Pasar Eropa Tanpa Pemeriksaan

Habis gelap terbitlah terang. Kutipan inspiratif yang diambil dari judul buku pahlawan nasional RA Kartini nampaknya cocok dengan perjalanan implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Masa depan SVLK sempat gelap ketika 15 kelompok produk furnitur dibebaskan dari sistem tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 89 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Pengecualian tersebut membuat berantakan upaya untuk menyetarakan sertifikat legalitas kayu (V-Legal) — yang diterbitkan berdasarkan SVLK — sebagai lisensi FLEGT.

Padahal, jika target tersebut tercapai, produk kayu Indonesia bisa masuk ke pasar Eropa tanpa harus melewati prosedur uji tuntas (due dilligence) berdasarkan regulasi impor kayu Uni Eropa (UE). FLEGT adalah rencana aksi untuk perbaikan penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan. Indonesia dan UE sudah meneken perjanjian kemitraan sukarela (VPA) akhir tahun 2013.

Namun, setelah melewati perdebatan melelahkan yang diusung oleh seluruh pemangku kepentingan yang pro dengan SVLK, baik di internal pemerintahan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku usaha, titik terang akhirnya terbit. Persis di hari lahir RA Kartini, 21 April, UE menyetujui untuk mengakui dokumen V-Legal sebagai lisensi FLEGT.

Persetujuan diumumkan setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Komisi UE dan Jean-Claude Juncker, dan Ketua Dewan UE Donald Tusk, Kamis (21/4/2016) di markas UE Brussel, Belgia.

Berdasarkan pernyataan pers yang dilansir Komisi Eropa, penyetaraan dokumen V-Legal sebagai lisensi FLEGT diputuskan berdasarkan penilaian bahwa Indonesia siap untuk mengimplementasi secara penuh VPA Indonesia-UE yang sudah diteken bersama. Indonesia adalah negara pertama yang mendapat pengakuan tersebut. Selain Indonesia, UE juga menjalin kemitraan sejenis dengan 15 negara lainnya yang secara keseluruhan memiliki 24% hutan tropis dan memasok 80% produk kayu ke pasar Eropa.

Komisioner UE untuk Lingkungan Hidup, Maritim dan Perikanan, Karmenu Vella menyatakan, Indonesia dan mitra bisnisnya di UE menunjukan bahwa perdagangan produk legal bisa memberikan insentif untuk mengakhiri pembalakan liar. “Pengumuman hari ini adalah sinyal untuk pasar, bahwa membeli produk kayu yang terverifikasi secara legal itu mendukung upaya mempromosikan pengelolaan hutan lestari,” katanya.

Vella mengingatkan, pembalakan dan perdagangan kayu ilegal adalah praktik yang berujung pada hilangnya penerimaan negara, mengantar pada kerusakan ekosistem dan membuat kemiskinan makin tinggi.

UE memandang tata kelola hutan di Indonesia semakin membaik pasca ditekennya FLEGT-VPA. Didukung oleh Komisi UE dan sejumlah negara anggota UE, terutama Inggris, transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan multipihak dalam pengambilan kebijakan tentang kawasan hutan di Indonesia kini meningkat. FLEGT-VPA juga berhasil meningkatkan perdagangan kayu legal, memodernisasi dan memformalkan sektor kehutanan, dan memperbaiki praktik bisnis kehutanan di Indonesia. Situasi ini membuat banyak pelaku usaha yang akhirnya bisa mendapatkan pasar atas produksi kayu legalnya.

Di tahun 2002, ditengarai hanya 20% produk kayu Indonesia yang memiliki legalitas. Maka hari ini lebih dari 90% produk kayu Indonesia yang diekspor sudah diaudit secara independen, baik di pabrik maupun di hutan. Audit ini mencakup lebih dari 20 juta hektare hutan dan 1.700 industri, sebuah capaian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Presiden Joko Widodo berharap agar lisensi FLEGT dapat segera diberlakukan. “Sebagai bentuk penghargaan bagi perdagangan kayu yang legal dan berkelanjutan,” kata dia dalam pernyatan pers, yang dikirim Tim Komunikasi Presiden.

