
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Dana Reboisasi (DR) yang di era orde baru dijadikan bancakan untuk dana talangan bagi kepentingan lain, masih relevankah untuk kondisi saat ini ?
Pada era orde baru, bersama Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dana reboisasi (DR) adalah sumber devisa negara nomor dua setelah minyak dan gas. Dana reboisasi dipungut berdasarkan besarnya jumlah kubikasi kayu yang dikeluarkan dari hutan alam dikalikan tarif setiap kubiknya. Mengingat bahwa kayu gelondongan yang dikeluarkan dari hutan alam langsung diekspor keluar negeri maka tarif yang dikenakan pada saat itu, berdasarkan mata uang internasional yaitu empat dolar AS setiap kubiknya. Bonanza kayu ini sempat dinikmati tiga dekade selama pemerintahan orde baru. Bahkan pemasukan negara dari hutan ini digunakan sebagai dana cadangan untuk kepentingan yang bersifat urgent, seperti menambah dana segar bagi industri penerbangan nasional (IPTN), dana pinjaman lunak untuk membangun hutan tanaman industri (HTI) dan sebagainya.
Dalam UU 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan dan PP 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan dan hak pemungutan hasil hutan tak aa istilah dan pengertian dana reboisasi. Baru setelah Keputusan Presiden (Keppres) 35/1980 tentang dana jaminan reboisasi dan permudaan hutan areal hak pengusahaan hutan, muncul istilah dana jaminan reboisasi (DJR). Dalam Kepres ini disebutkan reboisasi dan permudaan hutan pada dasarnya adalah menjadi kewajiban dari para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Besarnya Dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan Areal HPH tersebut adalah a) US$ 4 per meter kubik kayu, b) US$ 0,5 per meter kubik chipwood. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan pada seluruh bekas tebangan di dalam areal HPH telah ada kegiatan reboisasi dan permudaan hutan sesuai ketentuan, dana jaminan tersebut akan dikembalikan kepada pemegang HPH. Pengumpulan dana tersebut disalurkan melalui bank-bank pemerintah yang ditunjuk dan disimpan atas nama Rekening Direktur Jenderal Kehutanan sebagai setoran dana jaminan reboisasi dan permudaan hutan.
Untuk menggenjot devisa negara dari sektor kehutanan, pada 1981 menerbitkan surat keputusan bersama empat Dirjen dari Departemen (Kementerian) yang berbeda, sehingga nama dana jaminan reboisasi (DJR) berubah menjadi dana reboisasi. Perubahan nama ini membuat pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kepada pemegang HPH lagi. Sejak itu hingga 1998, jumlah dana reboisasi yang disimpan di rekening khusus Dirjen Kehutanan dan Menteri Kehutanan (setelah terbentuknya Departemen Kehutanan 1983), jumlahnya semakin membengkak menjadi besar. Apalagi karena disimpan dalam rekening khusus Menteri Kehutanan, maka dana tersebut bertambah besar dengan pendapatan jasa giro dan bunga jasa giro.
Memasuki era reformasi, dana reboisasi diatur dan ditata lebih baik lagi dengan memasukkan dalam regulasi yang baru yakni UU Kehutanan. Penjelasan pasal 35 ayat (1) UU Kehutanan menyatakan dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. Sebelum menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNPB) seperti sekarang, dana reboisasi masuk dalam rekening khusus Menteri Kehutanan. Sampai 2000, dengan jumlah HPH sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare, setoran HPH US$ 9 miliar per tahun, dengan 70% berasal dari dana reboisasi. Meskipun tarif dana reboisasi sekarang berkisar antara US$ 12-20 per meter kubik dana reboisasi cenderung turun seiring menurunnya potensi komoditas kayu dari hutan alam.
Ironi DR
Di satu sisi DR sangat dibutuhkan dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan yang kawasan hutannya yang ingin dipulihkan (revegatasi) semakin luas. Di sisi lain pemasukan DR semakin kecil. Indikator, turunnya DR dapat dibaca dari keluhan dan kegusaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebut bahwa laporan PNBP kehutanan tahun 2021 hanya 1,2%. Ini jumlah sangat kecil jika dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Indonesia pada tahun itu Rp 452 triliun. DR merupakan salah satu PNBP terbesar kehutanan selain PSDH. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) nominal sektor kehutanan pada 2017-2021 bahkan kurang dari 1% atau Rp 112 triliun pada 2021, naik dibanding tahun sebelumnya Rp 108,6 triliun, tapi turun secara persentase. Padahal, meski kecil, menurut Sri Mulyani, sektor ini tumbuh rata-rata 5-6% per tahun.
Menurut Sri Mulyani, setoran PNBP kehutanan ini kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan luas hutan Indonesia yang 120 juta hektare. Apalagi, banyak hutan alam Indonesia yang sudah beralih menjadi hutan tanaman industri, bahkan jadi perkebunan kelapa sawit. Menurut Sri Mulyani pertumbuhan yang terlampau kecil ini pertanda ada yang salah dalam pengelolaan hutan Indonesia. Menteri Keuangan memprediksi sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi, namun PNBP kehutanan sangat kecil karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum, banyaknya aset menganggur (idle).
