Setahun sudah perang berkecamuk di Ukraina, yang dimulai dengan invasi Rusia ke tetangganya itu pada 24 Februari 2022. Namun, sejauh ini ekonomi Rusia masih mampu berdiri tegak, meski sejumlah sanksi diterapkan oleh negara-negara Barat, terutama Uni Eropa dan AS. Apa alasannya?
Meski sembilan sanksi keras telah dijatuhkan Uni Eropa (UE), namun pertumbuhan ekonomi (GDP) Rusia hanya mengalami sedikit kontraksi selama 2022. “Alotnya” ekonomi Rusia dapat pujian Presiden Vladimir Putin dalam pidato kenegaraannya pada Selasa (21/2). Namun, pengamat dan politisi Barat tertentu menyinggung adanya blind spot dalam angka statistik resmi yang disampaikan Moskow.
Ekonomi Rusia ternyata tahan banting. Jauh dari kata “ambruk” seperti yang diperkirakan Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire setelah gelombang pertama sanksi Barat dijatuhkan menyusul invasi Rusia ke Ukraina. GDP atau PDB Rusia hanya kontraksi 2,1% pada 2022, kata badan statistik Rusia Rosstat. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi Rusia bahkan diproyeksi tumbuh 0,3% tahun 2023 ini.
“Kami menjamin stabilitas situasi ekonomi dan melindungi warga negara kami,” tegas Putin dalam pidatonya, seraya menambahkan pihak Barat telah gagal “mendestabilisasi masyarakat Rusia.”
Ketahanan ekonomi Rusia yang nampak jelas itu terutama disebabkan melonjaknya harga minyak dan gas bumi (migas) pada 2022, yang mengkompensasi terjadinya penurunan volume ekspor — di mana ekspor gas turun sekitar 25%.
UE, yang sebelumnya mitra dagang utama Rusia, mengurangi impor gas alam Rusia sampai 55%, dengan maksud merongrong kemampuan keuangan Moskow dalam perang di Ukraina. Untuk memulihkan defisit yang terjadi, Rusia pun mencari pembeli baru, termasuk Turki, India, dan China khususnya. Menurut Deputi PM Alexander Novak, pengiriman gas ke China melalui jaringan pipa gas Power of Siberia meningkat 48%.
Di saat perang Rusia di Ukraina memasuki tahun kedua, industri senjata juga ikut berkontribusi terhadap aktivitas ekonomi. “Industri metalurgi mengalami kenaikan produksi yang tajam. Ini merupakan tanda yang jelas bahwa cabang-cabang tertentu dari kompleks industri-militer telah berhasil beradaptasi. Misalnya, ada pabrik-pabrik di Urals yang beroperasi selama 24 jam penuh,” kata David Teurtrie, dosen senior ilmu politik di Catholic Institute of Vendée di Prancis Barat.
Ekonomi Rusia lainnya yang kuat, kata Putin, adalah sektor pertanian. “Pada akhir tahun pertanian, yakni pada 30 Juni 2023, kita akan menghasilkan volume ekspor biji-bijian sebesar 55-60 juta ton,” ujar Putin.
‘Biasa hadapi masalah’
Gas, minyak, keuangan, perdagangan, teknologi… semua sektor ekonomi Rusia telah terdampak oleh gelombang sanksi beruntun dari Barat. Namun, perusahaan-perusahaan Rusia beradaptasi. Dikeluarkan dari sistem SWIFT, yakni sistem pesan aman yang memfasilitasi pembayaran lintas batas yang cepat, perbankan mengandalkan perantara untuk menghindari sanksi.
Barang-barang produksi Barat dengan mudah diimpor melalui negara ketiga, seperti Kyrgyzstan, Armenia atau Georgia, negara-negara perbatasan di jantung lingkaran perdagangan yang pararel memasok industri Rusia.
Industri makanan juga mampu kembali berproduksi melalui kebangkitan pemain-pemain lokal yang menggganti jenama (merek-merek) Barat, seperti Pepsi atau Coca-Cola.
“Sejak dimulainya kapitalisme di Rusia, kami sudah mengalami sedikitnya empat krisis besar. Kami pernah menghadapi masalah dan, jujur saja, ini bukanlah kondisi terburuk yang kami hadapi,” tegas Yuri Saprygin, seorang penerjemah dari kota Kaluga, Rusia tengah, yang dikontak France 24.
