Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) meminta Presiden Joko Widodo agar penghentian (moratorium) izin baru di hutan primer dan kawasan gambut menjadi permanen. Namun, permintaan yang diajukan lewat usulan perpanjangan Inpres No. 6 tahun 2017 ini dianggap tidak tepat terkait UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kementerian LHK harusnya fokus soal penetapan kawasan hutan, bukan mengejar moratorium permanen.
Di penghujung masa kerja Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi, Kementerian LHK membuat usulan mengejutkan. Entah karena desakan LSM atau memang sudah memiliki hasil kajian yang matang, kebijakan moratorium izin baru hutan primer dan lahan gambut yang berakhir Rabu (17/7/2019) — sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut — diusulkan menjadi permanen.
“Draft Inpresnya sudah disampaikan dan sudah di Sekretariat Kabinet,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya kepada Agro Indonesia, Senin (8/7/2019). Sejumlah alasan pun dikemukakan, terutama luas lahan moratorium yang stabil dan dampak positif terhadap upaya menahan laju deforestasi dan degradasi hutan.
Bahkan, menteri dari Partai Nasdem ini memastikan sudah melibatkan seluruh kementerian dan lembaga terkait sebelum mengusulkan draft moratorium permanen untuk diteken Presiden Jokowi. Menurut Siti, seluruh kementerian dan lembaga solid mendukung usulan yang diajukan KLHK. Apalagi, moratorium permanen tak berarti menutup pintu untuk investasi pemanfaatan hutan.
Sejauh ini, kalangan LSM memang menginginkan moratorium permanen di hutan primer dan gambut. Bahkan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut mengingatkan Presiden Jokowi untuk meneguhkan komitmen dan berani menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut.
Hanya saja, di mata ilmuwan kehutanan, usulan moratorium permanen menimbulkan pertanyaan. “Kalau moratorium, berarti hutan produksi tidak diapa-apakan. Ya tidak tepat,” tegas guru besar IPB, Prof. Didik Suharjito. Menurutnya, moratorium permanen tidak dikenal dalam manajemen hutan produksi.
Dia bahkan mempertanyakan istilah moratorium permanen jika maksudnya mencegah konversi hutan primer dan gambut. Pasalnya, beleid ini berlawanan dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang sudah menentukan kawasan hutan yang tidak boleh diusahakan, yang bisa dimanfaatkan ataupun yang bisa dikonversi. “Jadi, istilah moratorium permanen tidak relevan jika mengacu pada UU Kehutanan,” tegasnya. AI