Bukti nyata hutan mangrove bisa menjadi benteng terhadap bencana alam seperti abrasi, kenaikan muka air laut, bahkan tsunami terlihat nyata di Desa Pabean Udik dan Desa Karangsong, Indramayu. Kerja sama erat penyuluh kehutanan dan kelompok tani hutan (KTH) di sana merawat hutan mangrove agar bisa terus menjadi benteng tangguh sepanjang masa.
Hutan mangrove pesisir pantai Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pernah porak poranda. Mangrove dibabat untuk budidaya bandeng dan udang. Dampaknya, pelan namun pasti wilayah desa yang berada di bibir pantai Karangsong yaitu, Desa Pabean Udik dan Desa Karangsong tergerus. Satu dusun bahkan hilang akibat dilalap abrasi.
Pada periode tahun 1983 – 2008, abrasi terjadi di areal seluas 127,3 hektare. Tak hanya itu, masyarakat juga mengalami kegagalan budidaya udang dan bandeng, dengan kegagalan terbesar terjadi tahun 1996.
Persoalan itu kemudian memicu kesadaran masyarakat soal pentingnya mangrove sebagai benteng alami dari bencana abrasi sekaligus mendorong usaha budidaya yang berkelanjutan. Maka di tahun 2003, terbentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Jaka Kencana di Desa Pabean Udik yang disusul terbentuknya KTH Pantai Lestari di Desa Karangsong pada tahun 2008.
Ketua Bidang Penghijauan KTH Pantai Lestari Eka Tarika menjelaskan warga bergerak membuat penahan abrasi untuk menyelamatkan tambak yang masih ada. Caranya dengan menanam mangrove di sepanjang pantai Karangsong. “Kami menanam mangrove sekitar tahun 2008 lalu, tujuan awalnya memang ingin melindungi tambak yang masih tersisa dari terjangan abrasi,” ujarnya
Tak mudah untuk menanam mangrove di lahan yang sudah terlanjur tergerus. Masyarakat perlu menyiapkan alat pemecah ombak agar bibit yang ditanam tak hanyut tersapu gelombang. Juga disiapkan waring sebagai penangkap sedimen yang akan menjadi tempat hidup mangrove.
Sebagai ajir, yang akan menjadi ‘pegangan‘ bibit mangrove saat baru ditanam digunakan bambu bulat utuh. Pada satu titik, tidak hanya bibit mangrove yang ditanam, tapi juga propagul. Propagul yaitu buah mangrove yang akan menjadi calon bibit. Ini untuk meningkatkan tingkat keberhasilan penanaman.
Hasilnya nyata, pada areal seluas 20 hektare yang direhabilitasi KTH Pantai Lestari, mangrove mulai tumbuh dan membentuk bentang hutan. Pada tahun 2013, mangrove hasil rehabilitasi mulai didatangi burung migran, yang berarti kawasan itu sudah memberi sinyal pemulihan ekosistem. Hutan mangrove hasil rehabilitasi pun mulai banyak dikunjungi sebagai tempat edukasi.
Eka menjelaskan, masyarakat kini menjaga betul hutan mangrove yang ada. Pemanfaatan ekonomi pada hutan mangrove dilakukan dengan tujuan tetap mempertahankan kelestariannya. Budidaya perikanan tetap dilakukan dengan menerapkan pola silvofishery. Artinya, budidaya perikanan di lakukan di sela-sela pohon, tidak dengan membabat habis mangrove seperti yang dilakukan pada masa lalu.
Selain itu, yang cukup sukses adalah pengembangan ekowisata mangrove. Mulai tahun 2015, banyak wisatawan yang tertarik untuk menikmati kecantikan hutan mangrove Karangsong. Wisatawan bisa naik perahu keliling hutan mangrove dan melakukan berbabagi aktivitas terkait edukasi pelestarian hutan manrgove. Setiap wisatawan dikenakan biaya sebesar Rp15.000 saja.
Setiap hari, sedikitnya 100 wisatawan datang untuk menikmati ekowisata mangrove Karangsong. Jumlahnya meningkat saat akhir pekan. Pemasukan dari tiket wisatawan dimanfaatkan KTH Pantai Lestari untuk perawatan fasilitas wisatawan serta pemeliharaan hutan mangrove.
Olahan Mangrove
Seperti KTH Pantai lestari, KTH Jaka Kencana juga melakukan upaya yang tidak mudah untuk merehabilitasi mangrove. Setidaknya 20 hektare lahan mangrove telah berhasil direhabilitasi KTH Jaka Kencana. Oleh pemerintah desa, pengelolaan hutan mangrove itu pun diserahkan kepada KTH Jaka Kencana berdasarkan peraturan desa.
