Kearifan lokal bisa menyediakan solusi dalam pengelolaan hutan lestari sehingga berperan penting dalam pelaksanaan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dan berkontribusi pada aksi pengendalian perubahan iklim global.
Ketua The Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, inisiatif Indonesia untuk melaksanakan agenda FOLU Net Sink perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi dimana tingkat penyerapan gas rumah kaca (GRK) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) lebih tinggi atau setidaknya seimbang dibandingkan emisinya pada tahun 2030.
Persetujuan perhutanan sosial termasuk hutan adat menjadi salah satu pilar untuk mencapai target FOLU Net Sink yaitu tingkat emisi GRK sebanyak minus 140 juta ton setara karbondioksida (CO2e).
“Sebuah apresiasi untuk masyarakat adat yang mengelola hutan adat karena mendukung operasional FOLU Net Sink,” kata Yenny saat menjadi pembicara pada sesi panel bertajuk Promoting Local Wisdom in Achieving Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 di Paviliun Indonesia pada COP27 UNFCCC, Sharm El Shiekh, Mesir, Senin 7 November 2022.
Apalagi, lanjut Yenny, praktik-praktik pengelolan hutan adat dan perhutanan sosial lainnya juga memberi manfaat yang luas bagi masyarakat.
Skema perhutanan sosial sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1970-an dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan dan kaum wanita. Perhutanan sosial menjadi salah satu solusi untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan penyelesaian konflik tenurial.
Skema perhutanan sosial kemudian digenjot di era Presiden Joko Widodo dimana pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menargetkan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk dikelola dengan skema perhutanan sosial.
Persetujuan pengelolaan yang diberikan KLHK kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial diantaranya adalah Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat, dan kemitraan.
Khusus untuk hutan adat, berdasarkan Putusan MK No 35 tahun 2021 menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, mengungkapkan sejak tahun 2016 telah ada 105 hutan adat seluas 148.488 hektare dan melibatkan 47.158 kepala keluarga, sementara areal indikatif hutan adat sekitar 1,09 juta hektare.
Bambang mengatakan kearifan lokal masyarakat adat berkontribusi positif pada upaya pengurangan emisi yang sudah tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan Indonesia FOLU Net Sink 2030.
“Masyarakat Adat berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sebanyak 5,2% dari target tingkat emisi FOLU Net Sink yang sebanyak minus 140 juta ton CO2e,” kata Bambang.
Bambang menuturkan praktik kearifan lokal pengelolaan hutan oleh masyarakat adat yang bisa dijadikan pembelajaran misalnya pada Kasepuhan Adat Ciptagelar di Jawa Barat yang mengalokasikan Leuweung Tutupan sebagai area hutan lindung, Leuweung Titipan sebagai area hutan konservasi, dan Leuweung Garapan sebagai area pengelolaan termasuk untuk peningkatan stok karbon.
Praktik lain yang bisa dicontoh adalah kepercayaan yang bernama ‘Passang’ yang diterapkan masyarakat adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang mengajarkan hidup sederhana dan berbagai aspek kehidupan termasuk perlindungan hutan dan sumber daya alam lainnya.
Diskusi di Paviliun Indonesia tersebut juga menghadirkan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Siti Zuhro, peneliti Perkumpulan HuMa Nadya Demadevina, peneliti dari Direktur Eksekutif The Tenure Facility Nonette Royo, dan Tubagus Soleh Ahmadi dari Walhi. ***