Oleh: Pramono Dwi Susetyo – Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan (2021) dan Membangun Hutan Menjaga Lingkungan (2023)
Debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan diselenggarakan pada 21 Januari 2024 dan akan diikuti oleh para Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024 yakni Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabumingraka dan Mahfud MD. Tema debat kali ini sangat menarik karena membahas topik pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, energi, sumber daya alam, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
Dengan durasi debat yang hanya 120 menit dan topik yang dibahas aspeknya sangat luas, apabila para panelis yang ditunjukkan nantinya apabila tidak fokus pada target subtansinya yang akan dituju maupun yang akan dicapai maka para kandidat cawapres bisa membahas substansi kemana-mana dan pada akhirnya publik atau masyarakat tidak akan mendapatkan informasi dan tontonan yang menarik sebagaimana debat ketiga Capres pada 7 Januari 2024 lalu yang menurut saya,- sebagai sebuah tontonan- publik tidak mendapatkan informasi dan edukasi yang mencerahkan karena berlangsung datar, linear dan membosankan serta kurang menarik.
Sebagai seorang pemerhati kehutanan (termasuk pengelolaan sumber daya alam/SDA) dan lingkungan hidup, saya mencoba mengulik sedikit tentang dua tema dalam debat cawapres pada 21 Januari 2024 nanti yakni tentang sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Hanya hidup rakyat suatu negara, dimasa depan sesungguhnya tergantung dari dua potensi yang dimiliki negara tersebut yakni potensi sumber daya alam/SDA (natural resources) dan potensi sumber daya manusia/SDM (human resources). Secara kebetulan negara kita, Indonesia oleh Tuhan Yang Maha Esa dibekali sumber daya alam yang kaya dan sangat melimpah sehingga oleh negara-negara lain banyak disebut sebagai “zamrut khatulistiwa”. Meskipun kita telah merdeka hampir 79 tahun, namun sayangnya sumber daya manusia (SDM) Indonesia belum mampu sepenuhnya mengolah SDA yang melimpah tersebut menjadi produk jadi/setengah jadi untuk meningkatkan nilai tambah (added value) bagi devisa negara kita. Selama SDA kita lebih banyak dijual dalam bentuk bahan mentah (raw material) ke negara lain yang sudah barang tentu harganya sangat murah.
Bagaimana sebenarnya potensi SDA Indonesia sehingga disebut sebagai negara kaya raya ?.
Potensi SDA Indonesia
Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia, Indonesia mempunyai potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah. Berkah dan karunia Tuhan ini seharusnya menjadi faktor pemicu untuk mempercepat kemakmuran seluruh rakyat dan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Tidak hanya didaratan saja potensi SDA yang dimiliki Indonesia tetapi juga diperairan dan lautan potensi SDA Indonesia luar biasa besar. SDA pada pokoknya dapat dibagi menjadi dua yakni SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Yang tergolong SDA yang dapat diperbaharui adalah komoditas pertanian, komoditas perkebunan, komoditas kehutanan dan komoditas perikanan laut. SDA dapat diperbahuri dengan cara menanam kembali pada komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan; dan memberikan kesempatan kembali untuk meningkatkan jumlah populasinya pada komoditas perikanan laut. Sedangkan SDA yang tidak dapat diperbaharui setelah diekspolitasi adalah minyak bumi dan minerba (mineral dan batu bara).
Potensi besar SDA hutan telah dapat dirasakan manfaatnya oleh bangsa Indonesia. Selama lebih dari tiga dekade, komoditas dari hutan alam menjadi penyumbang nomor dua devisa negara dengan memberikan konsesi berupa hak pengusahaan hutan (HPH) seluas kurang lebih 64 juta hektar hutan produksi dengan izin HPH tak kurang dari 600 unit perusahaan. Dari tahun 1970 hingga 1997 ekspor kayu bulat terus meningkat. Tahun 1970/1971 produksi kayu bulat mencapai 10.899 ribu m3, pada tahun 1974/1975 mencapai produksi 23.280 ribu m3 dan pada tahun 1997/1998 produksi kayu bulat mencapai 29.520 ribu m3. Alhasil, pada saat itu kegiatan pengusahaan hutan berhasil menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Di industri kehutanan dengan bahan baku kayu dari hutan alam pun, tahun 1990-1995 produksi kayu lapis Indonesia tercatat menguasai pasar kayu tropis dunia. Salah satu indikator peranan HPH dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah capaian kinerja produksi industri kayu lapis (plywood) pada tahun 1992 yang mencapai 10,86 juta m3 yaitu produksi tertinggi yang sempat membanjiri pasaran dunia produk kayu lapis jenis kayu tropis. Sektor kehutanan bahkan menyumbangkan devisa sebesar 16 miliar dollar US/tahun.