Jika KTH Pantai Lestari fokus mengembangkan ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan lestari, KTH Jaka Kencana fokus mengembangkan olahan mangrove. Ya, buah mangrove bisa menjadi berbagai produk makanan dan minuman. Ada dodol, coklat mangrove, tepung, sirup, minuman kemasan, hingga kopi mangrove. Buah mangrove juga bisa diolah menjadi pewarna pakaian untuk membatik. Sedikitnya ada 37 jenis produk olahan mangrove yang diproduksi KTH Jaka Kencana.
“Rata-rata omset penjualan olahan mangrove Rp7 juta – Rp10 juta per bulan,” kata Ketua KTH Jaka Kencana Abdul Latief. Dia mengungkapkan juga pernah mencapai omset Rp30 juta sebulan.
Produk olahan mangrove KTH Jaka Kencana terkenal dengan merek Jackie Gold. Nama Jackie diambil dari nama depan KTH. Produk Jackie Gold bisa dengan mudah ditemukan di marketplace. Menurut Abdul Latief, pemasaran secara online memang menjadi penopang penjualan produk olahan mangrove secara penjualan on the spot dengan target pasar wisatawan yang datang ke pantai Karangsong.
Kelola Kawasan dan Kelola Kelembagaan
Namun saat pandemi Covid-19 yang mulai terjadi awal tahun 2020, kunjungan wisatawan menurun drastis. Ini berdampak pada kegiatan yang dijalankan oleh KTH Pantai Lestari maupun KTH Jaka Kencana.
Penyuluh Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang bertugas di Kabupaten Indramayu Asep Rudidjaja menuturkan pengunjung ekowisata yang dikelola KTH Pantai Lestari berkurang hingga 70 – 80 persen. “Akibat pandemi Covid-19 memang aktivitas wisata berkurang untuk mencegah penularan virus corona,” kata Asep.
Dia menjelaskan, wisatawan datang setelah ada kebijakan pemerintah yang mengizinkan aktivitas masyarakat. Untuk mencegah penularan Covid-19, KTH Pantai Lestari menerapkan standar protokol kesehatan sesuai instruksi pemerintah. “Jumlah penumpang perahu yang biasanya 20 orang kini dikurangi jadi 10 orang,” kata Asep.
Berkurangnya wisatawan tentu berdampak pada penerimaan KTH Pantai Lestari dan KTH Jaka Kencana. Namun Asep memastikan, meski penerimaan dari wisatawan dan penjualan olahan mangrove berkurang, seluruh anggota KTH tetap berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove pantai Karangsong.
“Adanya penurunan pengunjung dimanfaatkan oleh KTH untuk memperkuat kelola kawasan dan kelola kelembagaan,” kata Asep.
Tantangannya tentu saja soal pendanaan. Maklum, sebagian pendapatan dari kegiatan ekowisata dan penjualan olahan mangrove memang dimanfaatkan untuk perawatan dan pemeliharan hutan dan fasilitasnya.
Untuk mengatasi hal itu, Asep menyatakan menggandeng sejumlah pihak untuk ikut membantu. Misalnya dengan melakukan bakti sosial yang melibatkan anggota Pramuka dari Saka Wana Bakti.
Sementara Abdul Latief menyatakan pihaknya akan mendorong penjualan produk olahan mangrove secara online. Jika selama ini penjualan online hanya bersifat tambahan, ke depan penjualan online juga diharapkan bisa menyamai penjualan on the spot.
Hebatnya, Abdul Latief mengungkapkan, saat pandemi Abdul Latief dan anggotanya sudah berfikir jauh ke depan dengan menyiapkan pengembangan silvofishery yang dipadukan dengan ekowisata. Kawasan hutan mangrove yang mereka kelola sedang disiapkan untuk menjadi pusat wisata eko-edukasi. Sejumlah fasilitas sudah dibangun bermitra dengan salah satu rekannya
Nilai investasi yang sudah ditanam pun fantastis. Rp2 miliar! Nilai tersebut akan bertambah hingga Rp1 miliar lagi karena penyiapan fasilitas eko-eduwisata terus berjalan.
Abdul Latief berharap ketika Covid-19 sudah mereda seiring dengan terbentuknya kekebalan kelompok dampak vaksinasi yang kini gencar dilakukan pemerintah, pengunjung ke lokasi eko-eduwisata yang dikembangkan akan tumbuh.
“Melalui eko-eduwisata yang kami kembangkan, kami ingin mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan,” katanya. AI