Misteri Luas Kecukupan Kawasan Hutan

Kawasan hutan
Pramono DS

Oleh:  Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

Dengan terbitnya peraturan pemerintah (PP) no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, tuntas sudah regulasi omnibus law di bidang kehutanan dari mulai berlakunya Undang-undang (UU) no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bulan November tahun lalu. PP yang terdiri dari 302 pasal ini, nampaknya sangat komprehesif dan representatif dalam memperbaiki dan menyempurnakan PP sebelumnya yang tercerai berai dan di sana sini banyak tumpang tindih pasal-pasalnya.

Beberapa masalah krusial yang kontroversial dalam UU Cipta Kerja dapat dijawab dengan tuntas dalam PP ini tanpa harus digantung atau menunggu dengan terbitnya Peraturan Menteri. Ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri dalam PP ini sifatnya hanya normatif. Meskipun PP ini dianggap cukup lengkap dalam mewadahi penyelenggaraan kehutanan, namun terdapat misteri pasal dalam UU Cipta Kerja bidang kehutanan dan turunannya PP baru tersebut yang selama ini dianggap krusial dan kontroversial. Misteri itu adalah penghapusan luas minimal 30 persen kawasan hutan yang harus dipertahankan dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya suatu saat  menjelaskan, filosofi penghapusan itu bertujuan menghilangkan pembatas bagi daerah yang luas kawasan hutannya kurang dari 30 persen agar tetap bisa melakukan pembangunan. seperti daerah-daerah lain di Indonesia. “Kalau di UU dikasih angka (persentase minimal), maka bisa mengandung arti membatasi sehingga tidak semua daerah bisa membangun bersama-sama.

Dalam pasal 41 PP yang baru tersebut, disebutkan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan berdasarkan pertimbangan a) biogeofisik; b) daya dukung dan daya tampung lingkungan; c) karakteristik DAS; dan d) keanekaragaman flora dan fauna pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional. Artinya, seluruh kawasan wilayah Indonesia yang dibagi habis berdasarkan wilayah DAS/pulau/provinsi akan dihitung satu persatu luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya oleh KLHK secara kasus demi kasus (case by case)  dan ditetapkan dalam surat keputusan oleh Menteri LHK. Entah rumus dan metodologi apa yang akan digunakan oleh KLHK dalam menghitung luas kecukupan hutan dan tutupan hutan tersebut, yang jelas masih ada misteri dan pertanyaan kepada KLHK yang harus dijawab. Pertanyaan tersebut adalah:

Pertama, bukankah UU Cipta Kerja di bidang kehutanan dimaksudkan memberi kemudahan untuk menarik investasi sebesar-besarnya  dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan memperpendek/memangkas jalur birokrasi perizinan dalam penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Seharusnya dengan telah terbitnya 45 PP dan empat Peraturan Presiden (Perpres) sebagai turunannya, UU Cipta kerja sudah harus dan dapat berlaku secara operasional.

Kedua, sebenarnya dalam suatu wilayah DAS, perhitungan kecukupan luas hutan dan tutupan hutan sebagai penjaga keseimbangan hidroorologis hulu-hilir  lebih mudah dihitung karena batas DAS yaitu punggung bukit atau gunung jelas dilapangan maupun dipeta topografi sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Kawasan lindung sebagai kawasan yang wajib dipertahankan dan dijaga tutupan hutannya dalam kawasan hutan (hutan konservasi dan hutan lindung) yang tidak dapat ditambah dan dikurangi luasannya dapat dihitung langsung karena datanya telah tersedia di KLHK. Yang perlu dihitung adalah tutupan hutan dalam kawasan hutan produksi dan tutupan hutan diluar kawasan hutan sebagai tambahan dari tutupan luas hutan konservasi dan lindung . Itupun, kalau luas kawasan lindung dalam kawasan hutan dianggap belum cukup luasnya sesuai dengan kriteria yang termuat dalam PP yang baru.

Ketiga, bagaimana seandainya dari perhitungan KLHK, dengan luas kawasan lindung yang berada dikawasan hutan maupun hutan produksinya, tutupan hutannya lebih dari cukup bahkan lebih dari batas kecukupannya. Kasus beberapa provinsi di Kalimantan menunjukkan bahwa kawasan hutannya masih cukup luas, sebutnya saja Kalimantan Tengah mempunyai luas hutan 13,0 juta ha dari luas wilayah provinsi 15,4 juta ha atau sekitar 84,41 persen. Atau provinsi Papua Barat yang mendapat julukan sebagai provinsi konservasi dengan luas hutan 8,67 juta ha dari luas total provinsi 10 juta ha atau sekitar 86,7 persen. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat dalam menyikapi provinsi yang mempunyai luas hutan yang berlebih semacam ini setelah dikurangi dengan batas luas kecukupan hutan dan tutupan hutan yang sekarang sedang dihitung oleh KLHK. Bisakah kelebihan kawasan hutan dan tutupan hutan diluar kawasan hutan lindung dialih fungsikan untuk kepentingan  pembangunan non kehutanan.

