Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Dalam berita di detikNews Jumat (26/07/2024) disebutkan bahwa “Hutan Mangrove di Indonesia Terancam Deforestasi”. Lebih jauh Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyatakan bahwa Hartono mengatakan luas lahan mangrove yang dimiliki oleh Indonesia tidak terlepas dari ancaman deforestasi, tidaklah mengejutkan karena regulasi yang diharapkan mampu mengatur secara komprehensif dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang telah disiapkan sejak tahun 2022 tak kunjung disahkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) hingga saat ini.
Secara angka, Indonesia memiliki hutan mangrove lebih dari 45 persen di Asia dan 20 persen di dunia. Data Peta Mangrove Nasional 2023 menunjukkan luas mangrove eksisting Indonesia mencapai 3,44 juta hektare. Dilihat dari citra satelit, sepanjang tahun 1980-2010, dalam kurun waktu 30 tahun terjadi deforestasi mangrove yang masif dan berdasarkan penelitian dari BSI KLHK, antara 2021-2030 diperkirakan akan terjadi tambahan deforestasi mangrove seluas 299.258 ha, artinya lajunya sekitar 29.000 ha per tahun,” kata Hartono di acara Mangrove for Future di Jakarta, Jumat (26/7/2024). “Emisi akibat deforestasi mangrove dapat mencapai 1.000 ton per ha, serta potensi serapan emisi yang hilang dari mangrove yang telah dikonversi adalah 50 ton per ha per tahun. Dengan ancaman ini, perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia menjadi sangat krusial,” ungkapnya.
Dia menjelaskan secara angka BRGM telah melakukan rehabilitasi mangrove pada areal seluas 600 ribu hektare di 9 provinsi. Adapun provinsi yang dimaksud yakni Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua. Adapun detailnya, yakni 200 ribu ha untuk rehabilitasi mangrove melalui kegiatan penanaman oleh masyarakat dan 400 ribu ha berupa keberlanjutan. “Target 400.000 ha berupa pengelolaan lanskap mangrove berkelanjutan, termasuk di dalamnya melindungi areal mangrove yang masih utuh melalui penguatan regulasi, kelembagaan, serta pemberdayaan masyarakat,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Menteri KLHK Alue Dohong mengatakan ada sejumlah wilayah pesisir yang mengalami deforestasi yang cukup besar yakni di Sumatera dan Kalimantan. “Kita lihat pantai pesisir utara itu mengalami (deforestasi lumayan besar). Di Kaltara itu untuk tambak-tambak ikan dan sebagainya. Di Kaltim dan seterusnya,” ujar Alue Dohong di acara tersebut. Oleh karena itu, Alue mengajak pihak terkait untuk bersama menjaga ekosistem mangrove dengan menerapkan strategi 3M. “(Strategi 3M) Menjaga Menjaga yang tersisa yang masih bagus, meningkatkan nilai-nilai jasa ekosistem yang mengalami degradasi, penanaman dan sebagainya. Memulihkan, restorasi mangrove yang sudah rusak,” tutup Alue.
Eksisting Mangrove dan Tata Ruangnya
Data terakhir dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikutip harian Kompas (04/08/2022), menyebut bahwa total luas habitat ekosistem mangrove 4.120263 ha yang terdiri dari habitat ekosistem mangrove yang masih ada (existing) 3.364.080 ha dan potensi habitat mangrove seluas 756.183 ha. Mangrove exsisting terdiri dari ekosistem mangrove yang lebat (3.121.240 ha), sedang (188.366 ha) dan jarang (54.474 ha). Sementara itu, potensi habitat mangrove terdiri dari areal terabrasi,lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul (akresi). Mangrove yang secara legal masuk dalam kawasan hutan seluas 2.936.813 ha dan diluar kawasan hutan (areal penggunaan lain/APL) 1.183.449 ha. Uniknya lagi, dalam kawasan hutan juga dibagi lagi sesuai kawasan fungsinya sebagaimana ekosistem hutan yang berada di daratan yakni hutan konservasi (HK) 797.109 ha, hutan lindung (HL) 991.456 ha dan hutan produksi (HP) 1.148.248 ha. Habitat mangrove yang telah rusak dan perlu direhabilitasi kembali seluas 756.182 ha yang terdiri terdiri dari mangrove yang rusak dalam kawasan hutan 756.182 ha (HK 48.838 ha, HL 83.732 ha, HP 132.570 ha) dan mangrove yang rusak diareal APL 480.651 ha.
