Menggugat Klaim Surplus Beras

beras nasional

Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim Indonesia sudah meraih kembali swasembada pangan (beras) yang pernah dicapai tiga dasawarsa lebih silam, tepatnya tahun 1984. Bahkan, kesejahteraan petani juga dikatakan meningkat.

Namun, klaim itu “dimentahkan” pengamat ekonomi pertanian Bustanul Arifin. Menurutnya, meski pemerintah mengklaim swasembada beras, tapi faktanya ‎Indonesia masih melakukan impor beras dalam jumlah besar. Selain itu, harga beras Indonesia juga jauh lebih tinggi dibandingkan pasar global.

Bustanul mengatakan, impor beras era pemerintahan Jokowi mencapai 2,74 juta ton dengan nilai Rp15,7 triliun berdasarkan data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Ditjen Bea Cukai. Impor tersebut sebanyak 503.000 ton pada akhir 2014, 861.000 ton pada 2015, 1,2 juta ton pada 2016, dan 94.000 ton pada Januari-Mei 2017.

“Jika pemerintah mengatakan (yang diimpor) itu beras premium, beras khusus diabetes, menurut saya tidak sampai sebesar itu ya,” ujarnya  di Jakarta, Senin (10/7/2017).

Menurut dia, salah satu penyebab derasnya impor beras karena adanya disparitas harga beras domestik dan global. Hal itu menyebabkan Indonesia dinilai sebagai pasar yang menguntungkan.

Biaya produksi padi di Indonesia juga sangat mahal, yaitu sekitar Rp4.000/kg sementara di Vietnam hanya Rp1.679/kg, Thailand Rp2.291/kg, India Rp2.306/kg, Filipina sebesar Rp3.224/kg dan Tiongkok Rp3.661/kg. Indonesia menempati urutan pertama dalam tingginya biaya panen dan perawatan padi dibandingkan negara-negara penghasil beras seperti Vietnam, Tiongkok, India, Thailand dan Filipina.

Menurut dia, pemerintah perlu melakukan perbaikan politik pertanian secara menyeluruh. Petani harus didampingi secara spartan dan melibatkan perguruan tinggi dalam pembangunan pertanian serta pedesaan secara lebih sistematis.

“Pembangunan infrastruktur petanian juga harus‎ lebih konsisten, disertai dengan perbaikan sistem informasi harga. Sistem administrasi perdagangan pun harus dibenahi baik di dalam maupun luar negeri,” ujarnya.

Bustanul juga menambahkan, pemerintah perlu menciptakan pasar traktor agar petani semakin terpacu meningkatkan produktivitas dari sisi penyediaan sarana.

“Pasar traktor perlu diciptakan agar petani tidak bergantung pada bantuan traktor pemerintah. Dengan menciptakan pasar traktor dan suku cadangnya, petani akan mengerti kegunaan traktor itu sendiri,” kata Bustanul.

Menurutnya, pemerintah perlu menyusun strategi dalam meningkatkan kesejahteraan petani, salah satunya perbaikan politik pertanian secara menyeluruh, pendampingan petani, pelibatan universitas dalam pembangunan pertanian dan pedesaan secara lebih sistematis.

Komoditas lain terabaikan

Sementara itu, Direktur INDEF Enny Sri Hartari mengatakan, pemerintah sudah meningkatkan anggaran dan subsidi untuk produksi beras. Namun, kenyataannya impor‎ beras masih cukup besar.

Dia mengatakan, pemerintah mengalokasikan 59,5% anggaran ‎kedaulatan pangan hanya untuk program peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai.  “Namun, tren peningkatan anggaran di tiga komoditas ini tidak secara merata dan optimal mengakselerasi produksi serta produktivitas. Bahkan, jadinya cenderung mengabaikan komoditas lain seperti sayuran dan lainnya,” kata Enny.

Kementan sendiri seolah kebakaran jenggot setelah INDEF merilis evaluasi kebijakan pangan di masa pemerintahan Jokowi-JK. Kasubag Data Sosial Ekonomi, pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementan, Dr Anna Astrid, menyebut INDEF sangat tidak objektif, karena tidak mengungkapkan secara gamblang rating Food Sustainability Index (FSI) pada aspek sustainable agriculture yang  merupakan Tupoksi utama Kementan.

Rating FSI untuk aspek sustainable agriculture, Indonesia berada di peringkat 16 (skor 53,87) setelah Argentina serta berada di atas Tiongkok, Ethiopia, Amerika Serikat, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan India. “Intinya, hasil riset ini menunjukkan Indonesia berada di atas Amerika Serikat,” katanya.

Terkait Program Pajale (padi, jagung, kedelai), tidak benar bila disebutkan anggaran yang tinggi belum optimal. Kenaikan anggaran empat komponen peningkatan produksi dan produktivitas Rp15 triliun dari tahun 2014-2017 telah digunakan untuk membangun infrastruktur yang dampaknya baru kelihatan beberapa tahun ke depan, dan sebagian berupa benih, pupuk dan lainnya telah berdampak langsung pada peningkatan produksi pangan.

