Perjanjian kerja sama Indonesia-Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang telah berjalan lebih dari 10 tahun, akhirnya ambruk. Sikap Norwegia yang mengulur-ulur kewajiban pembayaran 56 juta dolar AS telah melukai Indonesia dan merusak kepercayaan. Tindakan Norwegia itu makin memperburuk citra negara atau lembaga donor asing di mata rakyat negeri ini bahwa mereka tak ingin membantu, tapi hanya ingin mendikte Indonesia.
Indonesia akhirnya mengambil keputusan tegas yang akan mempermalukan Norwegia di kancah internasional. Setelah upaya keras selama 10 tahun lebih mengekang diri memanfaatkan sumberdaya hutannya, pemerintah Presiden Jokowi hilang kepercayaan terhadap ketulusan Norwegia menjalankan kesepakatan kerja sama dalam bentuk Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) untuk mengurangi emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Indonesia tidak bisa lagi menerima sikap Norwegia yang terus mengulur-ngulur kewajiban pembayaran atas capaian Indonesia (result-based payment/RBP) mengurangi emisi sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada 2016/2017, yang tekah diversifikasi lembaga internasional.
“Keputusan Pemerintah RI tersebut diambil melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran RBP,” demikian pengumuman resmi Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri, Jumat (10/9/2021).
Buat guru besar Fakultas Kehutanan IPB University, Prof. Yanto Santosa, sikap dan perilaku Norwegia menahan penyaluran RBP sudah bisa ditebak. Mereka selalu membuat persyaratan yang sulit dipenuhi, yang sebetulnya bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap Indonesia. Kalaupun ada penyaluran dana, itu juga tidak diberikan ke pemerintah, tapi ke pihak ketiga. “Jadi, ini masalah trust. Akhirnya, kita didikte,” tegas Yanto saat dihubungi, Sabtu (18/9/2021).
Menurut dia, Indonesia kehilangan banyak kesempatan untuk mengembangkan investasi — yang potensial menghasilkan devisa — akibat moratorium hutan. “Kita banyak buang waktu, berapa triliun devisa negara tidak masuk karena tidak ada investasi baru. Sementara kita berbangga hati bekerja sama dengan negara lain. Padahal, sesungguhnya kedaulatan kita sedang diperkosa,” sergahnya.
Itu sebabnya, dia mendukung keputusan pemerintah memutus kerja sama dengan Norwegia. Dengan demikian, negeri ini bisa lebih berdaulat dalam mengelola hutan. “Biarkan investasi masuk, sektor ekonomi bergerak,” katanya. Apalagi, katanya, Indonesia sampai saat ini memiliki tutupan hutan yang luasnya jauh di atas ketentuan undang-undang. Indonesia juga masih berada di 10 negara dengan tutupan hutan terbaik seluruh dunia.
Yang jelas, Indonesia sudah tidak mau lagi merengek meminta pencairan dari Norwegia. “Ini persoalan harga diri,” kata seorang pejabat senior Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia menilai keputusan pemerintah akan jadi bom waktu buat Norwegia. Selain negeri Nordik itu sedang persiapan pemilu di dalam negeri, acara perhelatan besar iklim tahunan PBB, COP-26, juga akan digelar di Glasgow, Skotlandia. AI