Penyusutan lahan pertanian di Jawa Timur (Jatim) terus terjadi. Di sisi lain, pemerintah setempat mengembangkan teknologi pangan untuk meningkatkan hasil panen demi terciptanya kedaulatan pangan
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengakui penyusutan lahan petanian dari tahun ke tahun terus terjadi. “Setiap tahun, sekitar 1.900 hektare (ha) lahan pertanian menyusut,” katanya.
Menurut dia, penyusutan tersebut tersebar di seluruh kabupaten/kota di Jatim. Berdasarkan fakta ini, Khofifah berpendapat, menjadi penting bagi para bupati/walikota menyisir kembali Perda-Perda yang ada di wilayahnya.
Khofifah juga berharap para kepala daerah di Jatim, menyisir kembali staf atau bagian pemberiam izin IMB. “Kalau itu lahan produktif, maka jangan dikonversikan di dalam peruntukan yang lain. Saya berharap ini bisa kita lakukan bersama sembari kita terus akan meningkatkan intervensi teknologi pangan kita,” ujar Khofifah.
Gubernur perempuan pertama di Jatim itu menegaskan, upaya peningkatan teknologi pangan tidak sekadar untuk pertanian semata. Tapi juga untuk perikanan dan peternakan. Selain itu, dia juga mendorong peningkatan teknologi industri olahan pangan.
Ini memang sangat kuat sekali karena di industri 4.0 maka tertinggi pertumbuhan itu disupport oleh industri makanan dan minuman. “Di Indonesia, industri makanan dan minuman Jatim tertinggi pertumbuhannya dari provinsi lain,” ujar Khofifah di Surabaya, Selasa (19/11/2019).
Alih fungsi lahan pertanian selama ini memang sulit dihindari. Berbagai regulasi seperti Undang-undang, Keputusan Menteri dan aturan lain telah diterbitkan, namun konversi lahan tetap saja terjadi.
“Sekarang ini yang dibutuhkan adalah konsistensi dan komitmen para pemangku kepentingan, terutama Pemerintah Daerah untuk menerapkan dengan baik dan benar (law enforcement) tentang aturan tersebut,” kata Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy
Dia menyebutkan, selama ini sudah ada UU No.41/2009 tentang Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, berserta Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Selain itu ada PP No. 12/2012 tentang Insentif, PP No. 21/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Berkelanjutan dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang berserta PP-nya.
“Aturan untuk menahan laju konversi lahan pertanian sudah ada, tinggal dijalankan dengan baik dan benar,” katanya. Kehadiran Perpres 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah diharapkan dapat menekan laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian.
Alasannya, dalam Perpres ini pemerintah pusat memberikan insentif kepada petani yang lahannya ditetapkan sebagai sawah abadi atau masuk dalam peta lahan sawah dilindungi (PLSD).
Sarwo Edhy mengatakan, luas alih fungsi lahan pangan — khususnya sawah — menjadi nonsawah semakin meningkat pesat. Dari tahun ke tahun kondisi lahan meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri dan perumahan.
“Konversi lahan ini berpotensi dapat mempengaruhi produksi padi nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional,” katanya kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Menurut dia, pengendalian alih fungsi lahan sawah merupakan salah satu strategi peningkatan produksi padi dalam negeri, sehingga perlu dilakukan percepatan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dan pengendalian alih fungsi lahan sawah sebagai program strategis nasional.
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2019 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 6 September 2019 dan diundangkan pada 12 September 2019 menjadi payung hukum pengendalian alih fungsi lahan sawah.
Kehadiran Perpers ini menegaskan pentingnya perlindungan lahan pertanian di daerah sebagai lahan abadi yang tidak boleh dilakukan alih fungsi apapun.
Diharapkan, berbagai perlindungan untuk mempertahankan lahan juga dilakukan oleh daerah yang peduli mengenai isu alih fungsi lahan tersebut dengan Peraturan Daerah setingkat Bupati.
Pemerintah Daerah (Pemda) harus memiliki komitmen yang sama untuk mempertahankan lahan sawahnya. Salah satu contoh Pemda Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
Dia menyebutkan Perpres ini merupakan hasil kerja tim terpadu dari Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR, Kementan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian LHK dan kementerian terkait lainnya.
Sarwo Edhy mengatakan peran strategis Kementan melalui Ditjen PSP dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah mengawal verifikasi serta sinkronisasi lahan sawah dan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi.
Selain itu Kementan juga terlibat dalam mengawal pengintegrasian lahan sawah yang dilindungi untuk ditetapkan menjadi LP2B (Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan) didalam Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga UU 41/2009 dan Peraturan turunannya dapat dilaksanakan lebih optimal.
Selain itu, keberpihakan Pemerintah Daerah dalam melindungi lahan sawah dan menetapkannya menjadi LP2B sangat dibutuhkan dan merupakan kunci dalam jaminan penyediaan lahan melalui perlindungan lahan.
Ditjen PSP, telah mengoptimalkan program LP2B di 16 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. PSP