Oleh: Ida Lestari dan Irene Linda (Bekerja di Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan).
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat ditularkan antar hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Sampai saat ini rabies masih belum bisa dituntaskan pengendaliannya di Indonesia. Padahal Rabies masih merupakan salah satu dari Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang telah diatur lewat Permentan 61 tahun 2015 terkait Pemberantasan Penyakit Hewan dalam meminimalisir kerugian ekonomi khususnya berjangkit dan menyebarnya penyakit ke daerah lainnya.
Menteri Pertanian lewat Kepmentan 4026 tahun 2013 telah menetapkan 25 PHMS di Indonesia yaitu 1) Anthrax; 2) Bovine Tubercullosis; 3) B. abortus; 4) B. suis; 5) Camphylobacteriosis; 6) CSF; 7) Cysticercosis; 8) Haemorrhagic Septichaemia; 9) Helminthiasis; 10) HP dan LP AI; 11) IBR; 12) Leptospirosis; 13) Nipah Virus Encephalitis; 14) Para TB; 15) Jembrana; 16) PRRS; 17) Q Fever; 18) Rabies; 19) Salmonellosis; 20) Surra; 21) Swine Influenza; 22) Toxoplasma dengan tambahan 3 penyakit ekzootik lain yaitu BSE; PMK dan RVF.
Penyakit Rabies sendiri di Indonesia sampai saat ini masih merupakan PHMS yang diutamakan (prioritaskan). Prioritas penyakit sampai saat ini dikenal dengan nama RABAH (Rabies – Anthrax – Brucellosis – Avian Influenza dan Hog Cholera). Rabies diutamakan karena manusia yang terkena gigitan hewan yang positif Rabies bisa mengalami kematian bila tidak segera ditangani. Ini dikarenakan virus Rabies dapat menyerang otak dan susunan syaraf pusat dari pihak yang tergigit.
Hewan Penular Rabies (HPR) diantaranya adalah anjing dan kera. Secara statistik sekitar 98% penyakit Rabies umumnya ditularkan melalui gigitan anjing dan 2% penyakit rabies ditularkan melalui gigitan kucing dan kera.
Mengingat tingkat kematian (Case Fatality rate) untuk penyakit Rabies ini hampir 100%, hal ini menunjukkan bahwa penyakit rabies masih merupakan ancaman bagi kesehartan masyarakat.
Penetapan prioritas PHMS sejatinya setiap tahun patut dievaluasi apakah masih tetap sesuai atau tidak. Sejak tahun 1985 Indonesia mencanangkan bebas Rabies pada 5 tahun kedepannya namun sampai saat ini Rabies masih belum dapat dientaskan secara sempurna dari bumi Indonesia.
Sebentar lagi (September 2021) kita akan memperingati hari Rabies sedunia (World Rabies Day/WRD). Indonesia sudah mendeklarasikan bebas Rabies pada tahun 2030. Menuju bebas Rabies tentu tidak bisa dikerjakan sendiri. Diperlukan komitmen dan kerjasama/koordinasi lintas Kementerian–Lembaga dalam menuju target tersebut, khususnya Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemenko PMK, para tenaga medis/medis Veteriner, organisasi Internasional, organisasi profesi, selain juga melibatkan lapisan masyarakat pecinta dan penyayang hewan kesayangan. Penting juga untuk memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat umum dalam menuju keberhasilan kampanye Indonesia/Dunia bebas Rabies.
Sampai saat ini masih terdapat 8 Provinsi di Nusantara yang bebas dari penyakit Rabies, dan kita semua mengharapkan daerah bebas penyakit Rabies di Indonesia akan terus bertambah, dan kasus gigitan Rabies akan terus semakin berkurang bila kita semua memiliki komitmen yang kuat dan kerjasama yang erat.
