Di tengah masih tingginya kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri, usaha peternakan sapi potong justru semakin terpuruk. Hal ini terlihat dari utilisasi kandang yang mengalami penurunan tajam.
Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong (Gapuspindo), Joni P. Liano mengatakan utilisasi kandang anggota Gapuspindo saat ini maksimal hanya 50% dari kapasitas kandang.
“Kondisi ini merupakan suatu penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang tingkat utilisasi kandangnya masih bisa mencapai angka 70 persen,” ujarnya kepada Agro Indonesia, Kamis (20/11/2019).
Menurut Joni, penurunan utilisasi kandang itu disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kondisi ekonomi dalam negeri hingga regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait importasi daging sapi dan daging kerbau ke dalam negeri.
“Memang penurunan kinerja usaha itu antara lain dipacu oleh daya beli masyarakat yang lemah sehingga konsumsi daging tidak mengalami lonjakan. Namun, regulasi yang diterapkan pemerintah menjadi sangat krusial sehingga usaha penggemukan sapi melorot,” ujarnya.
Adapun regulasi yang menjadi penyebab utama keterpurukan usaha peternakan sapi potong itu adalah Peraturan Menteri Pertanian mengenai kewajiban mengimpor sapi indukan sebagai syarat mendapatkan izin impor sapi bakalan.
Joni menjelaskan, kewajiban untuk mengimpor sapi indukan itu sangat memberatkan pelaku usaha peternakan sapi potong di dalam negeri yang selama ini hanya terfokus pada usaha penggemukan sapi saja.
“Kami ini hanya pengalaman di usaha penggemukan sapi saja bukan di pembiakan sehingga kewajiban untuk memasukkan sapi potong dalam kegiatan impor sapi bakalan telah memberatkan pelaku usaha penggemukan sapi,” ucapnya.
Regulasi mengenai kewajiban impor sapi indukan muncul lewat Peraturan Menteri Pertanian No.2/Permentan/PK.440/2/2017 tentang impor atau pemasukan ternak ruminansia besar ke wilayah Indonesia. Aturan ini mewajibkan setiap pengusaha penggemukan yang ingin mengimpor sapi bakalan harus menerapkan rasio perbandingan 5:1. Artinya, setiap impor 5 sapi bakalan, wajib impor 1 sapi indukan.
Setelah diberlakukan selama dua tahun dan adanya protes dari berbagai pihak, akhirnya regulasi itu direvisi lagi melalui Peraturan Menteri pertanian Nomor 41 Tahun 2019 tentang pemasukan ternak ruminansia besar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pada pasal 8 ayat 1 dari peraturan yang diluncurkan 31 Juli 2019 itu, Pelaku Usaha Peternakan, Koperasi Peternak, dan Kelompok Peternak yang melakukan Pemasukan Bakalan wajib memasukkan Indukan sebanyak 5% dari setiap Rekomendasi. Kemudian di ayat 2, disebutkan bahwa indukan sebanyak 5% sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib dikembangbiakkan.
Sedangkan pada ayat 3, kewajiban memasukkan Indukan sebanyak 5% sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan secara bertahap selama masa berlaku Rekomendasi.
Tuntut penghapusan
Walaupun kewajiban impor sapi indukan sudah dilonggarkan, pelaku usaha penggemukan sapi di dalam negeri tetap tidak puas. Mereka tetap menuntut penghapusan kewajiban impor sapi indukan itu.
“Kami akan minta pemerintah mencabut aturan itu karena menimbulkan biaya tinggi,” tegas Joni Liano.
Dia menjelaskan, akibat utilisasi kandang yang berada di bawah 50%, maka efisiensi tidak terjadi pada usaha penggemukan sapi di Indonesia. Jika efisiensi tidak ada, maka biaya produksi yang harus ditanggung pengusaha menjadi membengkak.
“Dengan membengkaknya biaya produksi, maka daya saing usaha ini menjadi lemah dan mudah dilibas oleh pihak asing,” ucapnya.
Joni juga menilai penetapan angka 5% importasi sapi indukan tidak sesuai dengan kajian akademik. Sebelumnya, pihak pengusaha telah meminta dilakukan kajian akademi untuk mencari porsi yang cocok bagi importasi sapi indukan.
Melalui kajian akademi itu, ungkap Joni, didapat angka importasi sapi indukan itu maksimal 3% dari total impor sapi bakalan. “Ternyata, hasil kajian akademi itu tidak dipakai pemerintah dalam membuat aturan tersebut,” paparnya.
Kini kalangan pelaku penggemukan sapi berharap banyak dengan jargon pemerintah baru Indonesia yang akan memangkas regulasi-regulasi yang menghambat kegiatan investasi di Indonesia.
“Kami berharap pemerintah yang baru ini akan memangkas regulasi-regulasi yang menghambat itu,” kata Joni.
Importasi daging dan hewan sapi memang tidak terelakkan lagi bagi Indonesia karena produksi daging di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan akan komoditas berprotein tinggi itu.
Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS), proyeksi kebutuhan daging sapi nasional pada 2019 sebesar 2,56 kg/kapita/tahun. Artinya, total kebutuhan daging sapi pada 2019 sekitar 686.270 ton. Proyeksi produksi daging sapi dalam negeri pada tahun ini adalah 429.412 ton. Jadi, ada defisit 256.858 ton yang hendak diimpor.
Kajian BPS itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dengan menetapkan alokasi impor daging kerbau sebanyak 100.000 ton, impor daging sapi 92.000 ton dan impor sapi bakalan 500.000 ekor.
Angka impor ini jauh lebih besar dibandingkan periode tahun-tahun sebelumnya. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementan mencatat, antara 2017 sampai 2018 total sapi bakalan yang masuk ke Tanah Air mencapai 776.976 ekor. Rinciannya, 473.025 ekor pada 2017 dan 353.790 ekor pada 2018.
Gagal
Untuk menekan harga daging di dalam negeri, pemerintah juga telah memberikan alokasi impor daging kerbau kepada Perum Bulog. di tahun 2018 lalu, alokasi impor daging kerbau yang berasal dari India mencapai 100.000 ton. Namun Perum Bulog hanya mampu merealisasikan aloasi impor itu sekitar 80.000 ton saja.
Di tahun 2019, alokasi impor daging kerbau yang diberikan pemerintah kepada Perum Bulog juga mencapai 100.000 ton. Pada semester I tahun 2019, BUMN di sektor pangan ini hanya mengimpor 20.000 ton daging kerbau saja dan di semester II akan memasukkan sebanyak 30.000 ton daging kerbau dari India.
Terkait importasi daging kerbau ini, Joni Liano menilai tujuan dari importasi daging kerbau itu telah mengalami kegagalan.
Tujuan dibukanya impor daging kerbau adalah untuk mendorong masyarakat mendapatkan pangan berprotein tinggi berupa daging dengan harga yang lebih murah. “Namun kenyataannya, segmentasi pasar tidak terjadi,” ujarnya.
Menurut Joni, yang saat ini kemungkinan yang terjadi adalah dioplosnya daging kerbau dengan daging sapi oleh oknum tertentu, sehingga merugikan peternak sapi lokal dan masyarakat konsumen. Daging kerbau yang sesuai hanya dapat dibeli di pasar modern atau supermarket saja.
“Dengan adanya aksi itu, tentu saja peternak sapi rakyat menjadi rugi. Padahal, sekitar 64% pasokan daging sapi berasal dari peternak sapi lokal,” tuturnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan importasi daging kerbau itu agar tidak merugikan peternak lokal yang seharusnya didorong untuk terus maju. “Jangan sampai kebijakan itu justru hanya menguntungkan peternak kerbau dari India saja,” ucapnya. B Wibowo
Segera Berbenah atau Tambah Parah
Kebijakan pemerintah di sektor peternakan sulit dipegang dan kerap berubah-ubah, sehingga membuat bisnis tidak kondusif. Bahkan, perubahan kebijakan pun tidak berbasis hasil riset atau punya kajian akademik. “Ini yang membuat bisnis jadi tidak kondusif sehingga orang menjadi ragu,” ujar Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf di Jakarta, Sabtu (23/11/2019).
Permentan No.41 tahun 2019, misalnya. Menurut dia, sudah ada kajian dari Universitas Padjadjaran (Unpad) yang menyatakan persentase berdasarkan kapasitas kandang. “Tapi pemerintah tetap saja melihat dari sisi volume. Lah, dasarnya apa gunakan volume? Tidak ada kan. Jadi, cuma kira-kira saja,” tegasnya.
Permentan itu juga hanya salah satu dari sejumlah kebijakan pemerintah yang kontraproduktif. “Coba Anda lihat di UU kita, penggemukan itu harus 4 bulan. Padahal, penggemukan bisa 2 bulan. Belum lagi impor bakalan maksimum rata-rata 450 kg berat hidup, padahal kitya beli bakalan di berat 350 kg sudah oke,” papar Rochadi.
Masalah lain adalah kebijakan harga daging, di mana pemerintah mematok harga haris Rp80.000/kg. Pemerintah dinilai aneh karena ingin menentukan harga. “Kan harusnya soal harga yang menentukan hukum supply and demand.”
Yang lebih parah adalah soal impor daging kerbau India. “Ini ngaco semua. Masa membandingkan harga daging sapi dengan kerbau. Harga daging kerbau India mengintervensi harga daging sapi. Ya, biaya produksi jadi kacau semua, dan ini jelas tidak menguntungkan,” tandas Rochadi.
Jadi, banyak kebijakan yang kontraproduktif, di mana menurut hasil investarisasi yang dilakukannya ada 7 kebijakan yang kontraproduktif terhadap pengembangan industri ini.
Menurutnya, deindustrialisasi sudah terjadi di bisnis sapi potong. Bahkan, menurutnya, ada sejumlah perusahaan pembibitan sapi milik orang Indonesia di Australia yang tutup dan dibeli investor China. “Di dalam negeri 14 perusahaan juga mati. Nah, apa kita tidak bisa menyebutnya deindustrialisasi? Bahkan, yang bertahan sekarang ini kan cuma ‘manjangin usus’ doang dan jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah ini bakal makin tambah parah,” tegas Rochadi. AI