Direktur PPHP Ditjen Tanaman Pangan, Batara Siagian mengatakan bahwa beras di Indonesia akan ada surplus sekitar 3,22 juta ton beras.
Hal berdasarkan data KSA BPS produksi padi Januari-April 2023 sebanyak 23,31 juta ton GKG dari luas pertanaman sekitar 4,37 juta hektar (ha). Artinya, akan ada surplus sekitar 3,22 juta ton beras.
“Jadi, sebenarnya kalau secara produksi kita tidak perlu resah,” ucap Batara dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema “Stok Beras Jelang Lebaran Cukup atau Kurang?”, Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Kementerian Pertanian, kata Batara, telah melakukan konsolidasi dengan penggilingan padi di daerah-daerah sentra produksi. Sebab, akhir dari padi itu adalah beras yang ada di penggilingan. Dari hasil konsolidasi ternyata penggilingan telah membangun market sendiri tanpa melalui pasar induk atau kerja sama dengan Bulog.
“Ada perbedaan perilaku dari penggilingan. Jika dulunya sebagian bekerja sama dengan Bulog. Tapi kini mereka relatif membangun market sendiri tanpa melalui pasar induk atau melalui kerja sama dengan Bulog,” kata dia.
Meski demikian, Kementerian Pertanian terus mendorong penggilingan padi untuk memenuhi beras terutama masyarakat, khususnya Ibukota Jakarta.
“Kita sudah bertemu, merek (penggilingan padi) berkomitmen untuk mendorong itu,” katanya.
Bagi Sutarto yang pernah menjadi Dirjen Tanaman Pangan dan Dirut Perum Bulog, pengadaan gabah Bulog bisa optimal jika dilakukan kerjasama dengan penggilingan padi kecil.
“Menurut pengalaman saya, kerja sama dengan penggilingan padi kecil pada dasarnya lebih mudah dibandingkan yang besar karena yang besar sudah memiliki pasarnya sendiri. Ini yang perlu menjadi perhatian kita semua,” kata dia.
Dengam masih banyaknya hambatan seperti permodalan, akses pasar, kesulitan bahan bakar, kelangkaan benih unggul bermutu, serta pupuk, pemerintah perlu melakukan revitalisasi penggilingan padi kecil. “Itu masih sering terjadi di lapangan dan itu harus kita akui,” ucap Sutarto.
Hitungan Sutarto, saat ini kapasitas penggilingan padi, baik kecil, sedang dan besar sudah jauh lebih tinggi ketimbang produksi padi setiap tahun. Apalagi berdasarkan data BPS, produksi padi tiap tahunnya berfluktuasi (naik-turun), tapi kecenderungannya turun.
“Surplus beras kita makin turun. Ini jadi sebab stok beras kita, termasuk CBP makin kecil, sehingga mudah terjadi gejolak,” katanya.
Data BPS, tahun 2018 surplus beras mencapai 4,37 juta ton, tahun 2019 surplusnya 2,38 juta ton, tahun 2020 sekitar 2,13 juta ton, tahun 2021 sebesar 1,31 juta ton dan tahun 2022 sebanyak 1,34 juta ton.
”Puncak panen yang dulu bisa dua kali, sekarang ini cenderung hanya satu kali. Konversi lahan pertanian juga menjadi kendala peningkatan produksi padi,” katanya.
Untuk itu ia berharap pemerintah mengatur kembali ijin mendiirkan industri beras. Bukan hanya itu, Sutarto menegaskan, pemerintah sebaiknya tidak lagi mengeluarkan izin pendirian penggilingan padi baru tanpa mempertimbangkan ketersediaan produksi gabah.
“Langkah selanjutnya, perlu diimbangi dengan revitalisasi penggilingan padi kecil. Ke depan, harapannya, penggilingan padi besar bersinergi dengan penggilingan padi kecil meskipun tidak mudah,” imbuh dia. **