Oleh: Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB; Narasumber Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam-KPK)
Pertemuan terakhir antara Tim Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang KPK), Tim Pendamping dan Perhutani, 11 Januari 2017, menyatakan berhentinya secara formal pendampingan KPK setelah 2 tahun (2015-2016). Namun, hubungan dan supervisi informal masih dapat dilakukan apabila diperlukan. Selama itu secara bersama-sama mempelajari, menyusun rencana aksi (renaksi) dan menjalankannya. Kerangka kerja yang dihasilkan berupa 32 renaksi yang isinya terkait dengan 3 bidang.
Pertama, 13 renaksi kebijakan dan perencanaan. Di sini termasuk review peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (KBUMN) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai ukuran kinerja dan laporan keuangan, serta Menteri Keuangan (MenKeu) mengenai pajak atas aset tegakan, penyelesaian konflik tenurial (4 kasus), serta reorganisasi Perhutani untuk meningkatkan efisiensi biaya dari kondisi. Misalnya, struktur biaya pohon jati: biaya tanaman yang kecil 2,82%, sedangkan biaya umum dan rutin mencapai 77,30%. Juga terdapat low direct responsibility dan minimum incentive bagi pekerjanya.
Kedua, 8 renaksi bidang pemasaran untuk mewujudkan efisiensi dari adanya penguasaan kaveling potongan kayu bulat jati oleh pedagang, kolusi internal bidang pemasaran dan pengelolaan, down grading pengujian kayu serta harga tidak normal yang diperoleh Perhutani. Di sini termasuk pelaksanaan sistem online dan strategi penetapan sortimen untuk mencapai nilai tertinggi.
Ketiga, 11 renaksi bidang produksi untuk mengurangi kegagalan tanaman dan penurunan stock hutan sejak tahun 2000, akses masyarakat termasuk rendahnya akuntabilitas PHBM, inefisiensi industri kayu dan getah, akuntabilitas angka-angka produksi, serta pembenahan ‘KPH minus’ yang jumlahnya 38 unit (67%). Di sini termasuk penetapan tipologi KPH berupa zona ekologi 922.990 hektare (Ha), produksi 555.481 Ha, adaptif 862.195 Ha dan konflik tenurial 104.535 Ha dan strategi kemandirian sesuai tipologi tersebut, serta berbagai bentuk pengendalian secara online untuk hutan/tegakan, produksi, budget (e-budgeting), maupun perencanaannya (e-planning).
Target dan Hambatannya
Ditetapkan tiga target utama dengan dijalankannya kerangka kerja tersebut. Pertama, target kinerja dan sistem keuangan yang diterapkan Pemerintah agar tidak menyebabkan eksploitasi berlebih, pembiaran hilangnya aset, serta efisiensi belanja perusahaan. Hasil kajian menunjukkan selama 15 tahun (1998 sd 2013) Perhutani diperkirakan kehilangan aset hutan senilai Rp998 miliar per tahun.
Kedua, terwujud good corporate governance. Ini persoalan utama, karena kondisi menurunnya potensi hutan, aset, kultur yang sulit berubah itu sudah terpelihara dengan baik, serta adanya di sana-sini perilaku sub-optimal seperti rent seeking.
Ketiga, penguatan fungsi KPH serta perbaikan sistem pengelolaan hutan dan akses masyarakat (PHBM) yang disertai dengan ketepatan alokasi keuangan, efisiensi penggunaannya serta audit secara terbuka. Terdapat lokasi-lokasi di area Perhutani yang tidak lagi berhutan selama 5 hingga 10 tahun terakhir, tanaman selalu gagal, bahkan sudah berupa kampung ataupun bangunan-bangunan permanen. Lokasi-lokasi itu perlu ditangani dengan strategi khusus, setidaknya oleh dua kementerian: KBUMN dan KLHK. Itu karena persoalannya bukan teknis semata, tetapi adanya persoalan struktural, proses-proses transaksional maupun konflik kepentingan.
Karena dalam melakukan koordinasi dan supervisi, Tim KPK tidak akan mengganti peran unit-unit kerja Perhutani agar cepat bertindak, pelaksanaan renaksi yang cukup lambat tidak dapat dihindarkan. Hal itu terutama disebabkan oleh, pertama, tingginya konflik kepentingan dan rendahnya efektivitas kontrol internal. Perbaikan yang dapat mengurangi peluang diperolehnya income tambahan dalam jangka pendek, terjadinya keterbukaan informasi, dan tidak ada komitmen kuat pimpinan, terbukti gagal diwujudkan.
Kedua, perubahan yang difasilitasi Tim KPK lebih ditangkap secara antusias oleh pegawai klas menengah. Daya ubah kultur belum terwujud, karena belum ditemukan kekuatan manajemen, integritas maupun leadership untuk melakukannya.Ketiga, Kementerian BUMN kurang responsif dalam melihat persoalan maupun pentingnya penyelesaian masalah Perhutani. Perbaikan SK No. 200/MBU/2002 (mengenai ukuran kinerja BUMN) dan PP 72/2010 (mengenai Perhutani) belum selesai. Padahal peraturan tersebut penting sebagai penarik perbaikan (pull factor). Dengan isi SK-SK itu, perusahaan bisa dinilai tetap sehat secara finansial padahal kondisinya akan bangkrut. Demikian pula, dalam SK itu Perhutani tidak punya kepastian luas kawasan hutan yang dikelola, peta kawasan hutan tidak terbuka, maupun tidak disertai nilai kekayaan negara (terutama tegakkan hutan) yang dikelolanya, sehingga mengurangi akuntabilitasnya kepada publik.
Keempat, perbaikan sistem dalam Perhutani yang punya akar masalah sangat dalam tidak diikuti tekanan untuk berubah secara signifikan. Bandingkan misalnya untuk perbaikan manajemen PJKA yang, pada bagian tertentu, menggunakan TNI/Brimob. Penindakan oleh KPK terhadap kasus di Perhutani terjadi di akhir periode dua tahun supervisi tersebut, dan nampaknya tidak cukup menjadi tekanan perbaikan.
Power Perubahan
Perbaikan kinerja Perhutani sangat penting, karena berpengaruh terhadap penyelesaian persoalan-persoalan sosial dan lingkungan hidup di Pulau Jawa. Namun sesungguhnya perbaikan itu tidak lagi memerlukan kajian atau semacamnya. Persoalannya bukan tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi bagaimana menghimpun power untuk melakukannya. Situasi dan hambatannya hampir serupa dengan PJKA, bersifat struktural dan konflik kepentingan, yang dapat digunakan sebagai acuan. Dorongan maupun peran langsung melalui perbaikan kebijakan KBUMN, KLHK dan Menkeu, juga sangat menentukan