Menembus Hambatan Pasar Produk Kayu di Korea

SVLK [ilustrasi]

Republik Korea (Korea Selatan) menjadi salah satu pasar utama produk kayu Indonesia. Pangsa pasar di negeri ginseng itu potensial untuk terus tumbuh. Tuntutan konsumen akan produk ramah lingkungan dan hambatan perdagangan menjadi tantangan yang mesti ditembus.

Korea berada di urutan ke lima dalam daftar Negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia. Urutan pertama hingga ke empat ditempati China, Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pada tahun 2019 lalu, total ekspor produk kayu Indonesia ke Korea mencapai 709,3 juta dolar.

Yang menarik, di masa awal pandemi COVID-19 merebak dan perekoomian global melesu, pasar Korea masih menunjukan pertumbuhan meski tipis. Mengutip data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekspor produk kayu ke Korea pada periode Januari-Mei 2020 senilai 321,2 juta dolar AS. Ada kenaikan sebesar 1% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tercatat sebesar 319,4 juta dolar.

Memang, perkembangan tersebut masih perlu dipantau sampai semester II nanti. Namun tren menggembirakan itu perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Demikian terungkap pada Indonesia-Korea Virtual Forum on Wood Products yang diselenggarakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Korea dan Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI), Selasa (30/6/2020).

Tergabung dalam forum yang dibuka oleh Duta Besar RI untuk Korea Umar Hadi itu, para pelaku industri kehutanan Indonesia,  pelaku industri kehutanan Korea, dan perwakilan dari Korea Forest Service.

Menurut Ketua FKMPI yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo, kenaikan  ekspor produk kayu Indonesia ke Korea saat pandemi COVID-19 merebak patut disyukuri. “Ada kenaikan sebesar 1% jika dibandingkan tahun lahu. Ini menunjukan kerja sama kita (Indonesia-Korea) terjalin bagus,” katanya.

Menurut Indroyono pertumbuhan ekspor tersebut didukung oleh kenaikan pada sejumlah produk kayu seperti kayu serpih (chipswood), veneer, dan kertas. Meski demikian, ada juga produk kayu yang menunjukan penurunan seperti furnitur kayu dan bubur kayu (pulp).

“Melalui forum virtual ini, bagaimana yang turun bisa kita perbaiki untuk keuntungan kedua Negara,” katanya.

Indroyono mengungkapkan, produk kayu Indonesia memiliki keunggulan karena telah melewati Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Indonesia juga sedang menyiapkan kebijakan baru terkait dengan ketentuan ekspor produk industri kehutanan termasuk soal luas penampang produk kayu yang bisa diekspor.

“Indonesia juga ada sistem perdagangan secara online melalui Indonesia Timber Exchange, yang bisa memperpendek rantai bisnis antara penjual dan pembeli,” katanya.

Ketua Asosiasi Industri Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Bambang Soepijanto menyatakan pentingnya Korea bagi produk kayu lapis Indonesia. Tahun 2019 lalu, Indonesia ada di posisi pertama sebagai pemasok kayu lapis senilai 236,9 juta dolar AS. Tren perdagangan juga menunjukan peningkatan tahun ini di tengah pandemi. Sampai April, nilai ekspor produk kayu lapis Indonesia ke Korea tercatat sebanyak  98,2 juta dolar. Naik jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 94,2 juta dolar.

“Secara volume ekspor Indonesia ke Korea memang masih kalah jika dibandingkan Vietnam. Namun secara nilai, ekspor Indonesia lebih besar karena produk kayu lapis Indonesia adalah produk premium yang bernilai tinggi,” kata Bambang.

Dia menuturkan, salah hambatan ekspor yang dihadapi oleh pengusaha plywood untuk menembus Korea adalah pengenaan tarif yang tinggi untuk produk yang berasal dari kayu meranti. Hal itu dikarenakan, produk meranti Indonesia tersebut disamakan dengan produk yang berasal dari kayu jenis meranti bakau merah yang dinilai sudah langka.

“Padahal spesies meranti Indonesia sangat berbeda. Jumlahnya pun masih sangat banyak karena dimanfaatkan secara lestari,” katanya.

Pengurus Bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional APKINDO Gunawan Salim menjelaskan karena perbedaan interpretasi soal jenis kayu yang dimanfaatkan Indonesia, kini sejumlah perusahaan pengguna di Korea sedang dalam penyelidikan untuk membayar tarif yang dihitung sejak tahun 2013. “Perlu ada solusi, karena mitra kami di Korea bisa kolaps kalau mesti membayar tarif yang dihitung sejak 2013,” katanya.

Sementara itu Duta Besar Umar Hadi menyatakan pasar Korea kini semakin menuntut kelestarian dari produk yang dikonsumsinya. Tuntutan ini selayaknya bisa dipenuhi oleh produsen produk kayu Indonesia. “Kami Kedubes RI siap memfasilitasi untuk meningkatkan kerja sama perdagangan antara pelaku usaha Indonesia-Korea,” kata dia.

Kayu HTI

Deputy Director of Timber Industry Divisions Korea Forest Service Lee Myoung Kyu, menjelaskan Korea telah memberlakukan Undang-undang tentang penggunaan produk kayu lestari sejak tahun 2013. Tujuannya untuk mitigasi perubahan iklim, mempromosikan penggunaan produk kayu, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Korea.

Lee menuturkan, saat ini ada lebih dari 23.000 perusahaan perkayuan dengan penjualan tahunan mencapai 42 triliun won Korea. Perusahaan perkayuan tersebut sangat bergantung pada pasokan bahan baku yang berasal dari luar negeri.

Dia juga mengungkapkan terus tumbuhnya penggunaan bioenergi berbasis pelet kayu (wood pellet) serta penggunaan produk kayu untuk perumahan.

“Untuk pengembangan industri kayu dan manajemen kualitas produk, kami mengembangkan KS Standards,” katanya.

Terkait keluhan soal perbedaan intrepetasi jenis meranti yang dikenakan bea masuk, Lee menyatakan hal itu mengacu pada apa yang diterapkan dalam KS Standards. Meski demikian, dia menyatakan siap berdialog lebih lanjut terkait persoalan tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, Lee juga menyatakan pemerintah Korea berharap agar pemerintah Indonesia mau membuka ekspor log dari hutan tanaman industri (HTI).  

Sementara itu Director of Indonesia-Korea Business Cooperation Center Korea Trade-Investment Agency (KOTRA) Bok Dug Gyu menguraikan bagaimana permintaan produk kayu terus meningkat di Korea. Menurut dia, hal itu ada kaitan dengan tren kembali ke alam yang saat ini terjadi di Korea.

Itu sebabnya permintaan produk bahan bangunan kayu, furnitur dan kertas kemasan terus naik. “Pasar Korea sedang tumbuh,” kata Bok.

Dia menuturkan, apa yang terjadi di Korea sesungguhnya peluang bagi Indonesia terutama untuk produk furnitur. Meski demikian, Indonesia perlu fokus memperbaiki desain produknya. Bok menilai desain dan kualitas finishing produk Indonesia perlu ditingkatkan. “Indonesia terkenal akan produk kayu natural, tapi desain dan kualitas pengerjaan perlu ditingkatkan,” katanya.

Terkait pasar produk furnitur di Korea, Bok mengungkapkaan saat ini ada persaingan ketata antara produsen furnitur lokal dengan raksasa furnitur IKEA. Indonesia bisa bekerja sama dengan produsen furnitur Korea dan mempromosikan produknya di Living Power Center. “Indonesia bisa membuat paviliun di sana,” katanya.

Sugiharto