Akibat dari menurunnya kemampuan penerimaan DR, kemampuan finansial untuk melaksanakan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi sangat terbatas. Padahal pemerintah membutuhkan anggaran yang terus meningkat setiap tahunnya untuk kegiatan yang sama. Sampai-sampai pemerintah perlu berhutang kepada negara atau sumber-sumber lain di luar negeri pada 2022 lalu. Sebut saja, Indonesia harus pinjam dana sebesar 400 juta dolar atau hampir Rp6 triliun (kurs pada bulan Juli 2022, Rp14.996/dolar AS) untuk merehabilitasi mangrove dari World Bank (Bank Dunia). Dana ini akan disalurkan dari Kementerian Keuangan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Dalam rencana pemerintah, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove punya tanggung jawab memulihkan 600.000 hektare mangrove yang rusak di sembilan provinsi. Pemulihan itu saat ini terkendala pendanaan. Kebutuhan biaya untuk pemulihan mangrove yang menjadi tugas BRGM sebesar Rp 23 triliun.
Sementara itu, mekanisme pembagian/bagi hasil DR ke daerah yang selama ini dilakukan pemerintah kepada pemerintah daerah (provinsi/kabupaten) kurang berjalan mulus. Dana bagi hasil dari dana reboisasi yang mengendap di rekening pemerintah daerah cukup besar. Pada 2022, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan nilainya mencapai Rp 4,17 triliun. Nampaknya, selama ini ada yang keliru dana bagi hasil DR dikembalikan lagi kepada daerah penghasil kayu untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan. Peraturan Pemerintah (PP) no. 23/2021 tentang penyelengaraan kehutanan menyebut bahwa pembagian perimbangan dana reboisasi antara pusat dan daerah dengan prosentase antara pemerintah pusat 60% dan pemerintah daerah provinsi penghasil 40%. SDM teknis dari daerah penghasil SDA kayu dari hutan alam seperti Kalteng, Riau, Kaltim, belum 100 persen siap untuk melaksanakan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan di lapangan. Selama ini kemampuan teknis SDM mereka hanyalah diarahkan pada kegiatan ekploitasi hasil hutan kayu di hutan alam khususnya pada areal konsesi/HPH saja. Sementara kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan di lokasi bekas konsesi, membutuhkan ketrampilan teknis yang sangat tinggi dari mulai penyiapan bibit, penanaman di lapangan hingga pemeliharaannya; dengan tingkat kesulitan lapangan yang amat tinggi pula. Wajar apabila SDM teknis yang ada, masih gagap melaksanakan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan karena kegiatan ini dianggap masih baru. Akibatnya, DR yang tersedia tidak mampu diserap dengan baik setiap tahunnya dan menumpuk menjadi anggaran sisa di APBD daerah masing-masing penghasil.
Hapus DR
Saat ini terdapat tiga jenis pungutan yang mendasar dan populer dalam pengelolaan sumber daya hutan yakni dana reboisasi (DR), provisi sumber daya hutan (PSDH), dan ganti rugi tegakan (GRT). Dari ketiga pungutan tersebut, pungutan yang dinilai paling realistis dan logis adalah PSDH. Soalnya, secara prinsip lebih jelas landasan pijakannya, yakni nilai intrinsik hutan. Nilai instrinsik adalah nilai yang ada di dalam sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah tentang PSDH yang terbit sebelum UU Kehutanan, PP 51/1998, PSDH atau resources royalty provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan negara. PSDH wajib dibayar oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), hak pemungutan hasil hutan (HPHH) atau izin pemanfaatan kayu (IPK), dan izin sah lainnya (ISL) atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Dasar perhitungan dan besarnya PSDH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan harga pasar hasil hutan dan biaya produksi. Harga pasar hasil hutan ditetapkan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Tarif PSDH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Penggunaan PSDH ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri Kehutanan.
Ada yang menafsirkan nilai intrinsik hutan sebagai nilai manfaat hutan (intangible) yang hilang akibat dipungutnya kayu dari hutan yang bersangkutan. Definisi ini berbeda dengan dana reboisasi yang menekankan penggunaan dana yang dipungut tetapi tidak jelas pijakan pemungutannya. Apalagi ganti rugi tegakan GRT. Sistem pungutannya rumit dan ruwet. Pada prinsipnya, pungutan pemanfaatan hasil hutan harus didasarkan pada—atau mencerminkan sejauh mungkin—nilai kayu yang ditebang. Sebaiknya pemerintah menghapus saja pungutan DR yang menurut kondisi sekarang dinilai kurang efektif dan relevan. DR dihapus dan digabung saja dalam mekanisme pajak karbon yang akan dilaksanakan tahun 2025 nanti.
DR yang masuk pajak karbon sektor kehutanan akan lebih realistis dan masuk akal. Sektor kehutanan yang dikenakan pungutan pajak karbon dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon adalah aktivitas pemungutan hasil hutan kayu dari izin usaha hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) maupun izin usaha hasil hutan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan hasil hutan kayu dari kawasan diluar kawasan hutan negara seperi hutan rakyat dan hutan hak lainnya. Sudah barangtentu pajak karbon yang dikenakan pada hasil hutan kayu dari hutan alam tarifnya harus lebih mahal dibandingkan dengan pajak karbon dari hutan tanaman karena hutan tanaman mengeluarkan investasi dalam kegiatan penanamannya. Toh, hasil dari pajak karbon di sektor kehutanan nantinya akan dikembalikan lagi oleh pemerintah untuk perbaikan lingkungan yang diantaranya adalah untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan. ***