Kalangan mahasiswa menyambut antusias implementasi multiusaha kehutanan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Mereka berharap bisa ikut berkontribusi dalam implementasi multiusaha kehutanan dan menggairahkan kembali sektor kehutanan di tanah air.
Demikian terungkap dari webinar “Multiusaha Kehutanan Mewujudkan Kebangkitan Sektor Kehutanan yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan”. Webinar berlangsung selama tiga seri terakhir pada Rabu (28/7/2021). Webinar tersebut juga sekaligus menjadi penanda peluncuran Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer Mahasiswa Kehutanan.
Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Rezky Ramanda Kristiansyah menilai implementasi mutiusaha kehutanan akan membuka pola pikir dalam memanfaatkan hasil hutan bukan hanya kayu tapi juga non kayu.
Dia menyatakan, implementasi multi usaha kehutanan bisa mengoptimalkan potensi hutan, khususnya yang ada di Kalimantan Timur.
“Dengan multiusaha kehutanan, kami mahasiswa akan berfikir bagaimana memanfatkan hasil hutan kayu dan non kayu khususnya yang ada di Kalimantan Timur,” kata dia.
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman saat ini banyak melakukan riset terapan pengolahan dan pemanfaatan hasil hutan hutan bukan kayu. Rezky menuturkan, kurikulum perkuliahan yang kini diikuti mahasiswa pun banyak yang mengarahkan pada pengembangan hasil hutan bukan kayu seperti minyak atsiri.
Rezky juga memandang implementasi Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) bisa memberi kesempatan bagi pemilik konsesi hutan memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan.
Sementara itu Rizaldi Wajo. Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanudin Sulawesi, Makasar, Sulawesi Selatan menyatakan implementasi multiusaha kehutanan bisa menjadi peluang bagi kalangan mahasiswa untuk bisa punya usaha kehutanan.
Dia menuturkan, kalangan mahasiswa harus tertantang untuuk berinovasi memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan. Rizaldi menyatakan saat ini dia bersama kampusnya sedang melakukan penelitian tentang perekat untuk industri kayu.
Perekat yang sedang diteliti berbasis tulang ikan yang menjadikannya lebih ramah lingkungan. Seperti kita ketahui, perekat kayu saat ini banyak yang berbasis kimia formaldehida yang tidak ramah lingkungan.
“Saya sedang melaksanakan penelitian tersebut,” kata Rizaldi.
Rizaldi menyatakan dengan multiusaha kehutanan dan inovasi pengolahan hasil hutan maka mahasiswa bisa berkontribusi pada industri berorientasi ekspor.
Inovasi
Kepala Pusat Inovasi Hasil Hutan Bukan Kayu Universitas Hasanudin Dr Baharuudin menyatakan, inovasi menjadi kunci untuk pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan. Dia menyatakan, inovasi menjadi penting di tengah keterbatasan sumber daya alam.
“Inovasi bisa mendorong pemanfaatan sumber daya alam dari yang sebelumnya bersifat linear menjadi circular,” katanya.
Pemanfaatan bersifat linear berarti suatu barang tak termanfaatkan kembali setelah habis dikonsumsi. Sementara pemanfaatan circuclar berarti limbah dan sisa dari proses produksi dan konsumsi bisa diolah kembali menjadi produk yang bernilai dan bermanfaat.
Baharuudin menuturkan, inovasi hasil hutan bukan kayu yang kini sedang dilakukan pihaknya antara lain tentang bioenergi, pangan, lebah madu, minyak atsiri, dan pemanfaatan limbah dari penglahan hasil hutan.
Sementara itu dosen Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB, Dr Hikmat Ramdan menyatakan, salah satu potensi hutan yang bisa dimanfaatkan adalah healing forest (hutan untuk penyembuhan).
“Healing forest adalah nature therapy pada spot-spot ekosistem hutan yang memiliki healing services, sehingga reconnecting people to nature terjadi,” kata dia.
