Hendrik (50 tahun) adalah bagian dari jejaring pembalak liar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Dia bahkan berperan sebagai salah satu cukong terbesar, di wilayah Cisangku, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Tapi itu dulu. Hidup Hendrik telah berbalik 180 derajat. Hendrik, kini menjadi pentolan kelompok masyarakat yang sangat mendukung aktivitas konservasi di TNGHS. Bersama kelompoknya masyarakat Model Kampung Konservasi (MKK) Cisangku, banyak terlibat dalam berbagai kegiatan pelestarian TNGHS, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
“Alhamdulillah, sampai hari ini walau ada tantangan dan rintangan saya masih eksis mendukung program konservasi hutan,” kata Hendrik ketika ditemui Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TAMLHK) Eka W Soegiri dan Sri Murniningtyas, di Blok Malasari, Resor Gunung Botol, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Kabupaten Bogor, Senin (29/3/2021).
Eka dan Murniningtyas saat itu sedang melakukan melakukan monitoring pelaksanaan program RHL yang dilaksanakan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum-Ciliwung berkoordinasi dengan Balai TNGHS.
Perubahan sikap Hendrik tidak terjadi dalam sekejap. Sebagai pelaku pembalak liar, Hendrik ada di baris depan menolak perluasan TNGHS tahun 2003. Seperti juga rekan-rekannya yang lain yang merasa terancam penghidupannya karena lahan garapannya berubah menjadi kawasan konservasi.
Untuk diketahui, TNGHS awalnya hanya mencakup Gunung Halimun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 282/1992 tertanggal 28 Februari 1992. Luasnya 40.000 hektare.
Pada tahun 2003, lewat SK Menteri Kehutanan No 175/2003, kawasan hutan Gunung Salak dan Gunung Endut dimasukan dalam satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS. Luasnya menjadi 113.357 hektare.
Kawasan hutan di Gunung Salak dan Gunung Endut itu awalnya berstatus sebagai hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Jadi tak heran jika banyak masyarakat yang sudah beraktivitas di dalamnya. Mulai dari mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) hingga berladang. Bahkan ada juga yang melakukan aktivitas ilegal seperti Hendrik.
Perluasan TNGHS itu akhirnya menimbulkan konflik. Masyarakat yang yang merasa penghidupannya terancam menolak keberadaan TNGHS. Termasuk warga desa Malasari, dimana Hendrik dan rekan-rekannya tinggal.
Untuk tahu perjalanan perubahan perilaku Hendrik dan rekan-rekannya, berikut petikan penuturannya:
Pak Hendrik sudah lama bekerja di hutan?
Jadi dulu, saat perluasan TNGHS tahun 2003. Masyarakat tidak menerima. Ini garapan kami. Kami khawatir hilang pendapatan. Ada juga dari kami yang menjadi penebang liar, illegal logging. Termasuk saya. Saya ini dulu salah satu cukong terbesar di sini.
Makanya pada saat itu kami dengan petugas TN sama-sama tidak nyaman. Kami tidak nyaman ke petugas TN, petugas TN juga tidak nyaman dengan kami. Sama-sama susulumputan (sembunyi-sembunyi), takut.
Pernah ada sejarah, Kepala Balai (TNGHS) datang ke sini. Kami cegat. Tidak boleh masuk ke daerah kami.
Lantas bagaimana kemudian sekarang bisa bekerja sama dengan TNGHS?
Alhamdulillah dengan taufik hidayah Allah SWT, tahun 2007, kami melakukan pertemuan dengan kepala resor. Kami ajak ngobrol, diskusi di masjid. Kami pengin tahu apa kepentingan taman nasional.
Saat itu kami minta hak kami sebagai warga masyarakat. Karena rumah, sawah, garapan kami itu semua ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.
Kalau mengikuti undang-undang itu pahit. Boro-boro bisa menggarap, sireum oge teu bisa diganggu (semut juga tidak bisa diganggu). Kami takut. Saat itu konflik karena kami punya kepentingan yaitu perut.
Alhamdulillah setelah dua kali pertemuan ada pemahaman antara TN dan masyarakat. TN maunya kieu (begini), masyarakat maunya kieu. Intinya masyarakat boleh memanfaatkan kawasan taman nasional yang ada di zona pemanfaatan untuk penghidupan sepanjang tidak merusak bahkan diminta untuk membantu menjaga hutan.
Dibuatlah MoU sebagai kelompok Model Kampung Konservasi (MKK) Cisangku.
Alhamdulillah sampai hari ini, meski ada tantangan dan rintangan saya masih mendukung program konservasi hutan.
Berapa anggota MKK Cisangku?
Dulu saat pembentukan, semua masyarakat yang memiliki garapan di TNGHS wajib masuk menjadi anggota. Sekarang kami punya usaha pembibitan, ada 22 orang yang terlibat. Termasuk 6 orang ibu-ibu yang suaminya telah meninggal.
Bisa diceritakan bagaimana kegiatan usaha pembibitan MKK Cisangku berkembang?
Awalnya tahun 2010, berangkat dari program RHL, kami mendapat pekerjaan untuk menyediakan bibit penanaman seluas 50 hektare. Kemudian kami terus memproduksi bibit.
Sekarang persemaian kami punya stok mencapai 300.000 batang. Macam-macam tanaman endemis di TNGHS seperti puspa, huru, salam hutan, kupa.
Untuk penanaman di TNGHS. Bibit kami dibeli rutin oleh satu perusahaan tambang karena perusahaan itu diberi kewajiban oleh pemerintah untuk menanam.
Untuk penyediaan bibit, selain di lokasi persemaian, kami juga mengajak masyarakat untuk membuat persemaian di rumah. Awalnya ada aja yang mempertanyakan. Kitu wae, apa-apaan sih? Tapi Alhamdulillah kami bisa beli bibit dari masyarakat sebanyak 35 ribu batang tahun ini. Kami beli Rp1.100 per batang, karena polybag-nya dari kami.
Kini kami sudah merasakan dampaknya dari kegiatan ini. Ini kami pertahankan tujuannya agar jangan ada lagi yang menjadi penebang hutan, jangan adalah lagi yang menjadi penambang liar, gurandil. Alhamdulillah, sampai saat ini anggota kami belum ada yang menjadi gurandil.
Apa pengalaman paling berkesan selama terlibat dalam MKK Pak?
Tahun 2011, saya dijemput Kepala Balai (TNGHS). Dibawa ke Jakarta, ternyata diberi penghargaan. Kami termasuk yang berhasil memberdayakan masyarakat di sekitar Gunung Botol. Saya kaget. Alhamdulillah. Ini sudah menjadi kewajiban saya, semoga Allah memberkahi.
Sugiharto