Persetujuan UE untuk menyetarakan V-Legal sebagai lisensi FLEGT tak lepas dari langkah Indonesia yang akhirnya memasukan kembali 15 kelompok produk furnitur dalam SVLK. Pasalnya, sejak awal UE memang meminta agar SVLK mencakup seluruh produk kayu, tak terkecuali.
Namun, perubahan ini bukan perkara mudah. Maklum, keputusan mengeluarkan 15 produk furnitur dari SVLK adalah hasil dari paket kebijakan ekonomi yang dicanangkan Presiden Jokowi sebagai komitmen mempercepat pembangunan. Alhasil, dengan ‘membonceng’ kebijakan deregulasi paket I, kewajiban SVLK pun rompal ketika kelompok furnitur memperoleh pengecualian.
Ini memang seperti ‘sesat pikir’ ketika aturan SVLK dianggap jadi aturan yang menghambat perekonomian. Untungnya, momentum emas muncul ketika Presiden Jokowi akan berkunjung ke UE membahas kerjasama perdagangan bebas dengan Uni Eropa (CEPA). Dan seperti diberitakan Agro Indonesia edisi akhir Maret 2016, kunjungan itu peluang Indonesia memperoleh pengakuan dengan cara segera merevisi Permendag 89/2015.
Sehari menjelang lawatan Presiden Jokowi ke Eropa, termasuk ke markas UE di Brussel, Menteri Perdagang Thomas Lembong akhirnya melakukan revisi Permendag 89/2015 dengan memasukkan kembali 15 kelompok HS Code produk furnitur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 25/M-DAG/Per/4/2016 tentang Perubahan Atas Permendag No 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Permendag itu diteken Jumat (15/4/2016).
Pasal penting dalam Permendag 25/2016 adalah dihapusnya Pasal 4 ayat 2 dan diubahnya Pasal 4 ayat 3. Dengan perubahan tersebut, maka seluruh produk berbasis kayu yang terbagi dalam 51 HS Code, dalam kelompok A, wajib dilengkapi dokumen V-Legal dalam proses ekspor. Kelompok A, sesuai dengan lampiran Permendag 25/2016 adalah berbagai jenis produk, mulai dari kayu pertukangan, kayu lapis, kayu serpih, bubur kayu, kertas, hingga furnitur dan perabot kayu.
Tonggak penting
Menanggapi terbitnya Permendag 25/2016, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK, Putera Parthama menyatakan, Permendag itu adalah ujung dari sebuah proses yang panjang dan berliku sejak November 2015. “Ini adalah sebuah milestone kemajuan penting bangsa Indonesia dalam menegaskan komitmennya dalam memerangi illegal logging dan illegal timber trade,” kata Putera, Kamis (21/4/2016).
Dia bersyukur, akhirnya seluruh komponen bangsa memahami bahwa SVLK bukan sebuah regulasi yang patut menjadi obyek deregulasi. SVLK sejatinya hanyalah sebuah sistem untuk memastikan memastikan pelaku bisnis kehutanan taat terhadap hukum.
Menurut Putera, jika harus melakukan deregulasi untuk kemudahan usaha, maka yang harus dilakukan adalah peraturan-peraturan perizinan, yang sebagian besar ada di Daerah, yang menyebabkan pelaku bisnis kesulitan menerapkan SVLK. “Karena itu, mengkebiri SVLK ibarat mengamputasi tangan, sementara penyakit yang ada disebabkan oleh pola makan yang salah. Syukurlah kekeliruan itu kini sudah berlalu,” katanya.
Staf Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto menyatakan, SVLK telah berdampak besar dalam memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia. Disusun secara multipihak, SVLK pun sangat transparan dan akuntabel dalam implementasinya. Kondisi itulah yang akhirnya membuat pasar memberi kepercayaan.
“Informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui sumber kayu yang dimanfaatkan tersedia,” katanya.
Saking revolusionernya, SVLK kini juga dijadikan rujukan untuk komoditas lain, termasuk kelapa sawit. Menurut Agus, saat ini sertifikasi untuk sawit lestari Indonesia (ISPO), mencoba menduplikasi kesuksesan SVLK. “Bukan tak mungkin SVLK juga diduplikasi untuk komoditas lain seperti kopi,” katanya.