Butuh waktu

Sementara itu Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Putera Parthama memperkirakan, butuh waktu minimal dua bulan, bahkan lebih sebelum pengakuan V-Legal sebagai lisensi FLEGT bisa operasional. “Ada proses administrasi di Parlemen UE. Mungkin cukup berani (jika) diasumsikan akan memakan waktu 3 bulan,” katanya.

Dia menjelaskan, proses tersebut sebenarnya siap dimulai pada November 2015. Namun, keluarnya Permendag No. 89 tahun 2015 — yang membebaskan 15 kelompok produk furnitur dari SVLK — membuat proses tersebut berhenti.

Di tanah air, proses evaluasi implementasi SVLK juga akan dilakukan, khususnya pada hal-hal yang bersifat teknis oleh Indonesia-UE. Nantinya, akan ada pembahasan dalam Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Group), untuk selanjuutnya dibahas dalam Rapat Pakar Bersama (Joint Expert Meeting). Jika sudah beres, maka Komite Implementasi Bersama (Joint Implementing Commitee) akan menentukan kapan pengapalan pertama produk kayu dengan lisensi FLEGT akan dilakukan.

Putera berjanji, menunggu waktu sampai implementasi lisensi FLEGT benar-benar operasional, pihaknya akan berjuang untuk melonggarkan due dilligence bagi produk kayu Indonesia. Maklum, proses uji tuntas tersebut tidak saja memakan waktu, namun juga sangat mahal sehingga menambah beban biaya. “Mungkin tidak bisa dihapus sama sekali. Tapi yang diperlukan adalah memperjuangkan agar selama periode menunggu, pemberlakuan due dilligence yang saat ini sangat rumit dan mahal itu, bisa dilonggarkan,” katanya.

Mahal dan rumitnya uji tuntas sudah dikeluhkan oleh sejumlah eksportir produk kayu Indonesia. Sejumlah produsen produk kertas sejak November 2015 mengeluhkan biaya yang besarnya mencapai 2.500 dolar AS per invoice.

Putera menambahkan, sebentar lagi Indonesia menjadi negara pertama di dunia mendapat pengakuan lisensi FLEGT untuk V-Legal. Hal ini diyakini akan ikut mengangkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Indonesia kini mendapat perhatian karena hanya mengekspor kayu legal.

“Semoga ke depan, pelaku usaha Indonesia bersatu padu, tidak terpecah dalam mencari solusi mendasar untuk mengatasi illegal logging dan illegal trade,” katanya. Sugiharto

RI Siap Implementasi Penuh FLEGT

Meski ada beberapa hal kecil secara teknis dalam proses operasionalisasi lisensi FLEGT, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari kementerian LHK, Putera Parthama menegaskan, Indonesia sepenuhnya siap untuk implementasi penuh FLEGT.

Dia mengakui, saat ini masih ada industri kecil dan menengah (IKM) yang belum memiliki sertifikat SVLK. Meski demikian, jumlahnya tinggal sedikit. “Pemerintah akan terus memfasilitasi. Pada ketentuan SVLK yang baru sudah ada kemudahan-kemudahan dengan biaya sertifikasi yang lebih murah bagi IKM,” katanya

Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas kayu (SILK) ada sekitar 94 IKM yang pada 2015 lalu aktif melakukan ekspor dengan menggunakan Deklarasi Ekspor, dokumen sementara bagi IKM yang belum memperoleh sertifikat SVLK.

Menurut Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto, Kementerian LHK memiliki cukup anggaran untuk membantu seluruh IKM tersisa tersebut untuk memperoleh sertifikat SVLK.

“Dengan waktu sekitar 3 bulan yang tersedia, cukup bagi IKM untuk mendapatkan sertifikat SVLK,” katanya. Sugiharto