Wisata Sruput Madu Trigona di Hutan Kota

Pengunjung Hutan Kota Srengseng menikmati langsung madu segar dari sarangnya

Hutan punya sumber daya yang berlimpah bukanlah sekadar jargon. Bahkan hutan kota yang secara luas terbatas, terbukti memiliki banyak potensi hasil hutan yang bisa dimanfaatkan secara langsung.

Lihat saja yang kini berkembang di Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat. Di areal seluas ‘cuma’ 11 hektare itu banyak masyarakat yang datang untuk menikmati jasa lingkungan hutan berupa keindahan dan udara segar. Tak hanya itu, kini masyarakat yang datang juga bisa menikmati hasil hutan lain yaitu madu hutan.

Ya, bayangan madu hutan hanya bisa dipanen dari hutan-hutan pedalaman jauh dari perkotaan terhapus di Hutan Kota Srengseng. Berkat kreativitas penyuluh kehutanan Tambok Aruan bersama masyarakat binaannya,  budidaya lebah madu mulai berkembang di sana sehingga masyarakat bisa menikmati madu hutan langsung dari sumbernya.

Tambok, penyuluh kehutanan yang bekerja di Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta menjelaskan budidaya lebah madu yang dikembangkan di Hutan Kota Srengseng adalah lebah trigona (Trigona Sp). “Ini adalah madu tanpa sengat, tidak bisa menyengat, jadi tidak membahayakan  manusia,” kata Tambok, Kamis (10/6/2021).

Lebah trigona dikenal juga sebagai klanceng bagi masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Jawa Barat dan Banten, lebah ini disebut teuweul. Sementara masyarakat di Sumatera dan Kalimantan menyebutnya dengan kelulut.

Secara fisik, lebah trigona berbeda dengan lebah yang sudah umum dikenal dari jenis Apis Sp. Lebah Apis Sp memiliki warna khas belang kuning di bagian perutnya, sementara lebah trigona berwarna coklat gelap bahkan hitam. Ukuran lebah trigona pun jauh lebih kecil.

Perilaku kedua jenis lebah itu juga bak bumi dan langit. Lebah Apis Sp, relatif lebih agresif. Memiliki sengat tentu ada risiko jika ada yang menganggunya. Sementara lebah trigona sangat ramah, sehingga risikonya jauh lebih rendah karena tidak memiliki sengat.

Rasa madu yang dihasilkan lebah trigona juga khas. Meski manis, namun lebah trigona cenderung asam. Ini dikarenakan madu trigona juga mengandung lebih banyak polen dan propolis. Ini yang menjadikannya  memiliki khasiat lebih tinggi untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibanding madu biasa. Tak heran jika harganya lebih tinggi dari madu lebah biasa.

Dengan keunggulan itulah yang kemudian membuat Tambok menjatuhkan pilihan untuk memperkenalkan budidaya lebah trigona di Hutan Kota Srengseng yang berlokasi dekat dengan pemukiman. Bersama Kelompok Tani Hutan (KTH) Srengseng Hijau Lestari, budidaya lebah trigona mulai dilakukan dengan serius akhir tahun 2020 lalu.

“Saat ini sudah ada sekitar 50 koloni yang kami budidayakan. Kami datangkan dari berbagai daerah Indonesia,” katanya.

Lokasi budidaya lebah trigona di Hutan Kota Srengseng

Sruput Madu

Menurut Tambok, pada awalnya pengembangan budidaya lebah trigona bertujuan untuk produksi madu yang akan dipasarkan kepada konsumen dalam bentuk yang sudah dikemas. Namun, kini budidaya madu malah berkembang menjadi usaha wisata.

“Unggahan di media sosial tentang budidaya lebah trigona rupanya menarik wisatawan untuk mencicipi langsung madu dari sarangnya. Jadilah sekarang berkembang wisata sruput madu,” kata Tambok.

Setiap pengunjung yang ingin merasakan sensasi menyedot madu langsung dari sarang lebah trigona dikenai biaya sebesar Rp10.000. Saat Sabtu-Minggu, pendapatan yang bisa diperoleh KTH Srengseng Hijau Lestari dari wisata sruput madu, mencapai Rp300.000 per hari (atau Rp600.000 untuk dua hari Sabtu-Minggu).

