Upaya ketahanan pangan regional, nasional dan internasional melalui pembangunan food estate di Kalimantan Tengah dinilai sudah tepat. Penilaian itu disampaikan Susilawati, periset padi lahan rawa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Susilawati mengatakan, produktivitas padi di lahan rawa memang masih rendah. Panen padi masih di bawah angka rata-rata nasional sebesar 5,06 ton/ha. Kondisi ini salah satunya disebabkan minimnya pengetahuan petani terhadap sistem budidaya di lahan rawa.
Selain itu, luas lahan rawa yang digunakan untuk pertanian masih sangat kecil, hanya 23,8% dari luas total lahan sawah di Indonesia. Namun, program food estate yang diimplementasikan pemerintah ini dapat menambah luas tanam padi.
“Kami sangat bersyukur dengan ada pencanangan program food estate ini. Karena lahan-lahan kita ini cukup potensial dan cukup luas. Artinya, pilihan Kalimantan Tengah untuk food estate ini adalah pilihan yang tepat,” ujar Susilawati, pekan lalu.
Menurut dia, dengan kondisi lahan pertanian di Indonesia yang makin berkurang, pengelolaan lahan rawa menjadi solusinya. Walaupun untuk mengelolanya tidak semudah membalik telapak tangan, namun hal ini bisa diharapkan untuk solusi pangan masa depan.
“Memang tidak mudah mengelola lahan rawa. Ada persiapan-persiapan yang harus kita lakukan. Ini bagian dari investasi masa depan, yang artinya food estate ini memang tepat dan harus ada,” katanya.
Dikatakannya, hal yang paling penting dalam mengolah lahan rawa adalah manajemen air. Hal ini yang menjadikan food estate tidak bisa berdiri sendiri, melainkan butuh sinergitas antarlembaga.
“Food estate ini mencakup keseluruhan. Tidak hanya menyangkut bantuan benih, tetapi juga tata air mikro dan makro. Karena food estate ini adalah program strategis nasional, sehingga banyak kementerian turut bergerak,” ungkapnya.
Diketahui, program lumbung pangan ini baru berjalan tiga tahun. Dia menilai, terlalu dini bila mengharapkan hasil maksimal dari lahan rawa yang belum terpenuhi secara optimal prasarana dan sarana pertaniannya.
“Kalau mau 3 tahun langsung berhasil mungkin bisa di lahan optimal, bukan di lahan bukaan baru di rawa. Tetapi kalau di lahan rawa, kita memang perlu proses lebih lama untuk menata lahan-lahan sesuai peruntukannya,” terangnya.
Susilawati mengungkapkan pengalamannya mendampingi masyarakat transmigrasi bertani di lahan rawa di Kalteng. Dibandingkan sebelumnya, kondisi pertanian di sini jauh lebih baik sejak adanya program food estate.
Dia melanjutkan, di daerah Belanti Siam, produksinya sudah hampir sama dengan daerah-daerah Jawa. Hal itu disebabkan lahan-lahan yang sudah bagus, banyak petani berani menggunakan benih varietas hibrida.
“Saat ini mungkin produksinya sudah di atas 5 ton, hampir sama dengan rata-rata nasional kita, akhirnya tidak lagi di bawah 6-7 ton. Nah, kesulitannya kalau mau menanam hibrida seluas-luasnya itu petani harus modal besar. Dari bantuan yang diberikan pemerintah, produksi rata-rata mungkin ya 3-4 ton,” ujar Susilawati.
Susilawati menyayangkan apabila pemerintah pusat menghentikan bantuan dalam pengembangan food estate. Pasalnya, bila bantuan itu dibarengi dengan infrastruktur dan penguatan SDM, hasilnya akan sangat jauh berbeda.
Dia mengungkapkan, banyak investor asing yang berminat untuk menggarap lahan food estate di sini. Mereka siap datang dengan anggaran dan teknologi yang dibawa dari negaranya.
“Belum lama ini saya bertemu dengan investor dari Korea Selatan. Tak tanggung-tanggung, mereka ingin mengelola 10.000 hektare (ha) dan mengaku sudah menghadap di Jakarta untuk mendapatkan HGU-nya. Saya berharap pemerintah tidak menyerahkan ini ke investor asing,” katanya.
Akademisi Universitas Palangkaraya (UPR) Kalimantan Tengah, Eka Nur Taufik menilai program food estate di wilayahnya memiliki dampak yang sangat besar dan positif terhadap kemajuan mahasiswa. Bahkan, tak sedikit lulusannya kini bergelut dan menjadi petani muda.
Kata Eka, banyak di antara mereka yang melakukan penelitian dan pengembangan diri pada lahan food estate yang diimplementasikan dalam bentuk tugas akhir atau skripsi. Karena itu, kalimat gagal dalam program tersebut tidak memiliki dasar karena sampai saat ini program food estate masih berjalan dengan baik.
“Saya bingung, kok masih dibilang gagal? Sebab program food estate masih berproaes. Banyak mahasiswa UPR yang melakukan penelitian di sana dan lulus dengan nilai bagus,” ujar Eka.
Di sisi lain, Eka mengatakan program food estate telah memberi dampak yang sangat besar terhadap peningkatan ekonomi petani dan masyarakat setempat. Sementara dari sisi produksi, rata-rata lahan sawahnya meningkat dari 2 ton menjadi 4 ton/ha.