Buktinya, produksi padi 2014-2016 naik 8,3 juta ton GKG atau 11,7%. Peningkatan produksi padi ini senilai Rp38,2 triliun. Produksi jagung naik 4,2 juta ton atau 21,9%, di mana peningkatan produksi ini setara dengan Rp13,2 triliun.

Bukti produksi naik itu juga bisa dilihat dari naiknya angka PDB Pertanian sejak 2014-2016 dengan harga konstan 2016 Rp1.209 triliun tumbuh 3,25% dan pada triwulan I/2017 tumbuh 7,12% .

“Satu bukti lagi bahwa kedaulatan pajale on the right track adalah sejak 2016 tidak ada impor beras medium, tidak impor cabai segar dan bawang merah konsumsi. Pada 2017 juga tidak ada impor jagung pakan ternak,” ungkap Anna.

Oleh karena itu, kata Anna, Analisis INDEF sangat dangkal menganalisis data impor dan tidak cross check dari berbagai sumber. INDEF salah menafsirkan data impor beras.

Untuk diketahui, sejak 2016 hingga sekarang tidak ada impor beras medium. Sejak 2016 hingga sekarang Kementan tidak menerbitkan rekomendasi impor beras medium dan Kemendag tidak menerbitkan ijin impor beras medium.

Beras medium yang masuk Indonesia pada awal tahun 2016 sebesar 818.000 ton merupakan luncuran dari kontrak impor Bulog tahun 2015.

Selanjutnya, impor beras Januari-Mei 2017 sebesar 94.000 ton itu bukan impor beras medium, tetapi beras pecah 100%, tepung beras dan gabah untuk benih. Pada tahun 2016, impor jagung turun 62% dan tahun 2017 hingga saat ini tidak ada impor jagung untuk pakan ternak.

Jebakan impor

Kepala Biro Humas Informasi Publik Kementan, Agung Hendriadi mengatakan, publik juga selalu dijejali informasi bahwa produksi pangan (beras) Indonesia selalu defisit, sehingga tak pernah dapat keluar dari jebakan impor.

Faktanya, dari 416 kabupaten di tanah air, sebanyak 257 kabupaten surplus beras. Hanya 159 kabupaten yang defisit. Pulau Jawa yang selama ini seolah-olah diberitakan paling mengalami defisit pangan, justru hanya memiliki 15 kabupaten yang defisit sementara 70 kabupaten mengalami surplus.

Bahkan, lanjut Agung, pada 2016 para petani berhasil mengulangi prestasi Indonesia — seperti 32 tahun lalu, yakni 1984 — dengan mencapai swasembada beras.

Dengan kata lain, Indonesia berhasil keluar dari jebakan impor beras yang memerangkap lebih dari 3 dasawarsa. Prestasi para petani itu layak diapresiasi karena sebetulnya pada 2016 Indonesia — dengan jumlah penduduk 258,48 juta jiwa — tengah dilanda La Nina alias musim kemarau basah yang rawan banjir.

Ketika La Nina melanda pada 1999, Indonesia yang berpenduduk 204,78 juta jiwa harus mengimpor 5,04 juta ton beras. Bahkan, setahun sebelumnya, saat Indonesia diserang El Nino, Indonesia terpaksa mengimpor 7,1 juta ton beras karena harus memberi makan 201,54 juta jiwa. “Melalui Upsus Pajale, produksi pangan meningkat dan bahkan surplus,” katanya, pekan lalu.

Sementara Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono mengatakan, melalui program Upaya Khusus (Upsus) Pajale, tiga komoditas ini digenjot peningkatan produksinya. Hasilnya, produksi pangan, terutama beras, meningkat signifikan, bahkan Indonesia sudah surplus beras.

Hari menyebutkan, produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2015 mencapai 75,55 juta ton atau naik 4,66% dibandingkan 2014 sebesar 70,85 juta ton GKG. Tahun 2016, produksi gabah sebesar 79,1 juta ton GKG. Dengan produksi ini, Indonesia kembali meraih swasembada beras yang pernah diraih tahun 1984. “Tidak hanya gabah saja yang meningkat produksinya. Jagung, bawang merah dan cabe juga meningkat,” tegasnya.

Namun, disinggung rencana pemerintah menerapkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras, Hari Priyono tidak tidak mau memberikan tanggapan, “Saya belum tahu dengan rencana itu. Mungkin masih dalam pembahasan,” katanya kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (14/7/2017).

Hal yang sama juga dikatakan Seketaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, Mulyadi Hendiawan. “Bukan kapasitas saya untuk bicara soal itu. Masalah HET beras, masih dibahas di internal,” katanya mengelak. Jamalzen

Baca juga:

Pemerintah Siapkan HET Beras

Tataniaga Baru plus HET Beras