Dia memperkirakan kebutuhan healing forest akan semakin meningkatkan pasca pandemi Covid-19. Hikmat menjelaskan, alam telah terbukti secara ilmiah bisa meningkatkan suasana hati, mengurangi kecemasan, menurunkan ketegangan otot dan detak jantung, serta mampu meningkatkan pemikiran kreatif.
Dalam praktiknya healing forest lebih dari sekadar ekowisata. Hikmat menyatakan, healing forest meningkatkan kontribusi nilai manfaat ekosistem hutan terutama jasa ekosistem untuk kesehatan.
PBPH
Soal implementasi multiusaha kehutanan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menuturkan, Indonesia bisa berkaca pada pengelolaan hutan yang dilakukan negara-negara Skandinavia. Di sana, meski hutan tak terlalu luas, namun bisa memberi kontribusi devisa dan penyerapan tenaga kerja yang luar biasa.
Menurut Indroyono, UUCK menjadi pembuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk bisa mengembalikan kejayaan sektor kehutanan, bukan hanya berbasis kayu.
“Konfigurasi bisnis multiusaha kehutanan bukan hanya industri berbasis kayu, tapi juga hasil hutan non kayu dan bioprospecting, agroforestry, jasa lingkungan, energi biomassa dan energi terbarukan,” katanya,
Indroyono menjelaskan pemegang Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) sudah mulai bergerak mengembangkan sejumlah model bisnis multiusaha kehutanan.
Untuk ekowisata, sejumlah PBPH telah bergerak seperti yang dilakukan PT Inhutani, PT Kandelia Alam, dan Perum Perhutani. Sementara produk kayu yang dihasilkan didiversifikasi. Kini serat kayu diolah menjadi berbagai produk misalnya masker medis. Serat kayu juga bisa diproses menjadi viscose sebagai bahan baku pembuatan kain.
Produk kayu konvensional pun terus akan dikembangkan sehingga bisa menghasilkan produk yang kuat dan fleksibel namun efisien. Ini untuk menangkap tren penggunaan produk kayu untuk konstruksi yang kini berkembang.
Indroyono juga mengungkapkan soal pengembangan industri biomassa kayu sebagai pengganti batubara. Menurut dia, biomassa menjadi salah satu penopang untuk tercapainya target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia juga di negara lain.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menyatakan UUCK membuka ruang bagi implementasi multusaha kehutanan.
Agus mengingatkan usaha kehutanan yang berorientasi hanya pada kayu kini tak relevan lagi. “Harus ada perubahan paradigma dari produk, apalagi jika hanya kayu, menjadi berbasis lanscape multiusaha holistik dengan memperhatikan kelestarian bentang alam,” kata dia.
Perubahaan paradigma usaha kehutanan menjadi sebuah keniscayaan yang harus diimplementasikan oleh pemegang berizinan berusaha.
Berdasarkan data KLHK, saat ini ada 567 unit izin usaha pemanfaatan hutan produksi dengan luas total 30,5 juta hektare. Rinciannya sebanyak 294 unit berupa izin hutan tanaman industri seluas 11,2 juta hektare (ha), 257 unit berupa izin HPH (18,7 juta ha), dan 16 unit berupa izin restorasi (621.736 ha).
Agus menjelaskan UUCK dan Peraturan Pemerintah (PP) 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan mendorong implementasi multiusaha kehutanan. Pemegang Perizinan Pemanfaatan Hutan (PPPH) kini bisa menfaatkan konsesinya untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, kayu, dan kayu.
Pengolahan hasil hutan pun didorong untuk lebih terintegrasi sehingga semakin efisien dan meningkatkan daya saing. Tak hanya itu, ruang bagi implementasi perhutanan sosial juga semakin diperluas.
“Multiusaha kehutanan akan mampu meningkatkan ekonomi riil kehutanan, meningkatkan persentase areal aktif, dan meningkatkan geliat pasar,” katanya.
Agus menjelaskan, antusiasme implementasi multiusaha terlihat dari telah adanya 10 PPPH yang mengajukan skema multiusaha kehutanan.
Sugiharto