Keempat, sebaliknya untuk provinsi di pulau Jawa yang hutan rata-rata dibawah 30 persen, bahkan untuk DAS tertentu di pulau Jawa luas dan tutupan hutannya sangat miris dan minimalis. Sebut saja DAS Ciliwung  luas hutan dan tutupan hutanya dibagian hulu tinggal 8,9 persen, DAS Solo bahkan lebih ekstrem lagi, luas hutan dan tutupan hutannya tersisa 4,0 persen. Anggap saja rata-rata DAS di pulau Jawa setelah hasil perhitungan luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya rata-rata pada ambang batas 20 persen dari luas DAS yang ada. Lalu bagaimana pemerintah membuat strategi memulihkan dan meningkatkan luas hutan dan tutupan hutannya menjadi 20 persen. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang selama ini dilakukan oleh pemerintah hanya disiapkan sebatas pembuatan bibit dan penanamannya saja sampai umur tiga tahun. Program RHL yang telah dijalankan puluhan tahun dianggap sebagai rutinitas biasa (bussines as usual) tanpa adanya evaluasi yang konkret keberhasilan tanaman menjadi pohon dewasa yang memakan waktu 15-20 tahun. Seharusnya pola dan program RHL harus diubah menjadi progam yang sifatnya mendesak, masal, masif dan luas dengan tolok ukur keberhasilan pohon yang hidup (business as unsual). Sebagai catatan, kawasan hutan negara di pulau Jawa saat ini, dikelola dan dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Perhutani.  Sejak terbitnya PP no. 2 tahun 1978, tentang Jawa Barat sebagai kesatuan unit produksi dalam unit manajemen Perhutani. Sejak itu manajemen Perhutani terbagi menjadi tiga unit pengelolaan seperti sekarang yaitu Unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur dan Unit III Jawa Barat dan Banten. Perum Perhutani saat ini mengelola lahan seluas 2,4 juta ha diseluruh Indonesia yang mayoritasnya berada di pulau Jawa, untuk digarap hasil hutannya mulai dari kayu hingga getah (terpentin) yang dijadikan sebagai barang komoditas. Namun sayangnya dari luas lahan sebesar itu, perusahaan hanya bisa  menggarap 900 ribu ha saja atau sekitar 37,5 persen saja. Selebihnya adalah zona ekologi yang merupakan kawasan perlindungan yakni ada hutan lindung seluas 932 ribu ha. Zona produksi yang saat ini dieksploitasi seluas 672 ribu ha. Selanjutnya zona konflik tenurial 101 ribu ha, zona ini merupakan lahan milik perusahaan yang diambil oleh pihak lain, bahkan terdapat bangunan diatasnya yang bukan milik Perhutani. Terakhir adalah zona adaptif seluas 728 ha. Sementara itu, menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan  XI Jawa — Madura, luasan hutan rakyat indikatif sebagai tutupan hutan diluar kawasan hutan di pulau Jawa pada tahun 2009 mencapai 2,7 juta ha.  Jadi tutupan hutan secara netto di pulau Jawa  seluas 5,1 juta ha dari luas total 12,83  juta ha atau sekitar 39,75 persen. Sedangkan luas hutannya hanya mencapai 18,70 persen dari luas total pulau Jawa.

Kelima, kapan perhituangan kecukupan luas hutan dan tutupan hutan akan diselesaikan KLHK, khususnya untuk daerah yang membutuhkan lahan kawasan hutan yang cukup tinggi untuk pembangunan seperti di pulau Jawa dan pulau Sumatera yang laju pembangunannya begitu tinggi sejak dibukanya akses jalan tol dari ujung utara dan selatan Sumatera dan ujung barat dan timur Jawa. Sudah barang tentu, investor tidak sabar lagi untuk memanfaatkan kemudahan UU Cipta Kerja dibidang kehutanan. Kerja besar dan cepat KLHK dalam menghitung kecukupan luas hutan dan tutupan hutan benar-benar dibutuhkan dan diuji sekarang. Jangan hanya karena lamban dan terlambat dalam urusan menghitung ini, KLHK dapat dituding sebagai penghambat masuknya investasi dalam kawasan hutan yang gilirannya juga menghambat laju pembangunan.

Jebakan Regulasi

Dari data yang ada, wilayah Indonesia terdiri dari 458 daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar diseluruh Indonesia.  Dari jumlah tersebut, 60 DAS diantaranya dalam kondisi kritis berat, 222 termasuk katagori DAS kritis dan 176 DAS lainnya berpotensi kritis akibat alih fungsi lahan yang membuat penyangga lingkungan itu, tidak berfungsi optimal. Sedangkan jumlah provinsi di Indonesia sebanyak  34 daerah provinsi dan jumlah pulau dengan ukuran sedang hingga kecil sebanyak kurang lebih 13.466 pulau selain lima pulau besar yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Mampukah pemerintah dalam hal ini KLHK, menghitung  luas kecukupan hutan dan tutupan hutan pada  60 DAS kritis berat dan 222 DAS kritis serta 34 daerah provinsi dengan beberapa pulaunya yang dianggap penting, dalam tempo dan waktu yang sesingkat-singkatnya untuk mendukung UU Cipta Kerja dalam menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya?  Kita semua khawatir dengan regulasi yang ditarik ke pemerintah pusat dan ditetapkan oleh Menteri KLHK secara sentralistik ini, menjadi jebakan regulasi (regulation trap) yang diciptakan sendiri oleh pemerintah pusat. Untuk menghindar dari jebakan regulasi ini, sebaiknya KLHK harus berkerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas dengan memprioritaskan trerlebih dulu DAS dan provinsi yang mendesak untuk dihitung luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya. Semoga.