Pemerintah dinilai “lempar handuk”, menyerah, dalam mengurus minyak goreng curah dan tunduk pada penguasa pasar minyak goreng kemasan. Rencana penghapusan minyak curah sama saja dengan memaksa rakyat menggunakan minyak goreng kemasan dengan janji harga akan stabil di angka tertentu. Kebijakan ini selain tidak tepat, juga mengancam terjadinya inflasi.
Harga minyak goreng, terutama minyak goreng curah, ternyata tidak juga mampu diturunkan pemerintah sesuai harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000/liter atau Rp15.500/kg. Padahal, gonta-ganti kebijakan sudah berulang kali terjadi sejak awal tahun dan sudah “mengorbankan” satu orang menteri perdagangan, Muhammad Lutfi, yang diganti oleh Zulkifli Hasan atau biasa disapa Zulhas. Belakangan, Menko bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Panjaitan juga ikut diterjunkan Presiden Joko Widodo untuk mengurus komoditi nonmigas unggulan ini.
Namun, meski sudah ditugaskan hampir sebulan sejak 24 Mei 2022, harga minyak goreng curah masih di atas HET, di mana rerata nasional per 17 Juni 2022 menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), masih Rp18.100/kg. Yang mengejutkan, di saat harga masih tinggi, Luhut mendadak menyebut minyak goreng curah akan dihapus dan diganti dengan kemasan. Dalihnya soal martabat, gengsi, karena Indonesia setara dengan Bangladesh yang masih gunakan minyak curah.
Usulan ini kontan disambar pengusaha. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNl), Sahat Sinaga menyebut sudah seharusnya minyak curah dihapus. “Kami mendukung kebijakan penghapusan minyak goreng curah itu menjadi minyak goreng kemasan,” ujarnya, Jumat (17/6/2022). Sejumlah alasan disampaikan, mulai dari higienitas sampai kehalalan produk.
Namun, rencana itu dinilai salah besar karena selain tidak tepat, juga tidak pas waktunya. “Dalam kajian inflasi, ini disebut hedonic adjustment atau peningkatan kualitas produk atau barang. Tapi menurut saya, it’s not the right policy and the right time!,” tegas analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, Sabtu (18/6/2022). Apalagi, katanya, hedonic adjustment biasanya dilakukan korporasi untuk meningkatkan produksi. Jika negara yang melakukan, apalagi untuk komoditi pokok, risikonya terjadi inflasi di kelas menengah-bawah.
Bagaimanapun, katanya, minyak kemasan lebih mahal dari minyak curah. Artinya, akan ada pengeluaran tambahan dari masyarakat pengguna minyak curah saat beralih ke minyak kemasan alias terjadi inflasi pada pendapatan mereka untuk komoditi minyak goreng.
Jika tetap ngotot dengan rencana penghapusan, apakah artinya pemerintah menyerah, tak sanggup menstabilkan harga? Apalagi track record sebelumnya menunjukkan pemerintah sudah kewalahan, bahkan gagal, menetapkan harga jual minyak goreng kemasan Rp14.000/liter? “Secara halus, saya pikir iya, pemerintah menyerah. Tapi secara eksplisit, sebenarnya pemerintah memilih berpihak pada penguasa pasar minyak kemasan,” tandas Ronny. AI