhi syarat.  Namun dengan  adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ketentuan minimal 30% itu justru dihilangkan. Nah untuk mengetahui di suatu daerah atau DAS itu tersedia cukup hutan, bisa dilihat dari indikator tidak langsung dari kualitas alam dan lingkungan yang ada.

Terjadinya banjir Kalimantan Selatan 2021  yang menimpa beberapa kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan, yaitu Kota Banjarmasin, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kabupaten Balangan, Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Utara pada Januari 2021. Ketinggian air beragam: 30 sentimeter, 50 sentimeter, 2 meter, bahkan 3 meter. Wilayah Kalimantan Selatan berstatus tanggap darurat banjir per 14 Januari 2021.  Hal ini tidak pernah separah dan segawat ini terjadi sebelumnya.  Ini berarti kondisi alam berupa luasan dan kualitas hutan yang ada di Kalimantan Selatan itu tidak cukup dan tidak tidak baik.  Bila hutan cukup dan baik maka banjir parah seperti ini tidak akan terjadi.  Banjir bandang di Batu, Garut, maupun di Flores, NTT di tahun 2021 ini menunjukkan buruknya kualitas lingkungan di daerah tersebut.

Neraca air yang defisit di Pulau Jawa, sejak tahun 2010 sudah kritis.  Hal ini mudah diduga mengingat luasan hutan di Pulau Jawa hanya tersisa 24%nya saja dari luasan Pulau Jawa, yakni 128.297 km persegi.

Dari sisi keaneka ragaman hayati, indikatornya bisa dilihat apakah luasan habitat satwa utama itu masih cukup.  Dari informasi dan berita yang kita terima, habitat orang utan di Sumatera dan Kalimantan itu kurang, sehingga populasinya menurun dengan cepat.  Hal yang sama berlaku buat Gajah Sumatera (juga gajah pigmi di Kalimantan).  Habitat Harimau Sumatera juga berkurang drastis (sehingga memudahkan terjadinya perburuan dan pembunuhan) yang menyebabkan populasi harimau hanya tinggal kurang dari 400 individu.

Itulah seharusnya yang menjadi indikator kesuksesan KLHK, tidak hanya berkutat kepada penurunan deforestasi, apalagi batas limit 30% minimal hutan sudah tidak diakui lagi. Penurunan angka deforestasi itu prestasi yang semu, tidak menggambarkan kondisi kehutanan Indonesia sesungguhnya. AI