Melihat peran strategis habitat ekosistem mangrove yang dimiliki Indonesia sekarang dalam mengendalikan emisi karbon dan menghadapi krisis iklim yang menjadi musuh dunia, maka tata ruang kawasan/hutan mangrove yang ada sekarang sudah tidak revelan lagi dengan tuntutan era sekarang. Berpijak dari terbentuknya ekosistem mangrove yang khas/unik yakni ekosistem mangrove hidup dipantai, tetapi tidak semua pantai dapat ditanami mangrove maka penetapan kawasan fungsi kawasan ekosistem/hutan mangrove menurut undang-undang (UU) tata ruang maupun UU kehutanan dan regulasi turunannya, harusnya menjadi pembeda dibandingkan dengan fungsi kawasan hutan gambut maupun hutan tropika daratan lainnya.
Dalam undang-undang 26 tahun 2007, tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan. Dari lima kriteria kawasan lindung dalam UU tata ruang ini, hutan konservasi, hutan lindung dan kawasan pantai berhutan bakau masuk dalam kriteria kawasan lindung. Oleh sebab itu, pembagian fungsi kawasan hutan (HK, HL dan HP) dalam kawasan hutan mangrove sudah tidak realistis dan tidak ada dasar hukumnya. Menurut peraturan pemerintah (PP) no. 44/2004 tentang perencanaan hutan dan diubah/disempurnakan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pembagian fungsi kawasan hutan (khususnya HL dan HP) hanya berlaku dalam kawasan hutan daratan yang didasarkan pada n faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan. Sementara dalam kawasan hutan mangrove faktor keles lereng, jenis tanah dan intensitas hujan relatif sama antara habitat mangrove yang satu dengan yang lain. Jadi dasar hukum apa yang digunakan untuk membedakan HL dan HP dalam kawasan hutan mangrove ?. akibat kesalahan masa lalu karena ketidak cermatan dalam mengoverlaykan antara peta tata ruang dengan peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK) maka terdapat kawasan hutan mangrove yang masuk dalam kawasan APL, padahal APL ini hanya berlaku pada hutan produksi di kawasan daratan yang masuk dalam irisan kawasan bududaya dalam peta tata ruang. Sementara itu, kawasan hutan pantai berhutan bakau telah dipertegas masuk dalam kawasan lindung (bukan kawasan budidaya yang secara otomatis bukan masuk dalam APL).
Dengan demikian, kawasan mangrove existing sekarang seharusnya mutlak ditetapkan sebagai kawasan lindung (HK atau HL yang masuk dalam kawasan hutan). Fungsi kawasan HP bagi hutan mangrove agar segera dapat diubah kedalam HK/HP melalui mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan yang dijamin oleh regulasi PP no. no. 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang mempermudah perubahan fungsi kawasan didalam fungsi kawasan (HPK, HPT dan HPB) atau antar fungsi kawasan (konservasi, lindung dan produksi). Yang diubah dalam PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Meskipun demikian, untuk kepentingan kegiatan pembangunan non kehutanan yang mendesak dan urgent membutuhkan lahan mangrove, kita tidak menutup mata untuk dialih fungsikan kepenggunaan lain, sepanjang luasnya terbatas dan selektif melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Bilamana RPP tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove dapat disahkan menjadi PP dalam tahun 2024 ini sebelum pemerintahan Presiden Jokowi berakhir, maka diharapkan PP ini sekaligus mampu mengatur dan merapaikan tata ruang ekosistem mangrove yang baru dan menjadikannya sebagai kawasan lindung.
Keberhasilan Semu
Sepanjang 2010-2019, pemerintah Indonesia telah menanam mangrove lebih dari 45.000 hektare. Sementara tahun 2020, penanaman mangrove kembali dilakukan seluas 39.970 hektare oleh KLHK, BRGM, serta pihak-pihak terkait lainnya. Sementara itu, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) semasa pandemi, percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2021 mencapai 34.000 hektare. Total luas mangrove yang telah direhabilitasi dari tahun 2010 hingga 2021 seluas 118.970 hektare. Selain itu, BRGM mengklaim telah mampu merehabilitasi mangrove pada areal seluas 600 ribu hektare di 9 provinsi.
