Strategisnya Kegiatan Perhutanan Sosial

Hutan dan masyarakat (ilustrasi)
Pramono DS

Oleh:  Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

Meski sudah tidak dimasukkan dalam proyek strategis nasional  (PSN) sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 109/2020 bertanggal 17 November 2020 namun kegiatan  Perhutanan Sosial yang menjadi bagian dari program Reforma Agraria makin menampakkan sosoknya yang penting dan strategis bagi kehidupan dan masa depan bangsa Indonesia. Buktinya, pemerintah makin serius untuk memberikan akses dikawasan hutan bagi masyarakat melalui kebijakan perhutanan sosial ini.

Pada hari Kamis (7/1/2021), Presiden Joko Widodo kembali menyerahkan 2.929 surat keputusan (SK) perhutanan sosial, 35 SK hutan adat dan 58 SK tanah obyek reforma agraria (TORA) di sejumlah daerah di tanah air

Dalam laporannya, Menteri LHK Siti Nurbaya menyampaikan sampai dengan Desember 2020 sudah diterbitkan SK Perhutanan Sosial seluas 4.417.937,72 hektare, dengan jumlah SK Izin/ Hak sebanyak 6.798 Unit SK bagi masyarakat sejumlah 895.769 KK. Sementara itu, penyediaan kawasan hutan untuk sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas  lebih kurang 2.768.362 hektare. Pelepasan kawasan hutan melalui  perubahan batas untuk sumber TORA telah diselesaikan 68 SK pada 19 provinsi seluas  89.961,36 hektar dengan  39.584 penerima. Khusus untuk hutan adat yang merupakan bagian dari perhutanan sosial, saat ini telah ditetapkan sebanyak 56.903 hektare dengan jumlah SK sebanyak 75 unit bagi masyarakat sejumlah 39.371 KK serta wilayah indikatif hutan adat seluas 1.090.754 hektare.

Harus diakui bahwa realisasi perhutanan sosial ini merupakan prestasi dan kerja keras yang luar biasa bagi KLHK dan jajaran terkait dengan kegiatan perhutanan sosial dan ini memberikan harapan yang optimistis bahwa target presiden pada akhir pemerintahannya untuk kegiatan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dapat terealisasi dengan baik. Dengan demikian, tercatat bahwa pada awal tahun 2021, luas hutan yang dimanfaatkan untuk perhutanan sosial menjadi 7.855.437,72 hektare, dengan izin total secara keseluruhan 9.785 SK, dengan 133 SK diantaranya adalah hutan adat.

Mengapa perhutanan sosial dianggap penting dan strategis untuk masyarakat Indonesia dimasa yang akan datang. Cukupkah pemerintah hanya dengan membagikan surat keputusan (SK) saja Apa manfaatnya lainnya dan pertanyaan seterusnya.

Beberapa Nilai Penting dan Manfaatnya

Kesatu, memenuhi mandat UUD 45 pada pembukaan yang berbunyi berdasarkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan pasal 33 ayat (1) yang berbunyi perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam UU 41/1999  tentang kehutanan, pasal 23 pun diamanatkan hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peninggalan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.  Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari.

Faktanya lebih dari tiga dekade pada zaman orde baru, hampir 64 juta hektare hutan alam Indonesia dikuasai oleh hampir 600 korporasi dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH), meskipun saat ini hingga akhir tahun 2019, hutan alam yang dikuasai korporasi dalam bentuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) tinggal sebanyak 255 unit dengan luas 18,7 juta hektare dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman (IUPHHK-HT) menjadi 293 unit dengan luas 11,3 juta hektare.

Kedua, memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat. Dalam pidato yang disampaikan di Istana Negara, Jakarta (7/1/2021), Presiden Joko Widodo menegaskan kembali bahwa pemerintah pemerintah memberi perhatian khusus kepada redistribusi aset untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan kawasan hutan. Ini terkait dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, khususnya yang terjadi di pedesaan dan lingkungan sekitar hutan. Oleh karena itu, lahan yang diberikan untuk kegiatan perhutanan sosial  diharapkan tidak boleh terlantar, apalagi dipindahtangankan kepada pihak lain. Lahan yang diterima masyarakat semestinya dimanfaatkan serta dikelola untuk kegiatan ekonomi produktif yang ramah lingkungan. Tak hanya memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman produktif bernilai ekonomi, masyarakat juga bisa mengembangkan lahan untuk usaha agrowisata, bioenergi dan lainnya.

Pemerintah juga memberikan kemudahan akses permodalan dar perbankan misalanya KUR (kredit usaha rakyat) karena menyangkut luas lahan yang sangat besar. Khusus untuk lahan perhutanan sosial yang berada di pedesaan, bantuan permodalaan dapat diberikan dari dana desa.

Ketiga, kegiatan perhutanan sosial merupakan salah satu solusi menyelesaikan konfik agraria (tenurial). Terkait konflik agraria, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) mencatat, sepanjang tahun 2020, terjadi permasalahan agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur dan lainnya. Total jumlahnya mencapai 241 kasus yang berdampak pada 135.332 KK di 359 des/kota. Konflik agraria paling banyak berada di sektor perkebunan, yakni 69%, dengan 101 konflik berada di perkebunan sawit. Posisi kedua ditempati sektor kehutanan dengan jumlah konflik terbanyak berada di konsesi hutan tanaman industri, 34 kasus.

