Logika ‘Kejam’ Pemerintah Hapus Minyak Curah

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan meninjau pasar (foto: Antara)

Niat pemerintah menghapuskan minyak goreng curah dinilai tidak tepat, baik secara kebijakan maupun secara waktu. Bahkan rencana itu sangat aneh dari kacamata ekonomi karena kegagalan pemerintah menstabilkan harga minyak goreng malah ditanggapi dengan niat menghapus minyak curah. Padahal, minyak curah adalah substitusi bagi masyarakat di saat minyak goreng kemasan dianggap terlalu tinggi.

“Logikanya, pemerintah berani menaikan harga tetapi menutup opsi bagi masyarakat untuk berpaling ke barang substitusinya. Padahal, pendapatan masyarakat cenderung konstan,” ujar analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita kepada AgroIndonesia, Sabtu (18/6/2022).

Menurut Ronny, dalam ilmu ekonomi, terutama kajian inflasi, ada istilah “hedonic adjustment” atau peningkatan kualitas produk atau barang.  “Nah, itulah yang dilakukan pemerintah atas minyak goreng dengan rencana menghapus minyak curah. Tapi saya menilai, it’s not the right policy and the right time! Apalagi, hedonic adjustment jarang dilakukan untuk komoditas pokok yang berisiko meningkatkan inflasi pada kelas menengah dan kelas bawah. Dan juga, biasanya hedonic adjustment dilakukan oleh korporasi dalam rangka memperbaiki kualitas produk,” paparnya.

Dikatakannya, hal yang mirip pernah dilakukan pemerintah SBY-JK, yakni migrasi dari minyak tanah ke gas elpiji. Secara kualitas, elpiji lebih baik dari minyak tanah. Tapi, secara akumulatif menggunakan elpiji lebih murah ketimbang menggunakan minyak tanah.

“Artinya, migrasi tersebut tidak menyebabkan inflasi di kelompok penggunanya dan dilakukan di saat kondisi makro ekonomi sedang baik,” ujarnya.

Tapi kebijakan itu berbeda dengan menghapus minyak curah. Pasalnya, minyak kemasan lebih mahal dari minyak curah. “Artinya, akan ada pengeluaran tambahan dari masyarakat pengguna minyak curah saat beralih ke minyak kemasan alias terjadi inflasi pada pendapatan mereka untuk komoditas minyak goreng.”

Dia menilai aneh logika berpikir pemerintah, karena berani menaikkan harga dan pada saat yang sama menutup opsi masyarakat ke barang substitusinya, yakni minyak curah, padahal pendapatan masyarakat cenderung konstan. Bahkan dia menilai logika ini cukup “kejam”. Pemerintah berasumsi pendapatan masyarakat juga ikut naik di saat harga minyak goreng naik (berganti ke kemasan), padahal faktanya tidak demikian. Pendapatan masyarakat dalam 2 bulan terakhir cenderung tertekan dengan inflasi cukup tinggi. “Jadi, sangat rasional bagi sebagian besar masyarakat mengganti ke minyak curah sebagai substitusi, karena harganya relatif lebih murah tapi fungsinya sama,” papar Ronny.

Makanya, kata dia, logika pemerintah aneh karena saat masyarakat berteriak harga minyak goreng mahal, dan mendorong mereka mencari substitusi yang lebih murah, yakni minyak goreng curah, pemerintah malah menghapusnya. “Ini artinya pemerintah secara halus memaksa masyarakat menelan bulat-bulat minyak goreng kemasan sebagai satu-satunya alternatif yang ada untuk aktivitas menggoreng, dengan janji bahwa harga minyak goreng kemasan akan stabil di angka tertentu,” katanya.

Penghapusan minyak curah juga sama saja dengan hilangnya mekanisme kontrol harga minyak goreng kemasan. Jika minyak goreng curah dihapus, maka kedigdayaan minyak goreng kemasan akan bersifat absolut. Harga minyak goreng kemasan akan sulit dikendalikan karena tidak memiliki alternatif pengganti.

Yang paling menyakitkan adalah jika janji pemerintah bahwa penghapusan minyak curah dan diganti dengan minyak kemasan sederhana, harga Rp14.000/liter bisa terbukti. Menurut Ronny, pengalaman yang ada menunjukkan tidak ada jaminan harga akan standby di level yang ditetapkan.

“Jadi, pemerintah hanya menjual janji ini-itu untuk melegitimasi penghapusan minyak goreng curah, lalu memberi prioritas pada minyak goreng kemasan dengan dalih faktor kesehatan. Tetapi pemerintah melupakan dalih pendapatan masyarakat yang konstan di satu sisi, dan dalih mekanisme kontrol harga minyak goreng kemasan di waktu mendatang di sisi lain,” urai Ronny.

