Mentan: Investasi Tak Boleh Rusak Lahan Pertanian

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) terus mengkampanyekan agar semua pihak menjaga lahan pertanian yang ada agar kebutuhan pangan 267 juta jiwa rakyat Indonesia bisa disediakan secara mandiri. Apalagi, lahan di Jawa, di mana jumlah penduduknya paling banyak.

“Jadi, kalau alih fungsi lahan dibiarkan, besok anak-anak kita mau makan apa? Oleh karena itu, boleh saja ada perumahan, bisa ada hotel, tapi tidak boleh merusak lahan pertanian yang ada,” tegas SYL di kota Bogor, Selasa (3/3/2020).

Mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini menjelaskan, Perda (Peraturan Daerah) tentang perlindungan lahan abadi pertanian untuk tidak dialihfungsikan sudah ditandatangani para kepala daerah.

Bagi pihak yang melakukan alih fungsi lahan, maka sesuai dengan UU Nomor 51 tahun 2009 dikenakan sanksi penjara 5 tahun. “Kalau itu by konspirasi, tanda tangan DPR segala macam untuk menghilangkan itu, penjaranya 8 tahun, Pak. Ada undang-undangnya itu” tegasnya.

Seperti diketahui, negara telah mengeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kementerian Pertanian (Kementan) dalam hal ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan, di antaranya dengan memberikan berbagai bantuan saprodi seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi.

Mentan SYL hingga ini terus mengupayakan pencegahan alih fungsi lahan, salah satunya dengan single data lahan pertanian. Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama, termasuk masalah lahan pertanian dan produksi.

Menurut SYL, data yang akurat tentunya menciptakan banyak program yang tepat guna dan tepat sasaran untuk percepatan kemajuan pertanian, khususnya petani di seluruh Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, ke depan, tak ada lagi polemik soal data lahan, baik yang dipegang Kementan, BPS serta Kementerian dan lembaga lain.

“Rujukan kita adalah BPS. Jadi datanya harus satu. Tidak boleh tumpang tindih soal data. Pemerintah juga terus mendorong pemda jangan terlalu mudah memberikan rekomendasi alih fungsi lahan,” ujarnya.

Melansir data BPS 2019, melalui data yang diambil citra satelit melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA), luas lahan baku sawah di Indonesia saat ini menjadi 7,4 juta hektare (ha). Padahal, luasan sebelumnya, yang mengacu data BPS 2013, masih mencapai 7,75 juta ha.

“Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pertanian yang maju, modern dan mandiri, kita harus tegas melawan alih fungsi lahan agar bisa memberi makan rakyat 267 juta jiwa. Maka itu menjadi langkah besar, tidak boleh melihat itu sebagai masalah kecil,” katanya.

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy mengatakan, salah satu amanat mendasar dari UU No. 41 Tahun 2009 adalah LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) dalam Perda RTRW dan/atau RDTR Kabupaten/Kota.

“LP2B sesuai amanat UU No. 41 Tahun 2009 dan turunannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota yang dituangkan dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi maupun Kabupaten/Kota,” jelasnya.

Guna mengintegrasikan Penetapan LP2B dalam Perda RTRW tersebut, sudah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 8 tahun 2017, yakni tentang Pedoman Pemberian Persetujuan Substansi Dalam Rangka Penetapan Peraturan Daerah Tentang RTRW Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota.

Pada Pasal 9, Huruf d disebutkan, evaluasi materi Rancangan Perda Rencana Tata Ruang dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit 5 substansi. Salah satu di antaranya adalah LP2B. Lebih lanjut, Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2018 menetapkan persebaran KP2B dimuat dalam RTRW, penunjukan kawasannya digambarkan dalam peta tersendiri dan akan ditampilkan (overlay) dengan peta rencana pola ruang.

Melalui komitmen penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) dalam RTRW dan/atau RDTR Kabupaten/Kota diharapkan dapat mengendalikan lahan pertanian agar tidak dialihfungsikan menjadi peruntukan lainnya.

“Selain itu, Perda RTRW juga berfungsi sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi pembangunan skala besar. Sehingga terbentuk keselarasan, keserasian, keterpaduan, kelestarian dan kesinambungan pemanfaatan ruang,” tuturnya.

Dijelaskannya, rekapitulasi penetapan LP2B dalam Perda RTRW Kabupaten/Kota sampai sekarang adalah 481 Kabupaten/Kota telah menetapkan Perda RTRW. Dari jumlah tersebut, 221 Kabupaten/Kota telah menetapkan Perda RTRW dan 260 Kabupaten/Kota tidak menetapkan LP2B dalam Perda RTRW.

“Rekapitulasi penetapan Perda tentang PLP2B sampai sekarang adalah 67 Kabupaten/Kota dan 17 Provinsi. Sebagian besar Perda PLP2B yang ditetapkan tersebut hanya menyalin pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 41/2009 maupun peraturan perundangan turunannya.

Jika disesuaikan dengan amanat UU 41/2009, penetapan LP2B cukup diintegrasikan dalam Perda RTRW kemudian ditindaklanjuti dengan pengaturan yang lebih rinci dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). “Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tetap menyusun dan menerbitkan Perda LP2B diharapkan mengakomodir muatan lokal dan operasional yang disesuaikan dengan kebutuhan Provinsi, Kabupaten/Kota yang bersangkutan,” tambah Sarwo Edhy. PSP