“Ritual” Asap dan Karhutla Bisakah Diatasi ?

Pemadaman karhutla (foto: Twitter KLHK)
Ir. Koes Saparjadi, MF (Ketua The Indonesian Wildlife Conservation Foundation/IWF)

Oleh: Ir. Koes Saparjadi, MF (Ketua The Indonesian Wildlife Conservation Foundation/IWF)

DDi musim kemarau, apalagi saat sedang puncaknya, berita kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selalu menghiasi media massa. “Bumbu berita makin pedas” dengan adanya protes dari negara tetangga. Lantas bagaimana cara menanggulangi asap karhutla yang seolah menjadi ritual tahunan itu?

Kita tahu asap diakibatkan oleh kegiatan pembersihan lahan dalam rangka penyiapan lahan untuk perkebunan (kelapa sawit), hutan tanaman industri (HTI) maupun penyiapan ladang penduduk jelang musim tanam pada musim hujan berikutnya yang dilakukan dengan cara membakar.

Bagi para pelaku pembakaran lahan dengan skala luasan yang besar, misalnya untuk perkebunan, yang memiliki kemampuan dan akses baik modal, teknologi maupun keterampilan yang lebih tinggi, motif penyiapan lahan dengan membakar itu sangat boleh jadi untuk menekan biaya. Meski sesungguhnya telah ada berbagai aturan dengan sanksinya, maupun pedoman teknis penyiapan lahan tanpa bakar yang melarang dilakukannya penyiapan lahan dengan membakar .

Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana aparat instansi teknis yang membidangi kegiatan perkebunan di daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terus menerus agar mereka melakukan penyiapan lahan tanpa bakar.

Namun untuk masyarakat peladang berpindah,  menebang,  membakar kemudian  menanam merupakan budaya yang bukan baru lima atau sepuluh tahun dilakukan tapi merupakan cara yang sudah turun temurun dilakukan sejak nenek moyang . Cara ini adalah yang paling mudah, murah dan cepat dengan melihat pada keterbatasan baik modal, kemampuan maupun teknologi yang dimiliki.

Oleh karena itu disamping penegakan hukum bagi  pelaku pembakaran lahan yang seharusnya menjadi pokok perhatian dari lembaga lembaga penelitian di Kementerian terkait adalah bagaimana mengembangkan teknologi tepat guna untuk penyiapan ladang tanpa bakar yang lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat daripada dengan cara membakar. Apabila teknologi semacam ini sudah bisa dikembangkan dan diterapkan di lapangan, tanpa dipaksa pun pasti masyarakat peladang  akan beralih dari kebiasaan membakar lahan sebagaimana mereka lakukan selama ini.

Aspek aspek yang perlu dipertimbangkan

Beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian kita dalam upaya menangani dan mencegah masalah karhutla serta dampaknya, antara lain:

Aspek Hukum.

Kita telah memiliki perangkat perundang undangan yang memadai untuk menangani karhutla. Misalnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan bahkan KUHP yang kesemuanya bisa dipergunakan untuk memproses secara hukum tindak pidana karhutla.

Disamping itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga memiliki petugas Polisi Kehutanan (Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berada di lapangan.

Untuk pelaku karhutla skala besar, ini penegakan hukumnya relatif lebih mudah karena sebagai suatu badan hukum, ada penanggungjawabnya dan lokasinya mudah terdeteksi.  Disamping itu aturan hukum dan sanksi yang mengaturnya juga sudah jelas. Penerapan sanksi yang berat perlu diterapkan karena pada hakekatnya kejahatan lingkungan itu juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan pembakaran yang dilakukan oleh peladang umumnya lebih sulit karena luasannya  kecil, letaknya tersebar dan pelakunya  sulit dicari meskipun  bukan berarti tidak mungkin ditemukan .

Aspek Teknis

Di beberapa daerah masyarakat telah memiliki aturan adat yang berkaitan dengan cara-cara membakar lahan ini. Sebetulnya dalam ilmu kehutanan pun dikenal adanya kegiatan manajemen hutan dengan memanfaatkan api secara terbatas dan terkendali (controlled  burning). Apabila metode ini ingin disosialisasikan, sebaiknya perlu didahului oleh suatu pelatihan dan pemahaman teknis dengan benar sehingga bisa dihindari terjadinya karhutla lahan yang tidak terkendali.

Kementerian Kehutanan sejak tahun 2004 telah memiliki  Unit Penanggulangan Karhutla yang dikenal  dengan nama Brigade Manggala Agni. Brigade ini perlu terus dikembangkan baik ketrampilan teknis pemadamannya, jumlah dan jenis peralatannya yang memadai, mobilitas/kesamaptaannya maupun inovasi peralatan pemadamannya sesuai dengani kondisi dan sifat medan yang berbeda beda. Instansi penelitian perlu terus mencari teknis pemadaman kebakaran di lahan gambut yang praktis dan portable untuk menjangkau medan yang sulit.

