Petani Sawit Indonesia Minta Pemerintah Lindungi Tata Kelola Pupuk Non Subsidi

Ilustrasi pupuk

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung mengungkapkan petani sawit meminta pemerintah untuk melindungi tata kelola pupuk non subsidi.

“Pasalnya, harga pupuk melonjak tinggi dalam delapan bulan terakhir. Harga pupuk baik tunggal dan majemuk naik antara 70%-120%,” ujar Gulat dalam Webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) Jumat (29/10/2021).

Gulat mengatakan saat harga TBS (Tandan Buah Segar) tinggi, petani tidak dapat menikmati dan melanjutkan rencana peningkatan produktivitas. Sebab, harga pupuk naik sangat tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.

“Akan tetapi, di saat yang bersamaan kami diobok-obok semuanya oleh pelaku produsen pupuk. Yang terjadi saat ini kami merasa dianaktirikan, saya sebagai Ketua sudah kehabisan kata-kata menahan amarah petani sawit dari 144 Kab Kota se Indonesia, semua bermula melihat fakta harga pupuk non subsidi meroket tajam naik 120%  dari harga sebelumnya,” kata Gulat.

Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga TBS sawit. Petani sawit  meminta pemerintah untuk segera  mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta  pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga harus menjadi control, bukan sebaliknya.

“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut pupuk subsidi, hanya  meminta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk yang non subsidi,” terang dia.

Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh  pupuk urea sudah dipatok Rp4.500/kg sebelum adanya kenaikan. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp6.000/kg.

Dikatakan Gulat, selama ini kami petani sawit sdudah sangat tertekan dengan Kawasan Hutan. Sekarang justru tambah lagi persoalan harga pupuk KLB (kejadian luar biasa), di saat yang bersamaan kementerian terkait (BUMN, KEMENTAN) semua terkesan tiarap.

Harga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dollar, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. Dan menurut pengamatan kami, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik, namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan naik signifikannya harga pupuk.

“Kami berharap Komisi IV DPR RI bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya, ini sudah KLB” ujar dia.

Harga pokok produksi (HPP) tandan buah segar (TBS) petani sewaktu harga pupuk masih normal Rp 794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp1.350 per kg karena 58 persen pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat.

Alhasil pendapatan petani sekarang hanya Rp815.000/ha/bulan dari sebelumnya Rp1,1 juta/ha/bulan. “Harga sawit Rp3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan, bisa bangkrut,” pungkasnya.

Atiyyah Rahma