Diantara banyak pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau populer dengan HPH yang bertumbangan, PT Dwimajaya Utama menjadi salah satu yang masih masih bertahan. Tak sekadar berproduksi, perusahaan yang pertama kali mendapat konsesi pada tahun 1971 itu bahkan bergerak maju dengan menerapkan teknik-teknik pengelolaan hutan lestari yang paling baik.
Termasuk Reduce Impact Logging (RIL) alias pembalakan berdampak rendah pada lingkungan. Meski banyak perusahaan HPH lain menganggap RIL sebagai momok yang bisa berdampak pada kerugian usaha, nyatanya bagi Dwimajaya Utama, RIL justru berdampak sangat positif.
Direktur Utama Dwimajaya Utama Eko Pratomo mengakui, pihaknya juga sempat ragu-ragu untuk mengimplementasikan teknik penebangan tersebut. “Dulu kami juga bertanya-tanya, tapi ternyata terjadi efisiensi dalam pembalakan,” kata Eko Pratomo yang saat peninjauan areal HPH Dwimajaya Utama di Katingan, Kalimantan Tengah, awal Agustus lalu.
Secara sederhana, prinsip RIL mengedepankan perencanaan matang untuk kegiatan pembalakan. Mulai dari pohon yang harus ditebang, arah jatuhnya, jalan saradnya, hingga tempat penampung log-nya. RIL juga mengamanatkan untuk dilakukannya langkah-langkah pencegahan erosi dan penanaman kembali di titik yang sempat terbuka.
Berbekal pedoman tersebut, pembukaan hutan untuk kegiatan pemanenan kayu sangat minimal. Limbah kayu juga bisa dikurangi. Sementara tegakan tinggal tetap bisa hidup dan tumbuh dengan kerusakan minimal sehingga menjadi harapan untuk dipanen pada rotasi berikutnya. Jangan heran jika blok tebangan dimana RIL diimplementasikan tak butuh waktu lama untuk kembali pulih tutupan vegetasinya.
Banyaknya rambu-rambu yang mesti diterapkan pada RIL akhirnya memang berdampak pada kenaikan biaya produksi. Kenaikan itu terutama pada saat dilakukan inventarisasi tegakan sebelum penebangan. Survey harus dilakukan 100% pada blok tebangan.
Meski ada kenaikan pada salah satu pos pengeluaran, namun kata Eko, RIL secara umum justru meningkatkan efisiensi. Menurut pria jebolan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta itu, efisiensi yang terjadi bisa menutup kenaikan biaya produksi.
Eko yang penampilannya sangat bersahaja, jauh dari statusnya sebagai sebuah perusahaan HPH itu menyatakan, RIL juga bisa menaikan harga kayu yang diproduksi karena memiliki kualitas yang lebih baik. “Kayu juga masih segar karena proses penebangan hingga diangkut sangat efisien.
Untuk tahu lebih banyak tentang implementasi RIL dan bagaimana kinerja Dwimajaya Utama, berikut petikan wawancara dengan pria yang memulai karirnya dengan menapak dari bawah sebagai management trainee itu.
Dwimajaya Utama ini termasuk HPH generasi pertama ya?
Ya, kami memang termasuk HPH yang sudah beroperasi cukup lama. Kami pertama kali mendapat izin tahun 1971. Ini berarti saat ini kami sudah memasuki rotasi ketiga. Saat ini areal izin yang kami kelola sekitar 127.000 hektare.
Padahal banyak perusahaan HPH lain yang betumbangan, apa resep Dwimajaya Utama bisa bertahan?
Kami memegang prinsip bahwa kita bukan sekadar menebang kayu, berproduksi. Tapi kita harus mengelola hutan. Kalau kita mengelola hutan maka pola pikir dan tata tindak mulai dari owner, manajemen, hingga pekerja di lapangan adalah pada keseimbangan ekosistem. Produksi memang perlu, tapi harus seimbang antara lingkungan dan sosial.