Pengendalian penyakit Rabies selain dengan vaksinasi juga dapat dilakukan dengan tindakan sterilisasi pada hewan anjing/kucing pada umur di atas 6 bulan saat mereka mengalami pubertas pertama. Program sterilisasi ini agak memakan waktu dan skill karena memerlukan tenaga medik veteriner yang sudah terbiasa dan handal dalam melakukan kastrasi atau ovaryohysterectomi dan membutuhkan waktu tambahan 1-2 hari guna pemulihan hewan paska sterilisasi.
Di Indonesia, kita memiliki peraturan yang mengatur kesejahteraan hewan/kesrawan dalam hal hewan yang akan dipotong baik untuk konsumsi atau kurban atau dibunuh karena dianggap membahayakan. Semua kegiatan tersebut harus dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya dengan memperhatikan kesrawan dimana hewan tersebut harus terbebaskan dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, pengananiyaan dan penyalahgunaan.
Dahulu eliminasi populasi hewan liar dapat dengan menggunakan preparat strychnine namun saat ini penggunaannya di Indonesia sudah dilarang karena dianggap melanggar kesejahteraan hewan seperti yang tertuang dalam UU No 18 tahun 2009 pasal 66-67 dan UU No 41 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 18 tahun 2009 yang mengatur tata cara menangkap, mengandangkan, memelihara, merawat, mengangkut, memotong hingga membunuh hewan harus dengan cara yang layak.
Preparat Strychnine ketika terhirup, tertelan atau terserap melalui mata atau mulut dapat menyebabkan keracunan yang mengakibatkan kejang otot dan akhirnya kematian melalui asphyxia (kadar oksigen dalam tubuh berkurang sehingga menimbulkan ketidak-sadaran).
Dalam catatan sejarah sejak tahun 1640, penggunaan preparat strychnine digunakan untuk membunuh anjing, kucing dan burung di Eropa. Sementara di Amerika Serikat sejak tahun 1990, sebagian besar umpan yang mengandung preparat Strychnine telah diganti dengan zat zinc phosphate. Negara Belanda juga telah melarang penggunaan preparat Strychnine untuk mengeliminasi rodentia.
Di Indonesia BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPOM No 28 tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional, Bahan Suplemen Kesehatan dan bahan Pangan Ke dalam Wilayah Indonesia, yang dituang pada Lembaran Negara RI No 144 tahun 2009 mengatur pemasukan bahan obat Strychnine Nitrat yang termuat pada lampiran No 103 dengan HS code 2939999000.
Mengingat tinggal satu cara termudah dalam pencegahan penyakit Rabies adalah lewat imunisasi, maka pemerintah harus dapat menyiapkan stock vaksin Rabies setidaknya cukup untuk sekitar 70% populasi anjing pada khususnya untuk mencapai kekebalan kelompok suatu wilayah seperti yang dikutip dari para epidemiolog WHO. Agak sedikit sulit menentukan jumlah populasi anjing yang berada di Indonesia. Tidak semua orang dapat memahami dengan benar cara penghitungan populasi anjing yang ada dengan tepat di Indonesia.
Kita mengenal vaksin konvensional pada manusia dan hewan terkait dengan sifat hidup agen infeksi yang terkandung didalamnya, vaksin tersebut dibedakan dalam 2 macam yaitu a) vaksin hidup (live attenuated vaccine) yang mengandung virus atau bakteri yang telah dilemahkan keganasannya; dan b) vaksin mati (killed vaccine) yang mengandung virus dan bakteri yang sudah dimatikan. Keduanya dapat memicu dan merangsang pembentukan antibodi pada tubuh manusia hewan bila diaplikasikan ke dalam tubuh mereka.
Namun dalam perkembangannya dunia telah membuat vaksin GMO (Genetic Modified Organism)/PRG (Produk Rekayasa Genetik) yang memiliki kandungan materi genetik yang sudah dimodifikasi secara artifisial. PRG ini harus memperoleh sertifikat keamanan hayati sebelum didaftarkan sebagai obat hewan golongan biologik.