Menghadapi sanksi Barat, Saprygin dipaksa mengganti suku cadang kendaraan dari Eropa dan Taiwan dengan suku cadang dari Rusia dan China. “Tidak mudah memang, tapi aktivitas kami tidak pernah berhenti,” papar pengusaha yang perusahaannya menjual alat-alat kesehatan (Alkes) sampai laboratorium.
Tidak semua sektor mengalami penderitaan yang sama. Sektor teknologi yang sangat tergantung dengan impor barang elektronik, menanggung beban sanksi Barat karena pasok semi-konduktor, yang sangat penting untuk industri militer dan penerbangan, dan bahkan untuk sektor otomotif.
Situasi meruncing?
Sektor otomotif merupakan salah satu industri Rusia yang berjuang keras akibat beban sanksi Barat. Menurut Association of European Businesses (AEB), penjualan mobil berkurang hampir 1 juta unit tahun lalu dibandingkan tahun 2021 atau penurunan 59%. Angka itu menggambarkan beratnya dampak sanksi, selain juga hilangnya daya beli rakyat Rusia — yang seperti rakyat Eropa lainnya sama-sama menderita akibat inflasi tinggi. Meski inflasi di Rusia terbang nyaris 12% pada 2022, namun angka itu akan dibatasi antara 5%-7% tahun 2023 ini, kata Bank Sentral Rusia.
Namun, situasinya jauh dari ideal. Terutama sejak banyak pengamat dan politisi yang sangsi dengan angka statistik resmi yang dikeluarkan Rusia. Menanggapi angka-angka PDB Rusia, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, Selasa (21/2), bahwa “ekonomi Rusia sangat menderita,” seraya menukas dirinya “tidak percaya” dengan “propaganda” Moskow.
Banyak indikator penting, seperti data perdagangan luar negeri, tidak lagi dipublikasikan. “Kemungkinan untuk mencegah Barat mengklaim efektifnya sanksi yang dijatuhkan,” ujar Agathe Demarais, direktur prakiraan global di Economist Intelligence Unit di jurnal Foreign Policy.
Di samping itu, lebih dari 300.000 laki-laki telah dikerahkan untuk berperang di Ukraina dan ratusan ribu warga Rusia dilaporkan kabur dari negerinya selama 12 bulan terakhir. Situasi itu bisa merusak produktivitas Rusia dalam jangka panjang. “Di samping sanksi, mungkin aspek inilah yang palingf menghukum ekonomi Rusia dalam tahun kedua (perang), terutama karena orang-orang terpelajar dan warga kaya Rusia beremigrasi,” ujar David Teurtrie.
Yang terburuk belum datang?
Meski ekonomi Rusia masih berdiri tegak, tapi nampaknya akan makin lemah dan situasinya bisa makin buruk. Beberapa sanksi belum dirasakan oleh ekonomi, tapi waktu yang akan bicara. Dalam kasus sanksi minyak, yang jadi sumber devisa utama Rusia, misalnya.
Sejak Desember, embargo UE terhadap minyak mentah Rusia mulai berlaku. Sanksi itu juga ditambah dengan pematokan harga minyak per barel yang dikirim melalui jalur laut. Sejak 5 Februari, mekanisme yang sama juga diterapkan untuk produk minyak sulingan.
Embargo ini bisa sangat merugikan anggaran negara. Menurut data dari Centre for Research on Energy and Clean Air (Crea), UE telah membayar 84 miliar euro ke Rusia dari pembelian minyak sejak invasi Ukraina.
“Ini barulah awal. (Ibarat lomba lari) Sanksi terhadap Rusia adalah marathon, bukan sprint,” kata Agathe Demarais. “Dalam beberapa bulan ke depan, Moskow harus menuntaskan penghitungan yang mustahil untuk membiayai perang di Ukraina, sambil tetap mempertahankan subsidi sosial yang cukup tinggi guna menghindari kerusuhan.”
“Harga minyak yang lebih rendah sudah pasti berdampak terhadap anggaran Rusia, tapi pasar akan stabil,” ujar David Teurtrie mengingatkan.
Menurut peneliti ini, ekonomi Rusia memang jauh dari kata kehancuran seperti yang diharapkan Barat dan masih punya banyak jalan untuk lolos dari dampak sanksi: cadangan uang yang besar dan “utang yang relatif rendah, yang memberikan kapasitas untuk meminjam yang signifikan.” AI