Urban Forest VS Rural Forest

Rombongan penyuluh kehutanan yang tergabung dalam Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia (Ipkindo) melakukan kunjungan lapangan ke hutan kota di perumahan MGC, Bekasi Barat, Rabu (6/3/2019).
Pramono DS

Oleh:  Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

SSudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pengertian hutan yang biasa dipahami adalah persekutuan atau kumpulan vegetasi kayu kayuan (pohon) dalam suatu hamparan yang dapat mempengaruhi iklim mikro (micro climate).

FAO melalui program The Global Forest Resources Assessment (FRA) (FAO 2010), mendefinisikan bahwa hutan adalah suatu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,5 hektare yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan dengan penutupan tajuk lebih dari 10% atau ditumbuhi oleh pohon-pohon yang secara alami (asli) tumbuh di tempat itu dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 5 meter.

Manfaat hutan bagi manusia dapat bersifat langsung (tangible) dan tidak langsung (intangible)  diantaranya adalah  sumber mata pencaharian, tempat tinggal hewan dan tumbuhan liar, penyedia oksigen, sebagai tempat terjadinya siklus hidrologi, mengurangi potensi bencana alam seperti banjir dan longsor, tujuan wisata dan lokasi penelitian, membantu menstabilkan iklim dunia.

Berdasarkan Undang undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dapat dibedakan berdasarkan statusnya dan fungsinya. Berdasarkan status dikenal adanya hutan negara dan hutan hak. Sedangkan berdasarkan fungsi terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Turunan dari hutan konservasi adalah hutan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), hutan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam) dan taman buru. Sedangkan turunan dari hutan produksi adalah hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Hutan lindung tidak tidak mengenal adanya  turunan hutan lindung. Lantas apa itu urban forest dan apa pula rural forest. Kenapa dipertentangkan antara urban forest dan rural forest?

Urban Forest

Terminologi urban forest sebenarnya adalah kata lain dari hutan yang berada di perkotaan. Dalam UU No. 41/1999 pasal 9 berikut penjelasannya menyatakan bahwa  untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan. Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu sama dengan wilayah administratif  pemerintahan kota.

Turunan dari regulasi ini berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 tahun 2002 dan Peraturan Menteri Kehutanan  (Permenhut) No. P. 71 tahun 2009.   Definisi hutan kota sesuai dengan PP No. 63/2002 adalah “suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang”.

Definisi ini hendaknya direvisi dengan menghilangkan kalimat yang terakhir “yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang” karena konsekuensinya tanpa penetapan dari pejabat yang berwenang, lahan-lahan berpepohonan belum dapat dikatagorikan sebagai hutan kota, walaupun secara fisik sudah memenuhi kriteria hutan kota.

Menurut UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang pasal 29 dalam penjelasannya dikenal adanya ruang terbuka hijau (RTH) yang mirip dengan hutan kota. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota; sedangkan  proporsi RTH publik di wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota dan sisanya (10%) dipenuhi dari ruang privat.

Pembangunan kota cenderung meminimalkan ruang terbuka hijau. Areal yang ditumbuhi pepohonan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, pemukiman, industri, jaringan transpotasi serta sarana dan prasarana kota lainnya. Lingkungan perkotaan berkembang secara ekonomi namun menurun secara ekologi. Hal ini menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan. Suhu dan polusi udara meningkat, permukaan tanah menurun dan bahaya banjir meningkat. Upaya mengeliminir dampak negatif pembangunan kota dapat dilakukan dengan menanam pohon sesuai dengan PP No. 63 Tahun 2002. Keberadaan hutan kota diharapkan mampu meminimalisasi permasalahan lingkungan, khususnya dalam menentukan jenis-jenis pohon yang tepat untuk dikembangkan, baik di kawasan pantai maupun daratan agar mutu lingkungan di kawasan perkotaan menjadi lebih baik.

Hutan kota merupakan hutan yang dikembangkan di suatu kota yang bertujuan untuk memberi kenyamanan bagi penghuninya. Dalam zonasi hutan kota di bedakan kedalam 3 (tiga) zona hutan kota, yaitu: (a) Zonasi pantai, kawasan yang diperuntukkan bagi terlindungnya ekosistem bakau dan hutan pantai yang diharapkan sebagai pendukung ruang terbuka hijau sebagai kawasan lindung yang terintegrasi dengan kegiatan wisata dan pendidikan, seperti kota: Jakarta, Semarang, Surabaya, dan kota lainnya yang termasuk kategori kota pantai; (b) Zonasi pedalaman kawasan yang diperuntukan sebagai perlindungan ekosistem dataran rendah, seperti kota: Samarinda, Solo, Palembang, dan kota lainnya yang termasuk dalam katagori kota pedalaman; dan (3) Zonasi pegunungan adalah kawasan yang diperuntukan untuk menyediakan ruang yang memiliki karakteristik alamiah yang perlu dilestarikan untuk tujuan perlindungan ekosistem dataran tinggi seperti kota: Bandung, Malang, Brastagi, dan kota lainnya yang termasuk kedalam katagori kota pantai.