Potensi SDA perkebunan khususnya perkebunan sawit juga tak kalah mentereng dari SDA hutan. Pada saat ini, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak sawit (CPO) terbesar di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 mencatat bahwa luas perkebunan kelapa sawit sendiri mencapai 14,6 juta hektare. Lebih dari separuh diusahakan oleh perusahaan besar swasta, yakni 55,09 persen atau 7.892.706 hektare. Sisanya diusahakan oleh perusahaan negara dan perkebunan rakyat. Bagi Indonesia, minyak sawit adalah penyumbang devisa ekspor non migas terbesar senilai 27,3 miliar dollar AS selama periode Junuari- Oktober 2021.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia melonjak selama lima tahun terakhir. Pada 2019, produksinya mencapai 48,42 juta ton atau meningkat 12,92% dari tahun sebelumnya yakni 42,88 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit tercatat terus bertambah dari sebesar 31,07 juta ton pada 2015 menjadi 31,49 juta ton setahun setelahnya. Lonjakan tertinggi pada 2017-2018 yakni dari 34,94 juta ton menjadi 42,88 juta ton atau naik sekitar 22,72%. Sementara itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan, produksi kelapa sawit pada tahun 2020 masih berada di atas rata-rata produksi tahunan, meskipun tahun lalu berbagai sektor industri terpukul oleh pandemi Covid-19. Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurachman mengatakan, sepanjang tahun 2020 produksi kelapa sawit mencapai 51,58 juta ton, lebih tinggi dari rata-rata tahunan sebesar 37,57 juta ton. Produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sepanjang tahun 2021 diperkirakan mencapai 47,47 juta ton dan minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO) mencapai 4,48 juta ton sehingga secara total produksi sebesar 51,95 juta ton. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Gapki Mukti Sardjono mengatakan, produksi minyak sawit bulan Oktober 2021 mencapai 4,04 juta ton. Angka ini lebih rendah dari pencapaian bulan September 2021 sebesar 4,17 juta ton.
Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia sebesar 6,5 juta ton per tahun tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia. Data Food Agriculture Organization (FAO) mengungkapkan bahwa pada tahun 2009, populasi penduduk dunia diperkirakan mencapai 6,8 miliar jiwa dengan tingkat penyediaan ikan untuk konsumsi sebesar 17,2 kg/kapita/tahun. Pada tahun yang sama, tingkat penyediaan ikan untuk konsumsi Indonesia jauh melebihi angka masyarakat dunia, yaitu sebesar 30kg/kapita/tahun (KKP,2009).
Dari SDA yang tidak dapat diperbaharui, Indonesia mempunyai cadangan batubara yang sangat besar. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengemukakan cadangan batubara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batubara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru. Lebih lanjut Ridwan menuturkan, Kalimantan menyimpan 62,1% dari total potensi cadangan dan sumber daya batubara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84 miliar ton. Selanjutnya, wilayah punya potensi tinggi adalah Sumatera dengan 55,08 miliar ton (sumber daya) dan 12,96 miliar ton (cadangan). “Mau tidak mau masih menjadi andalan Indonesia dalam penyediaan energi dengan harga terjangkau.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Geologi per Desember 2018, potensi sumber daya tembaga mencapai 12.468,35 bijih juta ton, sementara besi sebesar 12.079,45 bijih juta ton, emas primer 11.402,33 bijih juta ton, nikel 9.311,06 bijih juta ton, perak 6.433,01 bijih juta ton, bauksit 3.301,33 bijih juta ton, timah 3.878,29 bijih juta ton, dan emas alluvial 1.619,84 bijih juta ton.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menyadari akan kertertinggalannya di potensi SDM yang dimiliki Indonesia, Presiden Joko Widodo mengubah kebijakan ekonominya dengan kebijakan transformasi ekonominya. Dalam pidato sambutan dan pengarahan kepada peserta Rapim TNI- Polri, 01 Maret 2022 lalu, Presiden menyebut bahwa transformasi ekonomi diartikan sebagai proses pertumbuhan ekonomi yang berasal dari kegiatan produksi melalui hilirisasi atau industrialisasi produk-produk barang yang berasal dari bahan mentah sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah di Indonesia. Menurut Jokowi, selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak mengandalkan dari konsumsi masyarakat Indonesia yang jumlahnya telah mencapai lebih dari 270 juta jiwa. Pertumbuhan ekonomi yang berasal dari konsumsi menguasai 56-58 persen akan ditranformasikan menjadi produksi melalui hilirisasi dan industrialisasi.
Sejak zaman Belanda menjajah Indonesia, 400 tahun lalu hingga hari ini, produk-produk SDA dari Indonesia yang melimpah itu banyak dijual dan ekspor keluar negeri dalam bentuk bahan mentah (raw material) karena sumber daya manusia (SDM) Indonesia belum mampu mengolah bahan mentah tersebut menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Produk SDA Indonesia yang pernah dijual dan diekspor keluar negeri dalam bentuk bahan mentah adalah minyak bumi, hasil tambang mineral (batubara, nikel,tembaga, emas, bauksit, pasir kwarsa), komoditas hasil hutan, hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil perikanan laut dan seterusnya. Pada saat pasca kemerdekaan,- di era orde baru tahun 1970-1990,- booming minyak bumi dan hasil hutan kayu sebagai penggerak roda pembanguan yang menghasilkan devisa nomor satu dan dua saat itu; produk kedua SDA Indonesia tersebut dijual dan ekspor keluar negeri dalam bentuk bahan mentah, berupa minyak mentah (crude oil) dan kayu gelondongan (log).
