Prediksi Shehbaz Sharif ternyata tepat. Perdana Menteri Pakistan ini sudah memperingatkan para pemimpin dunia di ajang perundingan iklim COP-27, Mesir pada November 2022. Negara-negara berkembang, katanya, bakal masuk dalam “jebakan utang finansial” jika mereka terpaksa masuk ke pasar untuk menutupi biaya perubahan iklim yang meningkat.
Enam bulan berselang, dengan laju dan suhu yang meningkat, prediksi Sharif terbukti.
Sepanjang tahun 2023 ini, angin topan sudah menyapu Afrika tenggara, banjir membunuh ratusan orang di Rwanda, Kongo dan Uganda, sementara kekeringan parah dalam 40 tahun terakhir memanggang tanaman di Tanduk Afrika. Suhu panas yang mencetak rekor saat ini juga sedang dialami seluruh kawasan Asia Tenggara, Topan Mocha menghantam Bangladesh dan Myanmar sementara sentra pertanian Argentina juga dihajar kekeringan.
Semua kejadian itu kerap melahirkan krisis kemanusiaan. Biayanya juga mahal dan semakin mahal. Menurut laporan Boston University Global Development Policy Center pada April, rata-rata biaya modal (cost of capital) untuk kelompok terpilih dari 58 negara yang rentan terhadap perubahan iklim adalah 10,5%. Bandingkan angka itu dengan imbal hasil soverign bond alias obligasi negara yang hanya 4,3% selama 10 tahun terakhir berdasarkan indeks pasar negara berkembang Bloomberg Barclays.
Ketika suku bunga rendah, banyak yang meminjam kredit. Artinya, ketika bencana datang, mereka yang sudah kerepotan masih harus berjuang membayar utang. Pergerakan dalam biaya pinjaman juga ditransfer ke pelaku usaha kecil, seperti petani, sehingga makin memperburuk masalah buat pemerintah.
Contohnya Thobani Lubisi, petani Afrika Selatan (Afsel). Pada Februari, dia baru saja siap-siap melakukan panen tahunan di Dwaleni Farm — sebuah koperasi di Afsel bagian timur — ketika hujan deras mengguyur tanaman tebunya. Selama dua hari, hujan turun dan menggenangi tanaman tebu dan menjadikan jalan tanah yang dipakai untuk mengirim tebangan tebu ke pabrik terdekat berubah menjadi lumpur. Sementara Sungai Mlumati di dekat kebun tebunya meluap dan menenggelamkan rumah pompa Dwaleni Farm.
Pada minggu-minggu berikutnya, saat perbaikan kerusakan akibat banjir parah yang dialami penduduk setempat, Thobani dan rekan-rekannya harus menghadapi kenyataan baru. Panen yang rusak membuat jebol anggaran rumah tangga dan pekerjaan perbaikan dengan cepat menguras tabungan yang ada. Biasanya, para petani memang tidak mengasuransikan tanamannya. Mereka pun memanfaatkan bank mencari pinjaman. Namun, dengan lonjakan suku bunga global, cicilan bulanan pinjaman pun mencekik leher.
Lubisi, 43, masih mampu bertahan sampai saat ini. Pria yang ayahnya merupakan salah satu petani kulit hitam pertama yang menanam tebu di daerah itu 40 tahun silam, termasuk petani beruntung. Banyak petani lainnya di daerah itu harus menjual kavling kebun mereka. Yang lain terpaksa harus menyewakan ladang karena tak sanggup membayar biaya perbaikan.
“Anda bekerja selama setahun dengan penghasilan nol sama sekali karena tak ada pemasukan,” kata Lubisi, seperti dikutip Bloomberg. “Buat saya, kerusakan seperti ini merupakan kejadian pertama.”
Jebakan Utang Iklim
Kisah Lubisi banyak terjadi di negara berkembang. Menurut perhitungan Munich Re, kerugian global akibat bencana alam pada tahun 2022 mencapai 270 miliar dolar AS (Rp4,05 kuadriliun alias Rp4.050 triliun) dan diperkirakan 55% dari total kerugian itu tidak diasuransikan. Bencana alam yang terkait dengan cuaca sudah dipengaruhi oleh perubahan iklim, dan pengaruh ini kemungkinan besar akan makin kuat seiring dengan kenaikan suhu.
Presiden Dana Internasional PBB untuk Pembangunan Pertanian (IFAD), Alvario Lario mengatakan, dia melihat banyak petani tersingkir dari usaha budidayanya karena cuaca ekstrem. Mulai dari Pantai Gading, Madagaskar, Kenya sampai Indonesia. “Intensitas guncangan ini jelas jauh lebih parah ketimbang 5 atau 10 tahun silam. Inilah faktanya,” ujarnya.
Sekitar 3.500 mil arah timut laut Waleni Farm, kesulitan finansial akibat masalah iklim malah terjadi dalam skala nasional. Maladewa, negara kepulauan dengan 1.200 pulau yang tenggelam dengan cepat ke laut, menghabiskan 30% APBN-nya untuk membuat tembok laut, reklamasi lahan, dan pabrik desalinasi air laut. Utang negara sudah melonjak tajam sejak menerbitkan obligasi senilai 500 juta dolar AS pada awal 2021, dengan imbal hasil obligasi — yang jatuh tempo pada 2026 — saat ini diperdagangkan mendekati 19%.
Guna membiayai kebutuhan adaptasi kawasan pesisirnya, Maladewa perlu dana 8,8 miliar dolar AS (Rp132 triliun). Angka itu 4 kali lipat APBN Maladewa, kata Menteri Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim dan Tekonologi Maladewa, Aminath Shauna. Menurut dia, sudah 64% negara kepulauan itu mengalami erosi akibat naiknya muka laut.
