Instrumen Keberhasilan Rehabilitasi Hutan pada DAS

Pengukuran pohon hasil penanaman tahun 2021 program rehabilitasi hutan dan lahan di RPH Cisarua, KPH Bandung Utara, Kabupaten Bandung
Pramono DS

Oleh: Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

Mengejutkan dan sekaligus memprihatinkan bencana banjir yang melanda wlayah di provinsi Kalimantan Selatan awal tahun ini. Dari 13 daerah kabuapten/kota, 11 daerah kabupaten/kota diantaranya terdampak banjir. Banjir di Kalsel ini tergolong parah dibanding banjir tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah pusat dan daerah secara reaktif telah memberikan penjelasan penyebab banjir yang terjadi. KLHK melalui Dirjen Pencermaran dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa faktor dominan penyebab banjir adalah anomali cuaca (hujan ekstrem), daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng serta beda tinggi hulu hilir sangat besar. Sementara itu, Sekretaris Daerah provinsi Kalsel mengungkapkan kondisi banjir ini mungkin merupakan periode ulang 100 tahunan.

Apapun faktor penyebabnya, banjir tetap mengikuti kaidah ilmu hidrologi. Air mengikuti mekanisme alur neraca air yang telah diatur oleh alam dan akan mengalir dari daerah ketinggian kearah daerah yang lebih rendah dengan berbagai macam cara. Banjir terjadi akibat aliran air dipermukaan tanah (run off) lebih besar volume dibanding dengan yang berinfiltrasi kedalam tanah. Dalam konsep pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), air hujan yang jatuh di suatu wilayah daratan akan ditangkap oleh daerah tangkapan air (catchment area) dan dialirkan ke sungai utama dan bermuara ke laut. Konektivitas hulu-hilir DAS menjadi penting karena DAS tidak mengenal wilayah administrtif. Meskipun DAS Barito, terdapat dalam wilayah empat provinsi di Kalimantan, namun karena posisi wilayah Kalsel di bagian tengah dan hilir, sementara daerah hulu masuk dalam wilayah Kaltim dan Kalteng maka apabila terjadi limpasan air dengan volume tinggi, yang paling terdampak banjir adalah daerah Kalsel.

Menjaga tutupan hutan (forest coverage) di daerah hulu dan tengah menjadi suatu keharusan untuk menjaga keseimbangan hidrologis di hilir. Makin luas tutupan hutannya dan makin rapat pohon serta  makin berlapis strata tajuknya maka  makin banyak pula air hujan yang masuk ke dalam tanah. Kesimpulannya adalah tutupan hutan di daerah hulu DAS Barito merupakan faktor dominan terjadinya banjir di daerah hilir terlepas dari faktor lain yang disebut di atas. Karena sesungguhnya tutupan hutan merupakan faktor variabel yang dapat diubah dan dibuat oleh manusia, sedangkan faktor penyebab banjir lainnya sifatnya tetap/given (faktor konstanta).

Bagaimana mungkin luas hutan di DAS Barito yang tinggal  18,2 persen, mampu menahan volume hujan ekstrem yang mencapai 8-9 kali lipat curah hujan normal? Sudah cukupkah luasan tersebut dan berapa persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis DAS Barito/ atau provinsi Kalsel? Atau masih sementara dihitung  dan diatur oleh pemerintah pusat sesuai dengan UU Cipta Kerja. Wajar apabila alih fungsi lahan hutan untuk pertambangan dan kebun sawit dituding sebagai faktor penyebab banjir.

Rehabilitasi Melalui Penanaman Pohon

Pemerintah seharusnya antisipatif mengkaji ulang izin-izin pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mendukung kelestarian lingkungan sambil menggalakkan program rehabilitasi hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara massal dan masif dan berskala luas sebagai salah satu solusi efektif dan jangka panjang dalam mengendalikan banjir, agar drama banjir di Kalsel tidak berulang kembali.

Pada musim hujan saat ini, apalagi bersifat ekstrem dimana mana banyak terjadi bencana alam banjir, banjir bandang  dan tanah longsor.  Dampak dari bencana  kali ini cukup parah dan sangat memprihatinkan. Masuk akal  apabila Presiden Jokowi ikut turun tangan  untuk menyelesaikannya. Salah satu instruksi presiden yang sangat tepat adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) harus berlipat lipat untuk pemulihan lingkungan.  Ini artinya, penanaman pohon harus dilakukan sebanyak mungkin dan ditempat manapun dalam lahan kosong didalam maupun di luar kawasan hutan.