Redistribusi aset ini merupakan jawaban bagi banyaknya sengketa agrarian dan sekaligus juga untuk mencegah sengketa lahan baik antar nmasyarakat, antara masyarakat dan korporasi dan antara masyarakat dengan pemerintah.

Keempat, mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Salah satu dari delapan kantong kemiskinan yang telah diindentifikasi oleh pemerintahan orde baru di era tahun 1980’an adalah masyarakat yang berada didalam dan sekitar hutan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan adalah masyarakat setempat yang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.

Ukuran yang digunakan waktu itu adalah angka garis kemiskinan menurut Prof. Sajogyo, seorang ahli sosiologi pedesaan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).  Dimana kemiskinan dihitung berdasarkan kecukupan pangan yakni 2.172 kalori per orang per hari. Angka yang berada di bawah itu termasuk kategori miskin.

Seiring dengan berjalan waktu, ukuran garis kemiskinan telah berubah. Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa  rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2018  adalah Rp401.220 per kapita per bulan.

Menurut Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, apabila 12,7 juta hektare kawasan hutan dapat terealisasi semua (100%), maka akan mampu melibatkan tiga juta Kepala Keluarga (KK) atau 12 juta orang yang artinya membantu mengurangi angka kemiskinan karena akan mampu mendongkrak pendapatan mereka di atas angka Rp401.220 per kapita/bulan dan sekaligus mampu membuka lapangan pekerjaan baru sebanyak tiga juta KK/12 juta orang.

Sebagai catatan, di saat pandemi Covid-19, bersama pertanian dan perikanan; kehutanan merupakan sektor menjadi salah satu dari tujuh lapangan usaha yang tumbuh positif pada kuartal III 2020.

Kelima, menurunkan angka deforetasi dan degradasi lahan sekaligus membatu menurunkan angka emisi gas rumah kaca (GRK). Angka deforestasi dan degradasi hutan alam Indonesia, akumulasi angkanya masih menunjukkan tren angka yang cukup tinggi yaitu diatas 14 juta hektare. Hal ini disebabkan oleh ekses negatif yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali ini antara lain adalah tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH. Sistem silvikultur TPTI, THPB, THPA  tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.

Timbul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahunnya memasuki musim kemarau seperti sekarang. Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut untuk mengatasi karhutla ini. Belum lagi banjir bandang yang terjadi didaerah hilir sungai yang hulunya bekas kawasan wilayah HPH. Konflik tenurial antar warga yang menimbulkan korban jiwa dikabupaten Mesuji akibat rebutan lahan bekas kawasan HPH dan banyak lagi contoh ekses yang ditimbulkan dari bonanza kayu ini.

Bekas areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 unit HPH seluas  lebih dari 45,3 juta hektare merupakan daerah bebas dan terbuka (open akses) yang mudah dimasuki oleh perambah hutan. Memang, sebagian bekas HPH ini digunakan juga untuk izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta hektare. Kita berasumsi bahwa sisa lahan hutan yang open akses digunakan untuk pencadangan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan alih fungsi kawasan hutan, tepatnya pelepasan kawasan hutan untuk  dan atas nama pembangunan sejak tahun 1985 sampai tahun 2017 seluas 6,7 juta hektare. Menurut KLHK rincian pelepasan kawasan tersebut pada era Soeharto, 3,4 juta hektare, era Habibie, 678.373 hektare, era Gus Dur, 163.566 ha, era Megawati  0 ha, era SBY  2,2 juta hektare, dan era Jokowi 305.984 hektare. Ditambah lagi dengan kebakaran hutan, perambahan hutan dan perladangan berpindah sekitar lebih dari 1,5 juta hektare. Maka deforestasi akibat dari adanya open akses HPH setelah dikurangi luas HTI, luas pencadangan perhutanan sosial, luas pelepasan kawasan hutan dan luas kebakaran hutan, perambahan hutan dan perladangan berpindah  jumlahnya mencapai 13,1 juta hektare yang benar-benar open akses dan merupakan potensi angka deforestasi disamping luas 1,5 juta hektare akibat kebakaran hutan, perambahan hutan serta  perladangan berpindah. Maka areal konsesi yang ditinggalkan oleh HPH/IUPHHK-HA dan open akses , potensial menjadi dan menambah angka deforestasi sebesar 14,6 juta hektare. Sementara itu, pemerintah (KLHK) menahan laju penambahan angka deforestasi yang baru saja masih kewalahan, apalagi menangani pemulihan angka deforestasi 14,6 juta hektare, akibat kesalahan masa lalu karena salah urus dalam pengusahaan hutan. Dengan adanya kegiatan perhutanan sosial yang memanfaatkan sebagian atau seluruhnya lahan hutan bekas konsesi yang ditinggalkan dan open akses itu, minimal pemerintah mampu menekan dan menurunkan angka deforestasi dan degradasi hutan yang selama ini menjadi masalah akut dan belum terpecahkan dengan program rehabilitasi hutan dalan lahan (RHL) yang telah dilaksanakan pemerintah selama bertahun-tahun.

Nantinya Perhutanan Sosial bisa disinergikan dengan salah satu aksi nyata dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal lewat program kampung iklim (ProKlim) yang saat ini terdapat lebih dari 3000 lokasi  Proklim di tingkat desa dan kelurahan.