“Yang pasti, ada kenaikan yang cukup signifikan setelah adanya food estate ini. Dampak ke masyarakatnya juga sudah semakin terlihat. Misalnya dari sisi infrastruktur sudah bagus. Memang semua itu butuh proses. Tidak bisa secepat kilat,” kata dia.
Eka menambahkan, produktivitas food estate bisa bertambah 6 hingga 7 ton/ha jika sarana produksi (benih, pupuk, obat-obatan pertanian) yang disediakan atau diberikan sesuai dengan ketentuan (tepat jumlah, jenis, waktu, dan mutu). Ditambah dengan progres pembangunan DAM di wilayah Dadahup Kapuas apabila sudah dioperasikan.
“Sekali lagi saya sampaikan, food estate ini sangat penting sekali bagi kemajuan dan keberlanjutan pangan kita. Apalagi kalau DAM yang di Dadahup sudah berfungsi. Jadi, kalau mau evaluasi, nanti diakhir saja. Jangan sekarang, karena masih berproses,” jelasnya. YR
Petani: Program Food Estate Beri Berdampak Positif
Petani di kawasan lumbung pangan (food estate) di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng) membantah sorotan mengenai program pemerintah tersebut telah gagal. Program ini justru dinilai mampu memberikan perubahan dan menggerakkan roda perekonomian rakyat.
Timang, dari kelompok tani (Poktan) Ulin Berkarya di Desa Garung, Jabiren Raya mengaku, program food estate mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Saya berani mengatakan program ini tidak gagal walau masih ada kendala. Harusnya bertanya kepada para petani dulu agar tahu yang sebenar-benarnya. Saya merasakan sendiri manfaat program food estate ini,” ungkap Timang saat ditemui di sawah lahan food estate, Rabu (8/2/2023).
Terkait sorotan terhadap Kementan, dia justru berterima kasih kepada Kementan yang telah membantu penuh para petani sejak awal pembukaan lahan. Begitu juga infrastruktur dibangun.
Setu Raharjo, Kepala Desa Petak Batuah, yang sekaligus petani, mengaku heran dengan opini yang menyebut kegagalan program food estate di daerahnya.
Setu dengan tegas membantah jika program lumbung pangan di daerahnya itu dinilai gagal. ”Saya sangat memahami program ini bertujuan baik untuk para petani. Petani ingin program food estate dilanjutkan,” tegasnya.
Dia menjelaskan, dulu, daerahnya sangat sulit mengelola lahan karena genangan air yang sulit diatasi. Namun, sejak adanya program food estate, dibangun infrastruktur pintu-pintu air sehingga masyarakat lebih mudah melakukan kegiatan usaha tani.
Dia berharap progam food estate ini tidak dihentikan, baik pembangunan ataupun bantuan pertaniannya. Menurutnya, bila ini konsisten dikerjakan, akan memberikan dampak perubahan perekonomian masyarakat lebih baik lagi.
“Jadi, kami mohon hal ini jangan dipolitisir. Jangan buru-buru mengatakan program ini gagal. Ini masih dalam proses. Dengan adanya food estate ini masyarakat juga tidak perlu pergi jauh-jauh untuk bekerja,” tambahnya.
Setu menambahkan, infrastruktur penunjang food estate saat ini yang sudah terasa sekali manfaatnya adalah pembangunan jalan usaha tani. Saat ini, petani lebih mudah menjual hasil taninya tanpa harus menggunakan perahu getek lagi.
“Sejak dibangun infrastruktur jalan, petani jadi lebih mudah menjual hasil panennya ke pasar atau ke daerah tetangga seperti Kapuas. Bahkan untuk skala besar, para tengkulak sudah mulai bisa datang langsung menggunakan mobilnya,” pungkasnya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pulang Pisau, Godfridson mengakui, sejak adanya program food estate, terjadi peningkatan produktivitas. Bila sebelumnya hanya bisa menghasilkan 3-3,5 ton/ha, kini meningkat jadi 4-4,5 ton/ha.
“Karena di Pulang Pisau rata-rata di lahan intensifikasi ini sudah IP 200. Kami juga sudah merilis dari beberapa produktivitas yang akan dilaporkan juga dengan pertanian secara komulatif. Di sini masih banyak yang menggunakan benih lokal. Produksi bisa sampai 5 ton bila menggunakan bibit unggul,” ungkap Godfridson.
“Nah, ini ya yang sudah dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau, karena ini pembukaan lahan baru tentu butuh proses. Ini tidak semudah membalik telapak tangan, begitu dibuka langsung dapat 4 ton. Ini kan di lahan pasang surut bergambut butuh proses,” terangnya.
Menurutnya, program food estate ini sangat positif. Pasalnya, mampu menghidupkan kembali lahan-lahan tidur yang mangkrak lebih dari 30 tahun. “Program kami tahun ini tetap pada sarana pendukung lainnya, yaitu jalan usaha tani, terus juga ada jembatan. Terus yang tidak kalah penting yang kami lakukan hari ini, yang kami anggap pertama adalah akses,” ujarnya.
Pihaknya juga menyampaikan terima kasih atas manfaat dari food estate yang sudah dirasakan masyarakat selama program dijalankan di wilayahnya. Terutama dengan dibangunnya jalan yang nyata menghidupkan perekonomian masyarakat. SW