Pemerintah Kurangi Hutan Perhutani

foto: Toko Perhutani

Pemerintah menarik hampir separuh luas hutan di Jawa yang dikelola Perum Perhutani dan akan dikelola menjadi Pehutanan Sosial di bawah payung hukum Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHPK). Namun, upaya ini mendapat penolakan dari DPR, selain Serikat Karyawan Perhutani, dan dicurigai hutan yang ada hanya akan dibagi-bagi hingga mengancam rusaknya lingkungan dan datangnya bencana.

Upaya pemerintah memangkas luas kelolaan hutan di Pulau Jawa dari tangan Perum Perhutani akhirnya terlaksana di tangan Presiden Joko Widodo. Dari total 2,43 juta hektare (ha) hutan yang ada, pemerintah membetot 1,1 juta ha atau hampir separuhnya, yang akan diperuntukan sebagai Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berhasil mengawal pengurangan hutan Perhutani tersebut lewat SK.287/MenLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022, yang sejak dulu memang dibidik pemerintah tapi tak bisa dilakukan, misalnya di era menteri kehutanan MS Kaban.

Keberhasilan ini jelas pukulan maut buat Perhutani. Pasalnya, luas KHDPK yang ditetapkan Kementerian LHK memakan 638.649 ha hutan produksi, selain 465.294 ha hutan lindung. Artinya, hutan produksi (tetap maupun terbatas) yang tersisa di tangan Perhutani tinggal sekitar 1,15 juta ha. Bisa dibayangkan, saat hutan masih utuh saja pendapatan Perhutani hanya Rp205 miliar (2019), Rp2014 miliar (2020) dan Rp405 miliar (2021 unaudited). Tahun ini mereka memasang target Rp434 miliar, yang bisa jadi angan-angan saja.

Luasnya penguasaan lahan, di Jawa lagi, tapi pendapatannya jauh dibandingkan dengan perkebunan sawit, misalnya, kerap membuat banyak pihak bertanya-tanya. Tidak heran pula jika Menteri LHK Siti Nurbaya, saat menjelaskan rancangan pengaturan ulang pengelolaan hutan di Jawa, menyebut pengurangan lahan itu demi menyehatkan Perhutani. “Pengaturan ini sangat penting untuk menyehatkan Perum Perhutani agar dapat fokus mengembangkan bisnisnya melalui multi-usaha dan pelaksanaan reforma agraria Perhutanan Sosial mampu memberikan kemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya, Senin (8/3/2021).

Tapi, siapa sangka, rencana ini malah menuai penentangan besar, baik dari wakil rakyat di DPR, Serikat Karyawan Perhutani maupun pengamat kehutanan. “Komisi IV menolak surat keputusan ini,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi saat memimpin audiensi dengan Serikat Karyawan Perum Perhutani, Rabu (13/4/2022). “Kita berharap SK tersebut bisa dicabut kembali,” tegasnya.

Sementara pemerhati kebijakan kehutanan, Sadino mengkhawatirkan akan adanya peralihan dari hutan untuk kegiatan budidaya tanaman semusim yang intensif seperti sayur-sayuran. “Bukannya meminta Perhutani untuk menghutankan kembali, kok malah membagi kawasan hutan dengan alasan Perhutanan Sosial,” ketusnya.

Yang repot adalah Sekjen KLHK, yang juga Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Perhutani, Bambang Hendroyono. Dia menolak menjelaskan SK 287/2022 dengan alasan harus berkomunikasi intens dulu dengan lembaga-lembaga terkait sebelum bicara ke wartawan. “Nanti, dalam waktu dekat, akan kami jelaskan tentang SK 287/2022,” kata Bambang. Mari kita tunggu dan lihat. AI