Penggunaan pestisida di seluruh dunia melonjak 80% sejak tahun 1990, dan pasar pestisida dunia bakal menembus angka 130 miliar dolar AS (sekitar Rp1.950 triliun dengan kurs Rp15.000/dolar AS) tahun depan.
Namun, setiap tahunnya, pestisida juga dituding sebagai penyebab kematian 11.000 orang dan meracuni 385 juta orang di seluruh dunia, demikian data terbaru dari laporan Atlas Pestisida 2022 (Pesticide Atlas).
Penggunaan pestisida telah menghantam keanekaragaman hayati (biodiversitas), merontokkan sekitar 30% populasi burung dan kupu-kupu sejak tahun 1990. Nyaris 1 dari 10 lebah Eropa kini terancam musnah akibat masifnya penggunan formulasi kimia beracun di herbisida, pestisida dan pupuk.
Clara Bourgin, juru kampanye Friends of the Earth Eropa — salah satu kelompok LSM yang mengumpulkan atlas pestisida — mengatakan: “Bukti yang ada mengejutkan; sistem pangan saat ini yang didasarkan pada penggunaan bahan kimia beracun tersebut secara besar-besaran membuat kecewa petani dan konsumen serta ambruknya pemberian makan biodiversitas. Uni Eropa (UE) harus berhenti menutup mata terhadap perdagangan racun agribisnis yang meningkat ini dan mendengarkan suara masyarakatnya.”
UE sudah lama terpecah antara upaya mengimbangi pengurangan kerusakan yang disebabkan pestisida dengan tuntutan dari kelompok lobi pertanian agar terus menggunakan pestisida.
Pekan lalu, sebuah komite UE gagal menyepakati perpanjangan 1 tahun untuk penggunaan glifosat, kandungan penting dalam herbisida populer buatan Bayer: Roundup. Otorisasi saat ini untuk produk kontroversi tersebut akan berakhir pertengahan Desember 2022.
Seorang jubir Komisi Eropa mengatakan, saat ini pihaknya akan membawa kasus ini ke komite banding UE “secepat mungkin”. “Kami harus mematuhi kewajiban hukum kami, yakni memperpanjang persetujuan dan itulah yang kami lakukan,” ujarnya, seraya menolak berkomentar apa yang akan terjadi apabila upaya banding itu ditolak.
UE sudah melonggarkan banyak aturan pertanian ramah lingkungannya, di mana awal tahun 2022 mereka berdalih bahwa ketahanan pangan harus didahulukan saat perang Ukraina memanas.
Kini, beberapa negara UE telah menetapkan pandangan mereka untuk menilai kembali janji pemangkasan separuhnya penggunaan pestisida dan risikonya pada tahun 2030 dari strategi andalan benua biru ini: Farm to Fork.
Kepala kebijakan BirdLife Eropa, Ariel Brunner mengatakan, “lobi pertanian secara sinis mengeksploitasi agresi Rusia di Ukraina guna terus mencoba dan mempertahankan kita di jalan menuju keruntuhan ekologi. Komisi Eropa harus terus membunyikan sirine, membela Green Deal-nya dan mendorong terjadinya perubahan besar dalam kebutuhan pertanian untuk bertahan dari krisis ekologi dan iklim yang semakin parah.”
Sebanyak 25% pestisida yang ada di dunia dijual di UE, yang juga tercatat sebagai eksportir ternama produk perlindungan tanaman tersebut. Namun, UU di UE saat ini membolehkan diekspornya pembunuh gulma beracun tersebut — yang telah dilarang penggunaannya di Eropa — ke negara-negara berkembang yang punya aturan lebih lemah.
Pada tahun 2018, perusahaan-perusahaan agrokimia Eropa berniat mengekspor 81.000 ton pestisida yang dilarang di lahan mereka sendiri, kata Atlas. Pada tahun yang sama, lebih dari 40% dari semua pestisida yang digunakan di Mali dan Kenya diketahui sangat berbahaya, sementara 65% dari semua pestisida yang ada digunakan di empat negara bagian Nigeria.
Komisi Eropa berjanji untuk mengakhiri ekspor pestisida beracun tersebut sebagai bagian dari Green Deal 2020, tapi usulan legislatifnya ternyata tidak ada dalam program kerja 2023 komisi tersebut yang bocor ke pers dan dilihat oleh Guardian.
Dalam cuitannya yang marah di Twitter kepada komisioner lingkungan UE, Michèle Rivasi, anggota Parlemen Eropa dari kubu Hijau mengecam ekspor pestisida itu sebagai “bom lingkungan dan pelanggaran terhadap HAM.”
Dari 385 juta kasus keracunan pestisida yang tercatat di Atlas, sebanyak 225 juta kasus terdapat di asia dan lebih dari 100 juta kasus di Afrika. Sementara di daratan Eropa sendiri hanya 1,6 juta kasus.
“Saya marah dan sangat kecewa karena komisi telah berkomitmen mengusulkan teks yang akan menghentikan ekspor pestisida yang dilarang itu,” ujar Rivasi kepada Guardian, Selasa (18/10).
Opini legal Center for International Environmental Law, yang dipublikasikan bulan lalu, menemukan bahwa ekspor pestisida-pestisida terlarang itu oleh UE ke Afrika dan Amerika Tengah telah melanggar kewajiban hukum internasional UE dan aturan HAM. AI