Untuk mengetahui perbedaan dari masing-masing zona tersebut dapat dilihat dari topografi daerah (kemiringan, jenis tanah dan lain sebagainya), jenis tanaman yang tumbuh (vegetasi tumbuhan), dan curah hujan.

Jenis tumbuhan yang dikembangkan di hutan kota perlu disesuaikan dengan tipe kota dimana hutan kota tersebut dibangun. Misalnya, untuk kota pantai, dikenal adanya tiga formasi, yaitu (i) formasi pantai; (ii) formasi mangrove; dan (iii) formasi daratan. Dengan mengenali formasinya, maka dapat ditemukan jenis-jenis tumbuhan yang paling sesuai dan paling memungkinkan untuk dikembangkan. Selain tumbuh dan berkembang sesuai dengan habitatnya, tanaman tersebut juga memiliki nilai-nilai estetika pada masing-masing habitatnya.

Untuk hutan kota dikota-kota pedalaman, minimal terdapat dua formasi, yaitu (i)  sisa-sisa hutan hujan dataran rendah; (ii) semak belukar bekas peladangan. Jenis-jenis ini umumnya bertahan untuk tidak diganggu masyarakat setempat. Kota pegunungan, umumnya tumbuh dan berkembang di daerah yang memiliki suhu udara dingin, dekat dengan perkebunan dan atau daerah tujuan wisata. Untuk membangun hutan kota diberbagai tipe kota di atas, maka jadi keharusan untuk mencari jenis-jenis pohon yang mampu berperan dalam membentuk suatu ekosistem.

Kota-kota besar yang peduli dan paham akan pentingnya pembangunan hutan kota antara lain adalah Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota kota kecil yang terdapat di Jawa.

Rural Forest

Rural forest  dapat diartikan sebagai hutan yang keberadaannya dapat ditemukan di wilayah pedesaan. Bentuknya dapat berupa hutan milik yang dipunyai masyarakat pedesaan atau lebih dikenal sebagai hutan rakyat. Dapat juga berupa hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa atau dikenal dengan nama hutan desa .

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan berkurangnya potensi hutan alam primer yang ada di Sumatera maupun Kalimantan, maka potensi hutan rakyat khususnya yang berada di Jawa merupakan kekuatan pengganti (substitusi) bagi kebutuhan kayu yang selama ini dipasok dari luar Jawa. Jenis seperti kayu sengon (Albizia falcataria) merupakan kayu dari hutan rakyat yang biasa diperdagangkan di Jawa. Bahkan karena nilai ekonomisnya cukup menjanjikan, banyak petani sawah marginal mengalih fungsikan sawahnya menjadi budidaya sengon seperti yang terjadi di kabupaten Wonosobo dan Temanggung Jawa Tengah.

Menurut data, potensi hutan rakyat di Indonesia mencapai 34,8 juta dengan komposisi dan luas di Jawa 2,7 juta ha dengan potensi 78,7 juta meter kubik, sedangkan di luar Jawa luasnya  32,1 juta ha dengan potensi 912 juta meter kubik. Hutan rakyat memasok 46,9% dari kebutuhan kayu log nasional.  Jenis jenis kayu yang ditanam khususnya di Jawa adalah sengon, jeunjing, mahoni, jati, jabon,sonokeling dan sebagainya.

Sementara itu hutan desa sedang dikembangkan oleh pemerintah melalui program reforma agraria yang dimotori oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui program Perhutanan Sosial (PS). Hutan desa (HD) merupakan salah satu skema PS dari lima skema yang ditargetkan sampai akhir tahun 2019  mencapai 12,7 juta ha. Empat skema lainnya adalah hutan kemasyarakatan (Hkm), Hutan Adat (HA), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kemitraan Kehutanan (KK). Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. P.83 tahun 2016, hutan desa dapat diberikan hak kepada lembaga desa untuk dikelola pada kawasan hutan lindung atau hutan produksi berupa hak pengelolaan hutan desa atau disingkat HPHD.

Menurut data sampai pertengahan Februari 2018, capaian pemberian hak akses kelola kawasan hutan PS telah mencapai 1,46 juta ha dari target 2 juta ha di tahun 2018, terdiri dari HD 772 ribu ha, HKm 323 ribu ha, HTR 250 ribu ha, Kemitraan Kehutanan 94 ribu ha, dan HA 22 ribu ha. Secara keseluruhan, sampai 2019 ditargetkan dapat terealisasi 4,38 juta ha. Dengan demikian, realisasi HD paling besar dibandingkan dengan empat skema PS lainnya.

Apa Yang Dipertentangkan?

Sebenarnya antara urban forest dan rural forest tidak ada yang perlu diversuskan karena masing masing mempunyai lokasi dan manfaat yang sungguh berbeda. Urban forest tujuannya membangun hutan diwilayah perkotaan dengan tujuan sebagai paru paru kota untuk menekan polusi dan pencemaran udara akibat industri, transportasi dan rumah tangga.  Sedangkan rural forest dengan membangun hutan di wilayah pedesaan dengan tujuan dapat memanfaatkan kayunya pada hutan produksi dan hutan rakyat dan jasa lingkungan pada hutan lindung didesa yang pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat desa dengan memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan.