Turunnya volume pupuk bersubsidi tahun ini langsung menelan korban petani. Pusat menuding daerah (gubernur, bupati dan walikota) lamban, sementara para kepala daerah terkesan enggan karena volume pupuk menurun. Negara tak punya kepedulian atau ada permainan di tahun politik ini?
Keputusan pemerintah dan DPR menyetujui subsidi pupuk tahun 2014 sebesar Rp18,047 triliun menuai masalah. Meski terjadi kenaikan nilai subsidi dari tahun 2013 yang hanya Rp15,828 triliun, namun secara volume terjadi penurunan yang signifikan. Tahun lalu, volume total pupuk bersubsidi (urea, SP-36, NPK, ZA dan organik) mencapai 9,25 juta ton, sementara tahun ini hanya sekitar 7,778 juta ton atau turun sekitar 1,5 juta ton.
Penurunan itu rupanya membuat enggan para kepala daerah menandatangani alokasi pupuk bersubsidi di wilayahnya karena hampir semua daerah mengalami penurunan. Buntutnya, ketiadaan surat ini membuat pupuk menumpuk di gudang distributor (lini III) karena ketiadaan surat tersebut. “Tak ada kelangkaan pupuk. Masalahnya pupuk tidak bisa dikirim ke kios karena belum ada surat dari Bupati atau Walikota,” kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Gatot Irianto.
Yang jadi soal, mengapa nilai subsidi naik tapi volume turun? Kementan punya jawaban. Itu semua terjadi karena harga pokok penjualan (HPP) meningkat akibat naiknya harga gas — yang mencapai 60% dari total biaya produksi pupuk. Namun, kenaikan HPP inilah yang belakangan dikritik keras pengamat pertanian Abdul Muis dan malah diduga ada kolaborasi jahat karena besaran HPP antara lima produsen pupuk (seluruhnya BUMN) berbeda-beda.
Perbedaan HPP ini memang diakui oleh Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen PSP, Suprapti. “Memang HPP antara satu produsen dengan produsen lainnya tidak sama. Hal ini sangat dipengaruhi dengan harga kontrak gas. Jika beli gasnya mahal, maka HPP-nya akan jadi mahal,” tegasnya.
Pertanyaannya, berapa harga kontrak gas masing-masing dan berapa rincian biaya produksi pupuk tiap produsen? Ini memang yang tidak diketahui. Bahkan, dalam SK Mentan No.2459/Kpts/SR.130/7/2012 tentang penetapan HPP pupuk bersubsidi tahun 2012 — yang masih berlaku — hanya disebut besaran HPP untuk urea, SP-36, ZA, NPK dan organik tanpa ada rincian.
Ini berbeda ketika HPP itu ditetapkan oleh Meneg BUMN, yang terakhir dilakukan tahun 2010. Saat itu, biaya produksi, biaya distribusi sampai margin produsen diuraikan besaran rupiahnya. Dengan kata lain, transparansi mutlak diperlukan guna terhindar dari tuduhan miring, mengingat masing-masing BUMN pupuk berbeda besarannya. Apalagi, sejumlah pejabat eselon I Kementan tercatat juga di jajaran komisaris BUMN pupuk. AI