Beras Modifikasi Genetik Atasi Krisis Pangan

Foto: Antara

Beras hasil rekayasa genetik, dengan tingkat toleransi yang lebih baik terhadap air asin, memungkinkan untuk ditanam di persawahan yang rusak terendam air laut, demikian hasil penelitian baru.

Ini kabar baik karena makin banyak daerah di dunia yang harus berjuang dengan genangan air laut — di mana air asin laut membanjiri daratan dan menghancurkan tanaman — sebagai akibat dari krisis iklim.

Beras merupakan komoditi pangan vital karena dikonsumsi oleh 3,5 miliar penduduk dunia setiap harinya. Namun, padi juga menjadi tanaman paling buruk terpengaruh perubahan iklim, di mana negara produsen seperti Vietnam kini makin sulit menanam akibat naiknya air laut.

Berdasarkan temuan Institute for Sustainable Food, University of Sheffield menunjukkan, tanaman padi hasil modifikasi genetik memiliki jumlah stomata yang berkurang sehingga tanaman pun lebih tahan air asin. Stomata adalah bukan-bukaan kecil di daun yang dipakai tanaman untuk mengurangi penguapan.

Stomata adalah bukaan yang dimiliki sebagian besar tumbuhan untuk mengatur asupan karbon dioksida guna keperluan fotosintesis, selain juga untuk melepas uap air. Beberapa tahun lalu, ilmuwan Sheffield mengungkapkan bahwa mengurangi jumlah dan ukuran stomata pada tanaman padi akan membuat tanaman lebih hemat 60% dalam penggunaan air, sehingga padi varietas ini punya keunggulan besar untuk ditanam di daerah kering.

Menurut Dr Robert Caine, penulis utama studi dari School of Biosciences, University of Sheffield, “Beras adalah tanaman pangan sangat penting yang dikonsumsi oleh lebih dari separuh penduduk dunia setiap harinya. Memastikan padi bisa bertahan hidup di kondisi yang lebih sulit akibat perubahan iklim akan menjadi bagian integral untuk memberi makan penduduk yang terus tumbuh, dengan proyeksi penduduk mencapai 10 miliar jiwa dalam kurun 690 tahun ke depan.”

“Temuan kami mengungkapkan bagaimana beras bisa dimodifikasi seefektif mungkin pada iklim yang berbeda-beda — varietas padi dengan lebih sedikit stomata bisa bertahan dengan air yang sedikit dan di tempat-tempat yang tergenang air asin. Sementara, varietas padi alami dengan stomata yang lebih sedikit tapi ukuran lebih besar, mampu bertahan di lahan-lahan dengan kondisi yang lebih panas,” seperti dimuat di The Independent.

Temuan-temuan itu, bersama dengan hasil terbaru yang dimuat di jurnal New Phytologist, mengandung arti bahwa tanaman padi bisa beradaptasi dan bertahan di lingkungan yang makin keras akibat perubahan iklim. Hal ini akan membantu mengatasi ketahanan pangan di seluruh dunia.

Namun, para peneliti juga menemukan, dengan mengurangi jumlah dan ukuran stomata, tanaman padi jadi lebih sulit untuk tumbuh di daerah dengan suhu panas ekstrem.

Akibatnya, untuk memastikan padi bisa tumbuh seefektif mungkin di negara dan lingkungan yang berbeda-beda, dibutuhkan modifikasi genetik yang berbeda pula. Contohnya, varietas padi dengan stomata yang lebih sedikit tapi ukuran lebih besar, bisa lebih cocok ditanam di suhu yang sangat hangat.

Para peneliti dari University of Sheffield, bekerja sama dengan High Agricultural Technology Research Institute (HATRI) di Vietnam, telah meneliti 72 varietas padi, baik alami maupun hasil modifikasi genetik.

Mereka kini berencana menyelidiki apakah bisa membuat varietas padi kerdil alias kontet, yang memiliki produktivitas tertinggi, dan jauh lebih tahan panas. AI