Satu satunya, solusi jangka panjang untuk mengurangi besarnya dan kecepatannya aliran permukaan tanah adalah dengan menanam pohon. Makin banyak penutupan pohan maka kesempatan air berinfiltrasi kedalam tanah makin besar dibanding dengan air yang mengalir di permukaan tanah. Besarnya jumlah dan jenis pohon yang ditanam tergantung dari agroklimat dan  fungsi kawasannya. Dalam kawasan hutan yang mempunyai fungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) mutlak harus ditanam pohon berdaun lebar dengan perakaran dalam dengan jarak tanam yang rapat.

Di luar kawasan hutan, namun lahan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung wajib untuk menanam pohon MPTS (Multi Porpuse Trees Spesies) yang bermanfaat ganda secara hidrologis dan ekonomis. Biasanya pohon buah buahan. Untuk daerah yang topografi curam dan sangat curam penanaman pohon sebaiknya monokultur, sedangkan  untuk yang landai dan datar, dapat dicampur  dengan tanaman semusim dan tanaman pangan dalam bentuk budidaya agroforetry . Sedangkan pada kawasan budidaya dan pemukiman penanaman dan pemilihan jenis pohon dapat dilakukan sesuai kebutuhan.

Untuk daerah dengan kondisi kering dengan bulan basah yang sedikit seperti provinsi NTT, dapat dipilih jenis pohon dengan akar dalam dan berdaun jarum (fungsinya mengurangi penguapan pada musim kemarau). Budaya menanam pohon perlu digalakkan mengingat negara kita merupakan daerah rawan bencana banjir dan longsor pada musim hujan. Masalah bibit pohon, Kementerian LHK menyanggupi menyiapkan bibit gratis pada masing masing provinsi melalui Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) setempat.  Manfaat penanaman pohon tidak dapat dirasakan langsung dalam waktu dekat namun apabila berhasil sangat efektif dalam mengendalikan banjir dan tanah longsor. Tanam dan tanam pohon untuk masa depan.

Proses Panjang Tanaman Hutan Menjadi Pohon

Kita perlu pemahaman yang sama tentang proses hidup dan keberhasilan menanam sampai dengan mencapai pohon dewasa.

Menurut, ilmu ekologi hutan untuk menjadi pohon dewasa, pohon mengalami proses metaformosa pertumbuhan dari mulai bibit/anakan/semai  (seedling), sapihan (sapling), tiang/pohon muda (pole) dan pohon yang sesungguhnya (trees). John Wyatt-Smith seorang ahli ekologi hutan dari Inggris (1963), mengklasifikasikan proses terjadinya pohon menjadi 4 tahapan yaitu a) seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m  b) sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm  c) pole (tiang) yaitu pohon pohon muda yang berdiameter 10 – 35 cm. d) Trees (pohon dewasa), yang berdiameter diatas 35 cm. Untuk menjadi pohon dewasa dari bibit mulai ditanam membutuhkan waktu 15 – 20 tahun.

Masalah yang dihadapi  Kementerian LHK sekarang adalah proses penanaman pohon terjadi hanya terbatas pada tahapan pertumbuhan anakan/semai dengan pemeliharaan selama dua tahun (umur pohon tiga tahun dihitung sejak ditanam). Bila bibit pohon ditanam dengan tinggi rata rata 50 – 60 cm, maka pada usia tanaman umur tiga tahun, bibit masih dalam kategori seedling (tinggi belum mencapai 150 cm). Proses pertumbuhan selanjutnya dari seedling, sapihan dan sampai ketahap pohon dewasa, diserahkan sepenuhnya kepada proses alam. Dalam kurun waktu yang demikian panjang mungkinkah anakan berhasil menjadi pohon dewasa, apabila penanaman dilakukan ala kadarnya?

Menjaga dan mengawal tanaman sampai dengan umur tiga tahun (pemeliharaan tahun pertama dan kedua) dan kemudian diserahkan kepada alam bukanlah teknik silvikultur  yang selama ini dikenal dalam ilmu kehutanan. Teknik silvikultur yang benar adalah penanaman bibit (seedling), pemeliharaan (penyulaman, pemupukan, pembersihan gulma), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning) dan pemanenan (cutting). Teknik silvikultur yang sifatnya normatif tersebut digunakan untuk kegiatan penanaman pohon hutan yang akan dipanen untuk tujuan industri. Untuk penanaman pohon bagi rehabilitasi hutan , biasanya proses pemangkasan, penjarangan dan pemanenan tidak dilakukan karena tujuan akhir adalah membentuk kawasan hutan yang berfungsi untuk memulihkan manfaat hidroorologisnya. Oleh karena itu, menjadi penting adalah proses pemeliharaan yang terus menerus (termasuk penyulaman) sampai tanaman bermetamorfosa menjadi pohon melalui proses penjagaan dan pengawalan tanaman hutan tersebut.