“Sungguh ironi mengerikan bahwa kerentanan iklim membuat kami berisiko, dan karena berisiko, maka kami tidak dapat meminjam uang yang dibutuhkan untuk melindungi kami dari perubahan iklim,” ujar Shauna dalam tanggapan pertanyaan melalui surel. Ketika bencana alam meningkat dan kian sering terjadi, investor pun menaikkan suku bunga kepada negara-negara yang rentan, sehingga menambah beban utang mereka, demikian laporan Boston Unviersity. Premi risiko yang tinggi dapat menjebak negara-negara pengutang ke dalam “lingkaran setan” biaya utang yang lebih tinggi dan menurunkan kemampuan untuk berinvestasi dalam ketahanan iklim, tulis para peneliti, termasuk Luma Ramos dan Rebecca Ray.
Hal itu yang sudah terjadi di pantai tenggara Afrika, yang rusak dihajar rentetan badai dahsyat dalam beberapa tahun terakhir. Inisiatif World Weather Attribution mengaitkan berbagai peristiwa itu dengan perubahan iklim. Keuangan Mozambik memburuk setelah skandal ‘obligasi tuna’ menutup jalan untuk mencari pinjaman dari pasar utang internasional dan Topan Idai menerjang tahun 2019, yang membuat tanaman hancur serta inflasi meroket.
Utang pemerintah dari dalam negeri yang belum terbayar sejak 2019 melonjak 100% menjadi 301 miliar meticais (4,7 miliar dolar AS) dan serangkaian keterlambatan pembayaran utang tahun ini membuat Moody’s Investor Service secara teknis mengklasifikasikan Mozambik sebagai negara gagal bayar alias default kepada pemberi pinjaman lokal.
“Tekanan likuiditas yang muncul dalam konteks pembayaran utang yang luar biasa tinggi serta pengeluaran lebih besar dari perkiraan” diperparah oleh Topan Freddy — badai yang menerjang wilayah tersebut awal 2023 — tulis analis Moody’s dalam sebuah laporan. “Berbagai peristiwa baru-baru ini juga menyoroti efek kredit dari kerentanan Mozambik terhadap guncangan iklim yang makin berulang dan makin parah.”
Undang Swasta
Naiknya frenkuensi bencana alam telah mendorong pemerintah di negara-negara rentan iklim untuk meningkatkan permintaan bantuan kepada negara-negara kaya — yang secara historis adalah penyumbang terbesar emisi karbon dioksida. Kesepakatan terobosan dicapai dalam COP-27, yakni disetujuinya pembentukan fasilitas “kerugian dan kerusakan” untuk membayar negara-negara miskin atas kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Hanya saja, tidak jelas bagaimana dana tersebut akan dibiayai atau disusun, sementara negara-negara kaya secara historis selalu lebih banyak janji ketimbang bukti.
Yang lainnya juga menyerukan langkah-langkah untuk mendorong lebih banyak pendanaan oleh swasta guna adaptasi iklim. Pembiayaan hijau telah berhasil menyalurkan uang ke dalam proyek mitigasi iklim, seperti pembangkit listrik tenaga surya. Namun, mereka enggan untuk mengalokasikan dana untuk membiayai skema adaptasi seperti pembangunan tanggul laut. Pasalnya, pendapatan dari proyek ini di masa depan lebih sulit dihitung.
Menurut perkiraan Lario dari IFAD, dari setiap 10-20 dolar AS dana yang diinvestasikan dalam mitigasi iklim, saat ini hanya 1 dolar AS yang diinvestasikan untuk adaptasi.
Salah satu opsi untuk menaikkan pendanaan adalah organisasi multilateral semacam IMF dan Bank Dunia turun tangan menjadi penjamin proyek, yang memungkinkan investor swasta terlibat tanpa mengambil terlalu banyak risiko.
“Kita harus fokus pada bagaimana mendorong lebih banyak mobilisasi pembiayaan iklim sektor swasta,” kata Norbert Ling, manajer Portofolio Kredit ESG Invesco Asset Management di Singapura. “Peran bank pembangunan multilateral dalam meningkatkan pendanaan iklim sangat kuat. Mereka bisa mengurangi risiko proyek untuk sektor swasta.”
Di Nkomazi, petani tebu dapat mengakses pinjaman dari Akwandze Agricultural Finance, sebuah usaha antara 1.200 petani kecil dengan pemilik pabrik RCL Foods Ltd. Akwanze tidak mensyaratkan tanah sebagai agunan karena tebu ditanam di daerah komunal yang tidak punya sertifikat tanah. Sebaliknya, pinjaman petani dijamin dengan pendapatan dari hasil panen tebu.
Hanya saja, skema ini juga tidak banyak membantu ketika banjir datang menghancurkan tanaman tebu atau menghambat angkutan tebu ke pabrik penggilingan tepat waktu. Anggota koperasi yang ikut membantu mendirikan usaha ini dapat meminjam dengan potongan 2% dari suku bunga utama, yang dipakai Akwandze Agricultural Finance untuk meminjamkan dana kepada kliennya yang paling layak kredit. Saat ini, tingkat suku bunga utama mereka 11,75%, tertinggi sejak pertengahan 2009.
“Kami harus merogoh kantong lebih dalam. Saya pikir beberapa dari mereka memang mengambil pinjaman,” sejak banjir, kata Sabelo Shabangu, seorang petani di proyek tebu Khanyangwane — beberapa kilometer dari Dwaleni Farm. Dia telah meminjam dari Akwandze di masa lalu dan sampai kini masih harus melunasi utangnya. “Ini jadi beban besar buat petani. Begitu uang tidak cukup (untuk membayar), maka pinjaman itu akan terus berlanjut.” AI