Yang jelas, tegasnya, penghapusan minyak goreng curah dan pemaksaan pembelian minyak goreng kemasan secara ekonomi akan menambah pengeluaran masyarakat alias mengurangi daya beli masyarakat, yang sudah tergerus inflasi tinggi selama 2 bulan terakhir.

Sulit dihapuskan

Sementara itu, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menilai rencana penghapusan minyak goreng curah juga sulit diwujudkan. Pasalnya, masyarakat menengah-bawah masih bergantung pada minyak goreng curah.

“Susah untuk diwujudkan, sebab masyarakat terutama menengah ke bawah masih banyak beli minyak curah. Ini sudah menjadi wacana di tahun 2014 tapi hingga saat ini tidak terwujud,” ujar Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri saat dihubungi Kamis (16/6/2022).

Selain itu, Mansuri juga menilai penghapusan minyak goreng curah bisa terjadi jika masih ada upaya alternatif pengganti minyak goreng curah dengan harga lebih murah. Dalam catatan Ikappi, minyak goreng curah sudah mengalami penurunan cukup segnifikan, dari sebelumnya sempat tembus Rp20.000/liter, saat ini sudah mendekati Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000/liter atau Rp15.500/kg di pasar tradisional.

“Kami Bersama dengan Satgas Pangan, Mabes Polri, ID food dan Badan Pangan Nasional terus berupaya mempercepat pasokan di pasar-pasar tradisional sehingga keberadaan minyak goreng curah terus melimpah,” ujarnya.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menilai boleh-boleh saja minyak curah dihapus, dengan syarat ada penggantinya yang memiliki harga murah dan juga higenis. “Jika minyak goreng curah dihapus, maka harus ada barang pengganti lain yang dihadirkan oleh pemerintah, yang harga terjangkau dan aman dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar Staf Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo.

Di sisi lain, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan mengubah minyak goreng curah ke kemasan memang bisa menjadi solusi dari masalah yang ada selama ini. Pasalnya, dia meyakini perubahan itu akan membuat pengawasan distribusi minyak goreng menjadi lebih mudah. Tapi, itu dengan syarat, perubahan  kebijakan itu disertai dengan kejelasan pengawasan izin.

“Jadi, masyarakat jangan sampai dikasih akrobat, sudah beli minyak goreng pakai aplikasi, ternyata minyak curah jadi langka dan minyak kemasan sederhana justru harganya jauh lebih mahal. Ini yang kena dampak pengusaha makanan minuman di sektor informal, karena mereka selama ini bergantung pada minyak goreng curah,” katanya. Attiyah Rahma/Ali Akbar

Harga Masih Jauh dari HET

Meski berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk menekan harga jual minyak goreng curah agar sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14.000/liter atau Rp15.500/kg, namun di lapangan harga komoditas itu masih jauh lebih tinggi dari HET.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, hingga Jumat, tanggal 17 Juni 2022, harga darat-darat minyak goreng curah di dalam negeri mencapai Rp18.100/kg. Harga ini tidak berubah sejak awal pekan.

Jika mengacu per provinsi, maka harga minyak goreng (migor) curah terendah berada di Provinsi Kalimantan Barat, di mana harga migor curah mencapai Rp14.800/kg atau jauh di bawah HET sebesar Rp15.500/kg. Provinsi dengan harga jual migor curah terendah selanjutnya adalah Sumatera Barat dengan harga jual Rp15.250/kg.

Sementara untuk harga migor curah tertinggi berada di Provinsi  Papua dengan harga Rp28.150/kg, disusul kemudian oleh Provinsi Maluku Utara dengan harga Rp27.000/kg.

Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta yang menjadi barometer nasional, harga jual rata-rata migor curah pada hari Jumat lalu mencapai Rp17.300/kg. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan posisi harga pada Senin (13/6/2022) yang mencapai Rp17.900/kg.

Sementara untuk minyak goreng kemasan bermerk I, terjadi tren penurunan harga sepanjang pekan lalu. Jika pada awal pekan harga jual rata-rata komoditas ini secara nasional mencapai Rp26.350/kg, maka pada hari Jumat lalu harganya turun menjadi Rp26.250/kg.

Trend penurunan harga juga terjadi pada minyak goreng kemasan bermerk 2. Data PIHPS Nasional menunjukkan komoditas ini pada Jumat lalu harga jual rata-ratanya mencapai Rp25.170/kg atau turun Rp150 jika dibandingkan dengan harga jual pada hari Senin  lalu yang mencapai Rp25.300/kg. B Wibowo