Padahal, dalam proses bahan mentah menjadi bahan setengah jadi apalagi bahan jadi dari perspektif ekonomi; negara mendapat pemasukkan nila tambah (added value) dari produk barang setengah jadi maupun barang jadi. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 mendefinisikan nilai tambah merupakan bagian dari produksi itu sendiri dengan nilai selisih antara biaya produksi (output) maupun input. Pengeluaran biaya yang ada menghasilkan nilai tambah dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya baik wujud barang maupun jasa. Jokowi mendiskripsikan bahwa nilai tambah artinya indusrialisasi yang membangun pabrik-pabrik pengolahan bahan setengah jadi ataupun bahan jadi yang pada gilirannya pabrik-pabrik tersebut akan membuka lapangan pekerjaan baru di dalam negeri. Dari segi pemasukkan pendapatan negara, produk-produk pabrik olahan bahan mentah tersebut akan membayar pajak juga di Indonesia (PPN, PNBP, pajak bea keluar (ekspor) dan sebagainya).
Oleh karena itu di era pemerintah Jokowi, tahun 2020 ekspor bahan mentah nikel dihentikan/disetop, disusul bauksit (2022) dan tembaga (2023). Bauksit dapat diolah menjadi aluminia, sedangkan tembaga dicampur dengan nikel dapat dibuat lithium baterei dan sodium ion. Presiden Jokowi, dalam pengukuhan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) periode 2023-2028 di Jakarta, Senin (31/7/2023), menyebut bahwa hilirisasi tidak terbatas pada jenis tambang nikel saja. Hilirisasi tambang akan dilanjutkan kehilirisasi tembaga, bauksit, dan timah. Menurut Presiden, hilirisasi nikel meningkatkan nilai tambah ekspor dan meningkatkan lapangan kerja berlipat kali.
Masalahnya adalah ekspansi tambang secara besar-besaran khususnya nikel dikhawatirkan akan memicu laju deforestasi baru di tengah upaya pemerintah menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dan menurunkan emisi karbon melalui program FOLU Net Sink 2030. Celakanya lagi, ekspansi tambang dalam kawasan hutan hingga saat ini masih diizinkan tidak hanya dilakukan di dalam kawasan hutan produksi saja, tetapi juga dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Dalam undang-undang (UU) No. 26/ 2007 tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Bersama-sama dengan kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung masuk dalam lima kriteria kawasan lindung yang dimaksud dalam UU penataan ruang tersebut. Hutan lindung bersama dengan kawasan bergambut dan kawasan resapan air; masuk dalam kawasan lindung dengan kriteria kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya.
Oleh karena itu, konsep pembangunan hijau sebagai satu gagasan ekonomi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan serta kesetaraan sosial masyarakat perlu segera direalisasi di Indonesia. Secara sederhana, ekonomi hijau diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui pembatasan sumber daya alam dan rendah karbon. Sementara pertumbuhan ekonomi hijau atau biasa disebut green growth adalah pertumbuhan ekonomi yang tangguh dengan tidak mengesampingkan permasalahan lingkungan, mengedepankan pembangunan rendah karbon serta inklusif secara sosial.
Pemerintah Indonesia pun telah menyiapkan program green growth sebagai langkah mitigasi menghadapi perubahan iklim. Langkah ini meliputi bauran kebijakan, baik secara substansi, kelembagaan maupun pembiayaan. Salah satu bentuk dari langkah tersebut adalah tersubstitusikannya aspek perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Adapun upaya yang ada di dalamnya, meliputi peningkatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon. Melalui pertumbuhan ekonomi hijau, diharapkan sektor industri dapat terintegrasi untuk mewujudkan penggunaan sumber daya alam secara bertanggung jawab, mencegah dan mengurangi polusi serta menciptakan peluang peningkatan kesejahteraan sosial dengan membangun ekonomi hijau. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan makin dapat diwujudkan berdasarkan pada pemahaman bahwa konflik antara ekonomi dan lingkungan dapat terekonsiliasi dengan baik.
Kita berharap debat keempat Pilpres 2024 yang diikuti Cawapres 14 Januari 2024 nanti diantaranya adalah fokus berdebat pada cara-cara peningkatan dan pengelolaan SDA Indonesia kedepan yang efisien secara lebih kongkret dengan aspek lingkungan hidup untuk mempertahankan dan menunjang kelestariannya (sustainability). Semoga. ***