Tambok menyatakan, pihaknya memang membatasi jumlah wisatawan yang bisa mencicipi madu langsung dari sarangnya. Waktunya pun dibatasi hanya pada Sabu-Minggu. Ini dilakukan dengan pertimbangan siklus produksi lebah di setiap sarang. Selain itu, jeda waktu juga ditujukan agar lebah tidak stress dan tetap sehat.

Anggota KTH Srengseng Hijau Lestari dari Pokja Lebah Trigona, Irfandi mengungkapkan pengembangan wisata sruput madu lebah trigona jelas menambah pendapatan anggota KTH Srengseng Hijau lestari. “Sebelumnya pendapatan KTH hanya dari penjualan kompos. Itu pun tidak seberapa,” katanya.

Diantara 25 orang anggota KTH Srengseng Hijau Lestari, Irfandi adalah pionir dan sudah lebih dulu bergelut dengan lebah trigona. Dia bahkan sudah membudidayakan lebah trigona dalam skala hobi sejak 3-4 tahun lalu.

Irfandi sesungguhnya pernah mengajukan permohonan untuk membudidayakan lebah trigona di Hutan Kota Srengseng. Namun permohonannya saat itu ditolak. Irfandi kemudian mengembangkan budidaya lebah trigona di Sukabumi, Jawa Barat.

Kini, seiring dengan peralihan penangung jawab Hutan Kota kepada Tambok, Irfandi pun diundang kembali diajak bergabung dengan ke KTH Srengseng Hijau Lestari.

Aktivitas anggota KTH Srengseng Hijau Lestari membudidayakan lebah trigona

Tantangan Budidaya

Menurut Irfandi, secara teknis tak ada kesulitan berarti dalam budidaya lebah trigona. Predator seperti kadal dan kodok, dan penyakit seperti jamur memang ada.  Tetapi semuanya masih bisa dikendalikan.

Irfandi juga menyatakan budidaya lebah trigona bisa berkembang di Hutan Kota Srengseng karena lokasinya yang memang sesuai. Di sana banyak tanaman yang secara alami menjadi pakan lebah trigona seperti akasia dan mangga.

Saat pakan alami tidak tersedia karena faktor musim, lebah trigona juga bisa disediakan pakan pengganti yang terbuat dari olahan tempe dan madu. “Saat musim hujan, nektar pada bunga sering tersapu air hujan. Makanya perlu disiapkan pakan tambahan,” kata Irfandi.

Untuk memperkaya tanaman pakan lebah trigona, KTH Srengseng Hijau Lestari akan menanam Dombeya cayeuxii. Selain bunganya cantik, tanaman itu juga punya karakter bunga yang lebih tahan hujan karena kelopaknya menghadap ke bawah.

Menurut Irfandi, di lokasi lain di Indonesia, budidaya lebah trigona juga terancam oleh tangan pencuri. Harganya yang bisa mencapai Rp600 ribu-Rp1 juta per kilogram sering bikin orang gelap mata.

Di Hutan Kota Srengseng, anggota KTH rajin melakukan pengawasan mencegah pencurian. Tempat tinggal angota KTH yang dekat dengan lokasi budidaya juga memudahkan untuk melakukan pengawasan.

Jika secara teknis budidaya lebah trigona di hutan kota relatif mudah, lain lagi jika dilihat dari sisi non teknis. Menurut Tambok, tidak semua orang paham tentang lebah trigona. Sehingga dia perlu menjelaskan lebih detil kepada semua stakeholder termasuk koleganya di Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta.

Tambok menuturkan, dia bisa cepat mendorong pengembangan budidaya lebah trigona di Hutan Kota Srengseng karena dia memang ditugasi sebagai penanggung jawan di sana.

“Dilihat dari potensi hutan kota yang ada di Jakarta, budidaya lebah trigona ini juga bisa dikembangkan di hutan kota lain yang ada di Jakarta,” katanya.

Selain Hutan Kota Srengseng, di Jakarta ada Hutan Kota Cipayung, Jakarta Timur dan Hutan Kota Sukapura di Jakarta Utara.AI