Banyak yang tak menyangka, Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc bakal dipilih menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebab, sebelumnya, nama politisi Partai Nasdem ini lebih disebut-sebut untuk menduduki jabatan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Maklum, perempuan yang terlahir dari keluarga Betawi asli di Jakarta, 28 Juli 1956 itu punya pengalaman segudang soal reformasi birokrasi.
Meski demikian, sinyal mantan Sekjen Departemen Dalam negeri itu bakal menduduki jabatan sebagai menteri yang mengurus lingkungan hidup dan kehutanan sudah muncul ketika Siti mengungkapkan bahwa pertanyaan yang diajukan Presiden Joko Widodo kepadanya soal lingkungan hidup.
Menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai menteri baik di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan (sebelum kemudian dilebur menjadi Kementerian LH dan Kehutanan), sejatinya Siti sudah memiliki bekal yang cukup mumpuni. Maklum latar belakang pendidikannya tak jauh-jauh dari isu lingkungan dan kehutanan. Dia juga mengajar kuliah yang terkait isu lingkungan dan kehutanan.
Siti Nurbaya lulus IPB tahun 1979. Dia kemudian melanjutkan studinya ke International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Enschede, Belanda, dan meraih gelar master pada tahun 1988. Satu dasawarsa kemudian, yaitu tahun 1998, Siti Nurbaya Bakar merampungkan jenjang S3 di IPB.
Siti punya karir di pemerintahan yang panjang dan mengilap. Memulainya dari bawah, Siti sempat menjadi Wakil Ketua Bappeda Tingkat I Pemda Lampung (1996-1998), sebelum kemudian ditarik menjadi Kepala Biro Perencanaan Depdagri (1998-2001). Karirnya kemudian berlanjut menjadi Sekjen Depdagri (2001-2005) dan Sekjen DPD RI (2006-2013).
Sederet penghargaan pernah diterimanya, termasuk PNS Teladan Nasional tahun 2004. Pengalamannya yang panjang di birokrasi diyakininya bisa menjadi bekal untuk memuluskan peleburan Kementerian LH dan Kehutanan, sehingga bisa langsung kerja, kerja, dan kerja seperti harapan Jokowi.
Berikut petikan wawancara dengan Siti Nurbaya pada beberapa kesempatan.
Sempat muncul kritik dengan pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, keduanya dinilai punya peran yang berbeda selama ini. Komentar Anda?
Sebenarnya aspek lingkungan hidup dan kehutanan sesungguhnya tidak saling berbenturan atau bertabrakan. Jadi, tidak perlu ada dikotomi antara persoalan kehutanan dan lingkungan hidup. Lingkungan dan pemanfaatan hutan bisa jalan beriringan. Maka jangan dikotomikan. Secara konsep enggak ada masalah.
Penyatuan dua kementerian ini kan berawal dari pengertian lingkungan dan kehutanan itu sendiri. Tatkala hutan memberi manfaat disebut sumber daya alam, tapi saat hutan diberikan beban untuk pemanfaatan oleh manusia, maka harus dipertimbangkan konteks lingkungan. Dari situ harus ada keseimbangan antara pengelolaan hutan yang dapat memberikan manfaat luas kepada masyarakat, tapi tidak merusak lingkungan.
Lantas bagaimana Kementerian LH dan kehutanan ini ke depannya?
Pastinya sekarang fokus untuk harmonisasi. Sesuai arahan pak Presiden restrukturisasi Kementerian LH dan Kehutanan tidak akan menambah anggaran maupun merekrut pegawai baru. Saya punya pengalaman saat pemisahan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Otonomi Daerah, yang kemudian disatukan kembali.
Tapi bisa disebutkan apa saja yang akan dibenahi?
Ada dua hal ya, yaitu legitimasi kepemilikan lahan dan perizinan. Selama ini batas kepemilikan dan kawasan hutan sebenarnya sudah jelas dan legal, namun klaim berbagai pihak terkait kepemilikan masih terus terjadi. Jadi ada legalitasnya, tapi legitimasinya tidak jelas. Ini berarti kita punya masalah di konten atau isi dari regulasi yang harus dikaji kembali.
Reformasi birokrasi terkait perizinan juga penting didahulukan mengingat persepsi masyarakat mengenai perizinan saat ini erat kaitannya dengan aktivitas transaksi. Saya enggak bilang seperti itu, tapi persepsinya begitu. Namun, kita harus lebih lanjut mengidentifikasi ini bersama yang lainnya.
Pemanfaatan sumber daya alam ini kan harus adil dan berkelanjutan agar mencapai pembangunan nasional dari sumber kehutanan untuk ketersediaan pangan dan energi. Paling tidak ada empat syarat minimal ya, cultivating atau syarat tumbuh di tempat tertentu, manajemen pengelolaannya, upaya konservasi, dan juga kelembagaan dan kapasitas. Dengan mengklasifikasi itu kita akan tahu mana yang bisa dibudidayakan dan mana yang tidak.
Pemerintahan lalu cukup gencar mengkampanyekan penanaman. Bagaimana kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bawah kepemimpinan Anda?
Gerakan menanam penting untuk diteruskan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis. Namun, perbaikan harus dilakukan. Termasuk melakukan integrasi dengan kegiatan konservasi tanah dan air seperti pembuatan lubang biopori dan sumur resapan.
Ya, kami meneruskan apa yang sudah baik di masa pemerintahan yang lalu. Nah, menanam ini termasuk yang sudah baik. Namun pertanyaannya kini bukan soal jumlah tanaman, tapi di mana tanamannya? Mana land cover-nya?
Data yang ada memang menunjukan penanaman berdampak sangat baik. Tapi perlunya kejelasan lokasi dimana penanaman pohon dilakukan. Baik itu di dalam kawasan hutan ataupun di lahan-lahan masyarakat.
Evaluasi perlu dilakukan. Untuk menjawab keraguan akan keberhasilan menanam, tapi juga demi perbaikan kegiatan menanam di masa yang akan datang. Penanaman ini penting loh untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis. Namun perbaikan harus dilakukan. Termasuk melakukan integrasi dengan kegiatan konservasi tanah dan air seperti pembuatan lubang biopori dan sumur resapan.
Yang juga penting adalah lakukan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menanam pohon. Kampanye kreatif seperti melalui film perlu diperluas. Bukan saja untuk masyarakat tapi juga penyelenggara negara. Sugiharto