Kegiatan RHL khususnya rehabilitasi hutan, seharusnya dikawal dan dijaga tidak hanya sebatas umur tiga tahun tetapi juga dirawat dan dipelihara sampai mencapai pohon dewasa. Untuk apa KLHK membentuk Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) didaerah sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kehutanan provinsi setempat kalau tidak mampu melakukan tugas itu.

Keberhasilan Rehabilitasi

Boleh saja pemerintah melalui KLHK mengklaim bahwa bencana banjir di Kalsel bukan karena luasan hutannya, boleh saja menteri KLHK mengklaim bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) telah masif dilaksanakan di provinsi Kalsel lima tahun terakhir. Atau boleh saja dalam suatu kesempatan Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sesungguhnya telah ditingkatkan besaran luasnya. Sebelum tahun 2019 biasanya luas kegiatan RHL hanya sekitar 23 – 25 ribu ha, maka pada tahun 2019, kegiatan RHL sudah mencapai 207 ribu ha. Untuk tahun 2020 ini, kegiatan RHL diprediksi bisa lebih dari 403 ribu ha yang bisa ditanami setiap tahun.

Namun, terdapat satu hal yang selama ini belum dilakukan KLHK yaitu evaluasi keberhasilan kegiatan RHL, unit organisasi yang bertanggung jawab, penganggaran yang dibutuhkan perlu dilakukan secara menyeluruh agar kegiatan RHL yang telah dilakukan puluhan tahun tidak sia sia. Sayangnya, KLHK belum mempunyai instrumen sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan RHL dalam jangka panjang, khususnya dalam kawasan hutan. KLHK masih saja berkutat dengan angka-angka target RHL yang seolah olah angka target tersebut dapat mengurangi atau menekan data lahan kritis maupun angka laju deforestasi. Data yang disajikan kepada masyarakat lebih banyak data tentang realisasi penanaman program RHL yang telah dilaksanakan tanpa memperinci berapa besar luas keberhasilan tanaman yang telah menjadi pohon berselang setelah 15 tahun kemudian.

Sesungguhnya, kegiatan RHL ini telah dilaksanakan selama empat dekade lebih (45 tahun), sejak tahun 1976 adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan melalui program penyelamatan hutan tanah dan air (PHTA), namum secara fisik belum/tidak dapat diukur tingkat keberhasilannya karena program ini sifatnya keproyekan. Mestinya program ini telah lama diubah model dan pendekatannya. Keberhasilan rehabilitasi hutan baru dapat dilakukan melalui penilaian tanaman pada saat tanaman hutan dinyatakan sebagai pohon (15 tahun), dimana pohon tersebut membentuk ekosistem tutupan hutan dalam suatu kawasan yang telah dapat berfungsi sebagai pengatur dan penjaga keseimbangan hidroorologis kawasan daerah aliran sungai (DAS).

Instrumen untuk menilai keberhasilan hutan telah berkembang lebih maju dan lebih mudah dibanding dengan model dan pendekatan yang digunakan zaman orde baru dulu dan masih diadopsi sampai sekarang. Penilaian keberhasilan model lama dilakukan secara manual dengan menggunakan sampling dengan  besaran intesitas tertentu. Sampling yang digunakan adalah systematic stratified with random sampling dengan menghitung prosentase jumlah tanaman yang hidup pada sampel –sampel yang dibuat di lapangan. Oleh karena itu, pada luasan 1000 ha  saja tanaman hutan yang akan  dinilai keberhasilannya, membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyaknya. Lain halnya dengan menggunakan instrumen sekarang, dengan menggunakan bantuan teknologi informasi (IT) dan citra satelit dengan resolusi tinggi, sepanjang data tanaman hutan yang dinilai valid dan akuntabel (tahun tanam, jarak tanam,  jenis tanamam, batas tanaman yang diikat dengan teknologi GPS), maka dengan mudah dan cepat dapat diketahui berapa luas  keberhasilan tanaman hutan tersebut tanpa harus bersusah payah turun kelapangan. Korporasi usaha kehutanan raksasa seperti PT. Indah Kiat telah lama menggunakan teknologi ini. Teknologi ini mampu mendeteksi satu pohon yang ditebang atau dicuri dengan cepat dan mudah, sebagai instrumen pengawasan pohon-pohon yang telah ditanam. Sudahkan KLHK tergerak untuk memanfaatkan teknologi ini dalam menilai keberhasilan rehabilitasi hutan yang telah diklaim dilakukan ratusan ribu sampai jutaan hektar selama ini. Entahlah.