Dampak besar
Sementara itu, Penasihat Teknis Senior Multistakeholder Forestry Programme (MFP), Agus Sarsito menyatakan, persetujuan untuk menyetarakan V-Legal sebagai lisensi FLEGT diharapkan bisa melambungkan ekspor produk kehutanan Indonesia. Persetujuan itu bisa berdampak di pasar Eropa maupun di luar Eropa.
Di pasar Eropa, produk Indonesia yang tanpa uji tuntas menjadikan bebas biaya tambahan dan waktu pemeriksaan. Ini membuat importir akan lebih diuntungkan karena bisa bersaing dari sisi harga. “Sampai beberapa waktu ke depan, belum ada negara lain yang posisinya sama dengan Indonesia. Vietnam yang disebut sebagai salah satu pesaing karena sudah menyepakati FLEGT-VPA, butuh beberapa tahun lagi,” katanya.
Pengakuan dari UE, lanjut Agus, akan meningkatkan kepercayan konsumen di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang yang merupakan pasar besar bagi produk kayu Indonesia. “Pasar UE memang tidak dominan untuk produk kayu Indonesia, tapi dia memberi dampak kepercayaan bagi pasar lainnya. Ini yang membuat ekspor produk kayu kita bisa meningkat drastis,” katanya yakin.
Berdasarkan data Sistem Informasil legalitas Kayu (SILK), ekspor produk ber-SVLK pada tahun 2013 tercatat 6,06 miliar dolar AS. Nilainya naik menjadi 6,6 miliar dolar AS pada tahun 2014, dan melonjak hingga 9,8 miliar dolar AS pada tahun 2015. Untuk tahun ini, sampai 22 April, nilai ekspor produk kayu tercatat 3,51 miliar dolar AS.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Agus juga mengingatkan, selain mendorong penguasaan pasar global, produk kayu ber-SVLK juga harus didorong untuk menguasai pasar tanah air. Ini bagian dari perbaikan tata kelola kehutanan yang diusung SVLK.
Salah satu cara yang kini diupayakan adalah dengan mewajibkan pengadaan barang pemerintah hanya menggunakan produk kayu ber-SVLK. “Kalau permintaan sudah meminta SVLK, maka nantinya tidak ada lagi pasar bagi produk non SVLK,” katanya. Sugiharto
AMKRI Kecewa Furnitur Wajib SVLK
Seperti sudah diduga, Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) sangat menyayangkan dan kecewa dengan munculnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 25/M-DAG/Per/4/2016 tentang Perubahan Atas Permendag No 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
“Kami sangat kecewa dan menyayangkan kemunculan Permendag nomor 25 tersebut,” kata Regina Kindangen, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri AMKRI, kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
AMKRI pantas kecewa karena salah satu isi dari Permendag yang baru itu adalah mewajibkan semua pelaku industri atau eksportir produk hasil kehutanan memenuhi persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Padahal, di Permendag No.89/2015, industri atau eksportir kelas IKM tidak dikenakan kewajiban memenuhi persyaratan SVLK.
Regina mengaku pihaknya baru mendapatkan salinan Permendag 25/2016 dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Jumat (22/4). “Kami baru mendapatkan copy dari Permendag baru itu hari Jumat. Dengan begitu, kami masih menggodok langkah-langkah yang akan dilakukan,” paparnya.
Namun, jika mengacu pada sikap AMKRI terhadap penerapan SVLK selama ini, asosiasi yang menaungi ribuan pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia itu jelas menolak keras pemberlakuan SVLK terhadap industri hilir.
“Kami memang mendukung penerapan SVLK, cuma hal ini hanya diberlakukan di industri hulunya saja, bukan dihilir,” jelas Regina. Alasannya, pelaku industri hilir hanyalah pemakai. “Kami ini hanyalah pemakai, tak perlu lagi dikenakan persyaratan SVLK,” ucapnya.
Menurutnya, penerapan SVLK kepada industri hilir, khususnya IKM, hanya akan membebani pelaku industri tersebut yang akhirnya berujung pada penurunan daya saing produk itu di pasar internasional. B. Wibowo