Pada dasarnya keberhasilan luas habitat mangrove yang direhabilitasi dari sejak tahun 2010- hingg 2021 seluas 118.970 hektare dan 600 ribu hektare yang dilakukan BRGM adalah keberhasilan semu, karena dihitung berdasarkan luas habitat mangrove yang rusak dan telah ditanami kembali (revegetasi) dengan tanaman mangrove yang baru dan belum diukur dan dihitung tingkat keberhasilan tanaman yang hidup berdasarkan kaidah ilmu silvikultur kehutanan yang ada. Data luas yang disebut di atas adalah data luas penanaman. Keberhasilan dalam arti tingkat pertumbuhan dan luas tanaman (survival rate and large growth) rehabilitasi mangrove belum dilaporkan dan diverifikasi secara menyeluruh.
Sebelum ada BRGM yang fokus menangani mangrove ini, KLHK telah lama dan bertahun-tahun melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui unit pelaksana teknis (UPT) di daerah yakni Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL yang ada di setiap provinsi) meskipun cakupan luas dan sebarannya tidak semasif sekarang setelah adanya institusi BRGM. ahkan dulu dibentuk adanya Balai Rehabilitasi Mangrove di Medan dan Denpasar yang khusus ditugaskan untuk menangani kegiatan mangrove. Namun sayang sistem MRV (meansurement, reporting dan verification) yang dibangun KLHK sangat lemah dan sulit diimplementasikan secara transparan. Publik tidak mendapatkan gambaran yang utuh berapa sebenarnya luas mangrove yang telah ditanam setelah dalam jangka waktu tertentu (5, 10, 15 tahun) berhasil tumbuh dengan baik dari luas tanaman mangrove pada awal ditanam. Selama ini KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana yang digelontorkan setiap tahunnya saja.
Menurut Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko (kini Direktur Jenderla Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem), kegagalan tanaman mangrove antara lain akibat tempat atau lokasi yang kurang sesuai karena berhadapan langsung dengan laut, kurangnya partisipasi masyarakat, ketidaksesuaian waktu tanam dan masa berbuah, waktu tanamnya terlalu mundur dengan musim ombak yang tenang, lokasi bekas habitat mangrove yang telah rusak. BRGM belum punya tolok ukur tingkat keberhasilan tanaman mangrove yang baku. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 pun, pedoman teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya berlaku dan dikhususkan pada tanaman reboisasi pada kawasan teresterial (daratan). Itu pun, keberhasilan tanaman reboisasi masih dapat diperdebatkan karena teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya dilakukan sampai pada pemeliharaan II (tanaman umur 3 tahun). Padahal penilaian keberhasilan tanaman harus diukur sampai dengan tanaman mencapai umur dewasa (minimal 15 tahun) setelah melalui fase anakan, sapihan, tiang dan pohon dewasa.
Seharusnya tingkat keberhasilan tanaman mangrove dapat diukur dan dihitung berdasarkan Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 201 /2004 yang ditandatangani oleh Nabiel Makarim. Dalam pedoman tersebut disebut bahwa habitat mangrove yang rusak atau gagal dalam rehabilitasinya apabila penutupan vegetasi (vegetasi coverage) dalam satu hektar kurang dari 50 % dan kerapan pohon kurang dari 1000 batang pohon per hektar. Sedangkan habitat ekosistem mangrove yang baik dan berhasil adalah pentupan vegetasinya diatas 50 % atau tingkat kepadatannya diatas 1000 batang per hektar. Apabila untuk penanaman murni dengan jarak tanam 2 x 1 meter dengan muatan bibit per hektare 5.000 batang bibit per hektare dengan tingkat keberhasilan 50 % saja (atau hidup diatas 2500 batang pohon/ha), sampai tanaman mangrove dapat bertahan sampai umur 3 tahun (pemeliharaan tahun II), dapat dipastikan mangrove tersebut akan kuat dan mampu bertahan sampai dengan menjadi mangrove dewasa, sepanjang tanaman tersebut tidak diganggu oleh faktor luar seperti kebakaran, penebangan lair dan perambahan untuk kepentingan lain (untuk pertambakan). Sebab, meskipun tanaman mangrove juga melalui fase anakan, sapihan, tiang dan pohon; namun fase kritis hanya pada tahan anakan saja. Selebihnya, pada fase sapihan, tiang sampai pohon hanya tinggal fase penyesuaian/adaptasi terhadap habitatnya. ***