Terkait dengan GMO, beberapa Negara seperti di Thailand sudah mencoba vaksin GMO Rabies pada anjing mereka, yang diterapkan pada anjing liar di sana, dimana vaksin GMO ini disisipkan pada umpan yang telah dipelajari sebelumnya yaitu umpan yang disukai pada hewan anjing di sana. Vaksin ini bukan diberikan secara injeksi namun melalui oral.
Prinsip ini cukup baik diterapkan pada Negara-negara yang melakukan vaksinasi pada hewan rubah (fox) dan anjing rakun (racoon dogs) di Afrika dan Eropa dimana vaksin dalam umpan tersebut ditebarkan dari pesawat udara untuk disantap oleh para rubah atau rakun yang sekaligus mengebalkan tubuh rubah dan rakun yang telah memakannya.
Prinsip ini berjalan bila di dalam suatu wilayah terjadi kesulitan dalam melakukan vaksinasi pada anjing liar dalam pengertian hewannya susah ditangkap, susah dipegang dan susah menyuntikkan ke tubuh hewan tersebut.
Vaksin oral mungkin akan lebih mudah penerapannya di lapangan karena antara hewan (penerima vaksin) dan manusia pemberi vaksin tidak terlalu dekat interaksinya. Vaksin oral akan masuk kedalam saluran pencernaan hewan yang menelan vaksin tersebut. Kemudian vaksin oral akan merangsang sistem kekebalan tubuh, sehingga membentuk antibodi untuk melawan datangnya penyakit. Virus GMO Rabies hidup yang telah dilemahkan ini akan langsung diikat dan dimatikan oleh sistem kekebalan tubuh anjing yang terbentuk setelah vaksinasi.
Di Indonesia, setiap produk obat hewan yang akan diaplikasikan pada hewan baik produksi dalam maupun luar negeri harus diberlakukan uji mutunya dan lulus uji mutu agar vaksin yang beredar di lapangan terjamin khususnya dari segi keamanan dan potensi vaksin. Selain juga beberapa uji terkait mutu vaksin seperti uji toksisitas pada hewan percobaan, uji kemurnian dan uji stabilitas vaksin sebelum diaplikasikan kepada hewan target (anjing, kucing dan kera).
Selama ini Indonesia hanya mengenal vaksin Rabies mati (killed vaccine) yang aplikasinya disuntikkan dibawah kulit (sub-cutan) hewan. Vaksin yang diberlakukan dalam suntikan akan membuat tubuh anjing membentuk kekebalan langsung dalam darah. Indonesia beruntung karena sudah memiliki produsen dalam negeri yang diharapkan mampu menyediakan kebutuhan vaksin Rabies khususnya bagi kebutuhan dalam negeri di daerah wabah penyakit.
Yang perlu penyamaan persepsi dalam penggunaan vaksin di lapangan adalah tidak lagi menambah jenis strain vaksin yang sudah ada di lapangan (Indonesia) selama ini. Vaksin yang akan digunakan harus sudah lulus uji mutu dan bila termasuk kategori vaksin produk rekayasa genetika, maka vaksin ini juga sudah melewati pemeriksaan kelayakan pada Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika/KKH-PRG untuk memperoleh sertifikat keamanan hayati. Keamanan penyebaran oral vaksin bila tersisa di lapangan juga masih harus diperhatikan karena sejatinya harus melibatkan personel yang mau dan komit terhadap keamanan hewan dan lingkungan sekitar.
Tentunya mengingat vaksin yang diberikan secara oral mungkin tidak mendapatkan buku sertifikat vaksin seperti halnya diberlakukan pada hewan kesayangan pada umumnya. Namun kita harus mampu mengenal/menandai hewan target yang telah mendapatkan oral vaksin Rabies ini dan sebaiknya juga kita dapat sudah mengetahui titer antibody dalam tubuh hewan sebelum dan sesudah mendapatkan vaksin oral, agar keberhasilannya dapat diketahui dengan jelas. Hal itu juga untuk menentukan berapa lama kekebalan yang dibentuk dalam tubuh anjing yang divaksin guna melakukan booster bila memang wajib dilakukan.