Prinsip itu juga yang mendorong kami untuk mengimplementasikan praktik RIL dalam kegiatan penebangan sejak tahun 2012.
Katanya RIL ini mahal, makanya banyak pemegang HPH lain yang enggan untuk menerapkan?
Dulu kami juga bertanya-tanya, tapi ternyata terjadi efisiensi dalam kegiatan pembalakan. Berdasarkan laporan yang saya terima, kenaikan biaya produksi memang terjadi. Tapi hanya pada saat survey blok rencana kerja tahunan (RKT). Ini dikarenakan, survey harus dilakukan 100%. Biaya survey naik dari sebelumnya sekitar Rp300.000/hektare menjadi sekitar Rp690.000/hektare.
Namun berbekal survey 100% itu perencanaan produksi bisa dilakukan dengan matang dan akurat. Ini kemudian bisa meningkatkan efisiensi.
Hasil pemantauan yang dilakukan manajemen kami, setelah mengimplementasikan RIL produktivitas setiap traktor naik dari sebelumnya 3,9-7,7 batang/hari menjadi 11,7 batang/hari. Atau mencapai 5,97 batang/hari.
Secara volumenya, maka produksi kayu per traktor bisa meningkat dari 22-39,6 m3/hari menjadi 61,52 m3/hari atau naik hingga 30,7 m3/hari.
Efisiensi terjadi pada sarana produksi. Penggunaan BBM misalnya. Dulu pemanfaatan BBM mencapai 4,22 liter/m3. Pasca implementasi RIL penggunaan BBM hanya 3,26 liter/m3 atau hemat hingga 1,08 liter/m3.
Demikian juga untuk penggunaan oli. Dulu penggunaan oli mencapai 0,12 liter/m3 maka pasca implementasi RIL, penggunaan oli hemat hingga 0,11 liter/m3 atau hanya sebanyak 0,01 liter/m3.
Sementara itu untuk pemanfaatan sling baja, dari 0,0086 pieces/m3 menjadi 0,0014 pieces/m3 atau hemat 0,0072 pieces/m3. Ini berarti dengan implementasi RIL, sarana produksi lebih awet dan irit.
Meski ada peningkatan efisiensi, tak bisa dipungkiri ada kenaikan biaya untuk mengimplementasikan RIL. Perlukah insentif dari pemerintah?
Kami tidak memungkiri jika ada insentif tentu sangat positif. Tapi bagi kami, yang penting kerja benar dulu, dampak yang lain pasti akan mengikuti. Tapi jika memang tersedia insentif barangkali untuk prosedur penilikan saat penilaian PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) oleh Lembaga Penilai Independen (LPI). Jika penilikan ditiadakan, maka biaya yang dikeluarkan bisa dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan hutan lainnya.
Apakah RIL berdampak juga jika dilihat dari sisi pendapatan secara keseluruhan?
Soal pendapatan, perlu saya cek lagi. Tapi kemarin terungkap bahwa kayu kami dihargai lebih tinggi di pabrik ketimbang log dari perusahaan lain. Ini karena kualitas log yang kami hasilkan sangat baik. Log kami juga masih segar yang berarti bisa meningkatkan rendemennya saat diolah.
Anda siap jika Dwimajaya Utama dijadikan percontohan untuk implementasi RIL?
Kami terbuka saja jika memang ada yang mau menjadikan kami sebagai percontohan. Beberapa waktu lalu juga ada buyer Inggris yang ke sini untuk melakukan studi banding. Kami terbuka. Saya kira itu justru menjadi kesempatan kita untuk saling bertukar pikiran. Yang paling penting dalam RIL adalah semua pihak mulai dari pemilik saham, manajemen dan pekerja di lapangan memiliki komitmen. Kalau itu sudah dilakukan, manfaatnya otomatis akan mengikuti. Sugiharto