Pulau basah perkotaan. Ini bukan nama pulau, tapi itu sebutan para peneliti terhadap kota-kota di dunia yang menerima curah hujan lebih benyak ketimbang wilayah pinggiran sekitarnya.
Dari hasil penelitian, ternyata Miami, Lagos sampai Kuala Lumpur menunjukkan efek pulau basah perkotaan tersebut. Hal itu terjadi karena mereka lebih sering mendapat curah hujan dan mengalami curah hujan ekstrem dibanding daerah sekitarnya. Fenomena ini menambah faktor risiko banjir.
Dari 1.000 lebih kota di seluruh dunia yang dipertimbangkan peneliti, sebanyak 63% menerima curah hujan tahunan lebih banyak dibandingkan daerah pedesaan, demikian hasil analisis data satelit selama 20 tahun yang dimuat di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Senin (10/9). Dalam beberapa kasus, perbedaannya mencapai lebih dari setengah kaki (sekitar 150 mm) per tahun. Banyak kota juga mengalami curah hujan ekstrem yang lebih sering dan dramatis.
Daerah perkotaan sudah rentan terhadap banjir karena berbagai faktor, termasuk permukaan yang kedap air akibat dibangunnya jalur jalan dan tempat parkir, serta sistem drainase yang tidak memadai. Apalagi, perubahan iklim memicu curah hujan yang lebih tinggi — dan studi baru ini menunjukkan bahwa kota-kota berada pada titik rawan bencana.
Menurut Dev Niyogi, guru besar ilmu bumi dan planet Universitas Texas, Austin, yang juga salah satu penulis studi, urbanisasi membentuk cuaca dalam berbagai cara. Salah satu penyebabnya adalah suhu perkotaan cenderung lebih panas dibandingkan wilayah pedesaan. Ini merupakan fenomena yang disebut dengan efek pulau panas perkotaan (urban heat island effect). Ketika udara hangat naik, hal ini menciptakan aliran udara ke atas yang dapat menyebabkan peningkatan pembentukan awan dan curah hujan.
Bentang perkotaan yang tidak rata dengan gedung-gedung tinggi dan infrastruktur yang sulit dapat memperlambat aliran udara lokal atau memperpanjang hujan. Dan udara di atas kota memiliki konsentrasi aerosol yang lebih tinggi, yang berarti terdapat lebih banyak partikel kecil di atmosfer yang mengumpulkan air di sekitarnya menjadi tetesan air hujan dan memicu pembentukan awan.
“Kota-kota bisa membuat badai steroid,” kata Niyogi. “Itulah cara Anda menambah risiko peningkatan banjir.”
Dampak dari apa yang Niyogi dan rekan penulisnya sebut sebagai “pulau basah perkotaan” bisa sangat dramatis. Daerah perkotaan Kota Ho Chi Minh, Vietnam, mengalami rata-rata tambahan curah hujan tahunan sebesar 274 milimeter (mm), dibandingkan daerah pinggiran kota. Guangzhou-Shenzhen, Tiongkok, mendapat tambahan 186 mm, dan Houston bertambah 124 mm.
Para penulis mendefinisikan kota-kota berdasarkan pengamatan satelit terhadap tutupan lahan dan kemudian menetapkan tiga zona konsentris di sekitar masing-masing kota, dengan asumsi bahwa zona terjauh “terletak di luar jangkauan pengaruh kota yang dominan” terhadap curah hujan, tulis mereka.
Sejumlah wilayah perkotaan, termasuk Kyoto dan (yang mengejutkan) Seattle, terbukti menjadi “pulau kering” karena curah hujan di wilayah tersebut lebih sedikit dibandingkan wilayah di sekitarnya. Geografi tampaknya berperan dalam beberapa kasus, seperti kota yang terletak di lembah yang curah hujannya lebih sedikit dibandingkan perbukitan di dekatnya. Para peneliti juga menemukan bahwa curah hujan lebih tinggi di daerah yang melawan arah angin di kota, dibandingkan dengan daerah sekitarnya, dan lebih rendah di daerah pedesaan yang melawan arah angin.
Para ilmuwan telah lama mengetahui tentang pulau panas perkotaan. Ada peningkatan kesadaran akan dampak lain urbanisasi terhadap iklim lokal, dan penelitian baru ini merupakan “langkah maju yang penting” dalam memahami dampaknya terhadap hujan, kata William Solecki, guru besar geografi dan ilmu lingkungan di Hunter College yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Penelitian sebelumnya telah mengeksplorasi bagaimana berbagai lingkungan perkotaan, dari Atlanta hingga Beijing, mempengaruhi curah hujan. Studi baru ini menunjukkan bahwa dampaknya, seperti peningkatan panas di perkotaan, merupakan fenomena global, kata Niyogi.
Para penulis menemukan bahwa intensitas pulau basah perkotaan meningkat seiring berjalannya waktu, dengan disparitas rata-rata curah hujan di wilayah tersebut hampir dua kali lipat antara tahun 2001 dan 2020. Kota-kota besar cenderung merupakan pulau basah, sebuah tanda bahwa pembangunan perkotaan memicu anomali tersebut.
Bahkan ketika kota-kota berkembang, maka memahami kondisi yang akan mereka hadapi di masa depan dapat membantu membentengi kota-kota tersebut dari banjir. Infrastruktur penting dapat dibangun di lantai yang lebih tinggi di gedung-gedung, kata Solecki. Dia juga menyebutkan upaya untuk memprioritaskan permukaan yang permeabel (mudah ditembus air) dan membangun area retensi air, seperti lapangan basket cekung yang terisi air banjir dan melepaskannya secara perlahan.
“Kita berada pada lintasan perubahan dinamis” dalam iklim, kata Solecki. “Informasi apa pun akan sangat berharga dalam membantu para desainer dan perencana.” AI