Pasal 1, Ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 pasca Amandemen menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Ini berarti, semua kegiatan kehidupan manusia Indonesia harus mengikuti aturan hukum, dari Undang Undang turunan UUD 1945, hingga Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota dan seterusnya.
Ada satu sektor yang amat penting guna membawa Indonesia menjadi Negara maju pada tahun 2045, yaitu sektor penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang melaju sangat pesat, lebih cepat daripada regulasi-regulasi yang mengaturnya.
Perlu langkah langkah pendekatan kepada para pembuat regulasi agar peraturan-peraturan untuk mendukung pengembang iptek di tanah air bisa terakomodasikan.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu 22 Mei 2024.
Berbicara dalam diskusi yang mengambil topik “Regulasi Bagi Pengembangan Iptek dan Inovasi” adalah Soekotjo Soeparto SH, LLM, Dewan Pengawas CTIS, yang juga Komisioner Komisi Judicial 2005 – 2010 dan Dr. Ashwin Sasongko, Ketua Komite Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK) CTIS, yang juga mantan Dirjen di Kementerian Kominfo.
Ashwin membuka diskusi dengan menyatakan bahwa sesuai UUD 1945 Pasal 3, Ayat 1, Indonesia adalah Negara Hukum, maka semua kegiatan rakyat Indonesia harus mengikuti aturan hukum yang berlaku.
Muncul permasalahan berkaitan dengan kegiatan pengembangan iptek untuk menghasilkan beragam hasil riset dan teknologi yang siap diterapkan, namun terkendala belum siapnya regulasi saat hasil iptek tadi akan masuk ke industri.
Padahal ini sangat penting guna mendukung program pemerintah tentang peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) atau local content.
Ashwin memaparkan bahwa tahapan riset dan kajian iptek dimulai dengan rancang-bangun dan pembuatan produk purwa-rupa (prototype) sekala laboratorium. Setelah berhasil dengan produk purwa rupa sekala laboratorium, maka kegiatan ditingkatkan ke pembuatan produk purwa rupa sekala produksi, lalu dibuat produk purwa rupa sekala komersial, untuk kemudian masuk ke produk industri.
Mengingat beragam regulasi untuk melindungi pengembangan produk iptek tadi, dari skala laboratorium hingga produk sekala industri, belum tersedia maka beragam produk iptek skala laboratorium tadi belum bisa diproduksi secara komersial, padahal kemampuan rekayasanya sudah dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia sendiri.
Soekotjo Soeparto mencontohkan betapa rumitnya penyusunan adiminstrasi pertanggung-jawaban pelaksanaan kegiatan riset dan rekayasa iptek untuk menghasilkan purwa rupa sekala laboratorium. Para ilmuwan, periset dan perekayasa yang berkecimpung di tahapan ini terkadang menghabiskan banyak waktu hanya untuk urusan pertanggung-jawaban, terutama kerepotan mengumpulkan dokumen-dokumen bukti penggunaan anggarannya, sehingga kegiatan riset dan inovasinya menjadi terabaikan.
Ia menyarankan agar regulasi untuk tahapan ini seyogyanya lebih disederhanakan sehingga konsentrasi para ahli tidak terganggu hanya untuk urusan administrasi semata.
Beberapa purwa rupa sekala laboratorium yang layak untuk ditingkatkan menjadi sekala produksi perlu didukung oleh regulasi Pemerintah, seperti penerapan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang mewajibkan BUMN untuk mendukung kegiatan riset dan inovasi, serta dukungan pendanaan melalui Program Ris-Pro Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Ada pula Peraturan Menteri keuangan tentang pengurangan pajak hingga 300% bagi Perusahaan yang melaksankan riset dan inovasi. Berbagai regulasi ini perlu dibuat sesederhana mungkin agar kegiatan riset dan inovasi menjadi lebih bergairah.
Pemerintah juga perlu memperkuat lembaga Paten dan Hak Cipta, serta lembaga standarisasi industri agar semua temuan, komponen dan bahan baku yang dipakai sudah sesuai dengan Standard Nasional Indonesia (SNI), serta sudah memiliki Patent dan Hak Cipta yang siap masuk industri.
Pada tahapan skala komersial maka semua produk karya anak bangsa yang sudah siap menerobos pasar, bisa dimasukkan kedalam e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Dengan demikian, semua Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota dan BUMN wajib membeli barang kebutuhan mereka melalui e-katalog LKPP, tanpa harus menggelar tender dan dapat menghemat biaya anggaran belanja hingga 20%, di samping sasaran TKDN tercapai serta banyak lapangan kerja yang terbuka.
Ashwin mencontohkan beragam produk para ahli Indonesia yang siap masuk pasar lewat regulasi yang ramah kepada TKDN, seperti smart-card, beragam produk avionik hingga torpedo kapal selam SUT, juga produk produk untuk mendukung program swasembada pangan, seperti benih padi unggul, benih hortikultura unggul, benih ikan nila unggul, benih udang unggul, juga pupuk cair dari rumput laut dan masih banyak lagi. Serta produk produk untuk mendukung kemandirian energi. Kesemuanya itu adalah produk produk hasil para ahli Indonesia sendiri dan, bila diterapkan, akan memutar roda ekonomi didalam negeri secara lebih cepat, tanpa harus mengandalkan produk-produk impor.
Soekotjo menyarankan pula agar para ilmuwan dan perekayasa harus lebih rajin mensosialisasikan hasil-hasil riset dan inovasi mereka kepada para pembuat regulasi sehingga ada pemahaman yang lebih komprehensip, mengingat ilmu pengetahuan dan teknologi masih dinilai sebagai sektor yang elitis dan kurang dikenal oleh masyarakat. ***