Musim kemarau (MK) yang datang lebih awal (April) tahun ini mulai dirasakan petani, antara lain petani di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah (Jateng). Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untungnya sudah mengantisipasi dengan berbagai upaya, di antaranya masyarakat tani dianjurkan memanfaatkan sumur pantek dan sumur dalam.
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali, Supardi mengatakan, pihaknya sudah punya beberapa solusi agar petani bisa melakukan pertanaman di musim kemarau tahun ini.
“Petani kami anjurkan untuk bisa memanfaatkan sumur pantek dan sumur dalam yang sudah disiapkan di sejumlah kecamatan. Padi yang ditanam pun harus tahan kekeringan, seperti jenis Cibagendit,” katanya, pekan lalu.
Selain itu, kata Supardi, petani bisa memanfaatkan pompa air kalau di daerahnya memang ada potensi sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk tanam padi atau palawija di musim kemarau tahun ini.
“Kalau ada waduk, bisa disedot (seperti Waduk Cengklik) dan airnya dimanfatakan untuk mengairi sawah di sejumlah kecamatan, seperti di Nagasari. Bahkan, air Waduk Cengklik ini masih bisa dimanfaatkan untuk mengisi air Waduk Tirtoyoso di Solo,” tegasnya.
Menurut Supardi, sumur pantek yang kedalamannya 20 meter juga sudah disiapkan di setiap kawasan pertanian. Begitu juga sumur dalam (kedalamannya 200 meter) juga sudah disiapkan di sejumlah kawasan pertanian di Kecamatan Nagasari, Simo, dan Sambi.
“Pada tahun 2018 kami sudah siapkan pompa air di 19 kecamatan sebanyak 131 unit. Dan pada tahun 2019 ada tambahan pompa air dari provinsi sebanyak 11 unit,” ujar Supardi.
Supardi juga mengatakan, sumur pompa yang disiapkan tersebut diharapkan mampu membantu petani mengantisipasi musim kemarau tahun ini. “Jadi, jauh-jauh hari kami sudah lakukan antisipasi. Kami juga berharap segera turun hujan supaya dampak kekeringan tahun ini tidak bertambah luas,” katanya.
Supardi menyebutkan, dari sekitar 22.000 ha lahan pertanian di Boyolali, hingga Juni 2019 sudah tercatat seluas 1.305 ha sawah yang terkena kekeringan dengan rincian 16 ha (kekeringan ringan), 350 ha (kekeringan berat) dan seluas 939 ha (lahan pertanian puso atau sama sekali tak bisa ditanami).
“Agar tak menambah lahan pertanian yang puso, kami imbau petani supaya tak menanam padi apabila memang sumber airnya sudah tak memungkinkan,” kata Supardi.
Dia juga mengungkapkan, belum lama ini tim Kementan sudah turun langsung ke sejumlah lokasi yang mengalami kekeringan di Boyolali. Mereka melihat langsung kondisi meluasnya kekeringan yang melanda sejumlah lahan pertanian di Boyolali.
Sejumlah daerah yang mengalami kekeringan berat umumnya berada di Boyolali bagian Utara. Di antara di Kecamatan Kemusu, Ngandong, Klego, Simo, dan Wonosegoro. Bahkan, di sejumlah daerah (Kecamatan, Red.) di Boyolali yang lahan sawahnya terkena puso terbanyak berada di Boyolali bagian utara seperti di wilayah Kecamatan Sambi, Klego, dan Karanggede .
“Sejumlah kecamatan di Boyolali bagian utara ini tadah hujan. Meskipun lokasi sejumlah kecamatan di Boyolali bagian utara dekat dengan Waduk Kedung Ombo. Tapi, irigasinya tak sampai di sejumlah kecamatan tersebut,” ujarnya.
Sedangkan sejumlah kecamatan di Boyolali yang mengalami kekeringan ringan umumnya berada di Boyolali bagian selatan, seperti Kecamatan Ngemplak, Mojosongo, Sawit, Banyudono, Ngemplak, dan Nogosari.
“Di Boyolali bagian Selatan memang relatif aman, bahkan produktivitas padi yang ditanam petani pada MK tahun ini cukup bagus. Sebab, daerah-daerah tersebut umumnya ada prasarana dan sarana irigasi. Seperti di Sawit (ada mata air dari Cokro Tulung),” kata Supardi.
Sedangkan di Boyolali bagian Timur, lanjut Supardi, sampai saat ini masih bisa memanfaatkan air yang disalurkan dari Waduk Cengklik. Petani Boyolali bagian Timur, seperti di Kecamatan Gagaksipat, Dibal, Ngemplak, Sawahan sampai saat ini masih dapat pengairan dari Waduk Cengklik.
“Meskipun debitnya sudah turun, Waduk Cengklik masih bisa mengairi lahan sawah petani di 7-8 desa. Kalau ada sebagian yang tak terairi masih bisa tanam palawija (jagung atau singkong),” papar Supardi.
Menurut Supardi, daerah-daerah atau kecamatan yang kekeringannya ringan sampai saat ini masih bisa tanam padi setahun sebanyak tiga kali. Apabila debit air dari sejumlah sumber air (umbul) atau waduk berkurang, petani di Boyolali bagian Selatan dan Timur masih bisa tanam padi setahun 2 kali dan yang sekali palawija.
“Tapi untuk daerah di Boyolali bagian Utara (tadah hujan, Red.) pada musim kemarau tahun ini umumnya hanya bisa tanam palawija. Itupun kalau masih ada sumber airnya,” tegasnya.
Manfaatkan Pompa
Direktur Irigasi Pertanian, Ditjen Prasarana Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Rahmanto mengatakan, jika masih tersedia sumber air, maka petani bisa memanfaatkan dengan menggunakan pompa.
Selain itu petani juga bisa memanfaatkan sumbur pantek atau sumur dalam untuk mengairi sawah. “Biasanya di kampung-kampung sumur pantek banyak sumber airnya. Nah, petani bisa memanfaatkan ini,” tegasnya.
Dia menyebutkan, pihak Ditjen PSP sudah melakukan pemasangan pompa dan pipanisasi sebagai langkah antisipasi agar tidak ada lahan pertanian tidak sampai gagal panen.
Dengan upaya yang dilakukan selama ini, minimal dapat menekan kerugian petani. Apalagi, petani di Kabupaten Boyolali mayoritas menanam padi. “Kekeringan tanaman padi di Boyolali ini disebabkan oleh kondisi iklim, di mana musim kemarau maju, masa tanam mundur,” katanya kepada Agro Indonesia, Kamis, (18/7/2019).
Selama tiga tahun atau tepatnya sejak 2016 hingga 2019, irigasi perpompaan untuk tanaman pangan telah dibangun sebanyak 2.358 unit. Sementara untuk kebutuhan tanaman hortikultura dan peternakan masing-masing telah dibangun 429 unit dan 322 unit.
Dia menyebutkan, dampak dari pembangunan irigasi perpompaan antara lain untuk menekan dampak kekeringan serta untuk dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) 0,5.
Dari 2.358 unit irigasi perpompaan yang telah dibangun, bila masing-masing unit dapat mengairi seluas 10 hektare (ha), maka luas lahan yang dapat diairi saat musim kemarau seluas 47,16 ribu ha. PSP