Untuk mengantisipasi karhutla, perlu disiapkan peta daerah rawan kebakaran dengan memasukkan berbagai macam parameter yang berpengaruh terhadap munculnya karhutla. Dengan adanya peta daerah rawan kebakaran yang selalu di update sesuai dengan perkembangan penggunaan lahan maka terjadinya karhutla bisa di antisipasi lebih awal.

Mengingat karhutla pada umumnya terjadi oleh ulah manusia, perlu ada pos pengawasan oleh petugas di daerah rawan sebagaimana telah diidentifikasi dalam peta rawan kebakaran. Satuan patroli Polisi Kehutanan wajib selalu siaga di pos tersebut khususnya pada waktu musim kemarau. Tradisi membangun menara pengawasan di kawasan hutan untuk mendeteksi kebakaran hutan perlu dilanjutkan.

Aspek ekonomi

Kita juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi untuk menjustifikasi cara yang kita pilih meskipun pada kondisi tertentu, aspek ekonomi ini dapat juga dikesampingkan.

Beberapa alternatif cara yang bisa kita coba untuk diterapkan untuk menangani limbah kayu  yang merupakan potential fuel yang bisa memicu kebakaran.  Dari aspek ekonomi, bisa dilakukan penghancuran limbah secara mekanik menjadi bentuk serpih (chip) dengan memanfaatkan mesin pencacah (portable chipper) di lapangan. Chipwood ini bisa disebarkan di lapangan agar memudahkan proses pelapukan menjadi lebih cepat yang selanjutnya ini akan menjadi pupuk organik (kompos).

Bisa juga dilakukan pemanfaatan limbah kayu menjadi arang (charcoal) melalui proses pembuatan arang di lapangan. Hasil arang ini bisa dikumpulkan dan diperdagangkan untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor. Saya kira tidak terlalu sulit untuk mengekspor produk arang ini karena Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai pengekspor arang untuk berbagai penggunaan.

Untuk itu diperlukan  adanya kajian yang komprehensif  bagi alternatif tersebut. Kalau perlu pemerintah harus memberi semacam insentif bagi pelaksanaan program ini.

Sebagai pertimbangan bagi kita untuk memilih alternatif tersebut adalah adanya kerugian hilangnya spesies di lokasi karena karhutla. Kerugian ini jauh lebih besar daripada illegal logging, karena species yang punah tidak akan tumbuh kembali di lokasi tersebut.  Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (negara) untuk operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan dan penanggulangan dampak bencana asap yang  dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat.

Aspek Koordinasi

Kunci keberhasilan semua metode yang akan diterapkan bergantung pada  seberapa bagus koordinasi antara pihak yang terkait. Kekompakan dan koordinasi yang baik diantara aparatur pemerintah di daerah sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan terjadinya bencana asap . Telah terbukti bahwa pada karhutla yang cukup parah pada tahun 2015 bisa berkurang setelah setelah kekuatan Manggala Agni, TNI, POLRI, BNPB, Instansi terkait di daerah maupun pusat dan masyarakat  dikerahkan untuk memerangi sumber titik api di lapangan.  Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2019. Mudah mudahan hal yang positif ini bisa dilanjutkan dimasa yang akan datang sehingga julukan  Indonesia sebagai negara pengekspor asap bisa  terhapus.

Partisipasi masyarakat

Dalam penanganan karhutla, dukungan dan kesadaran masyarakat sangat penting. Sebab merekalah yang berada pada posisi paling depan dalam upaya mencegah karhutla. Oleh karena itu yang perlu juga kita bangun adalah pemahaman dan kesadaran masyarakat terutama di wilayah terjadinya karhutla akan dampak   ekspor asap terhadap citra Indonesia di mata internasional.

Partisipasi masyarakat perlu juga dibangun agar seluruh pihak yang terkait bersatu padu mencegah dan menanggulangi bencana asap. Dari pemantauan, yang belum maksimal perannya adalah pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten.

Sebetulnya Pemerintah Daerah ini memiliki peran yang sangat penting karena memiliki aparat Kepala-kepala Desa yang seharusnya sebagai tangan Pemerintah Daerah di strata paling depan di lapangan. Mereka semestinya bisa dan mampu mendeteksi siapa-siapa anggota masyarakatnya yang akan melakukan pembukaan lahan akan membakar. Dengan aktifnya Kepala-kepala Desa yang ada di garis depan ini dipastikan terjadinya bencana Karhutla dan asap yang dahsyat bisa dihindari.

Jadi kinerja pemerintah daerah baik Gubernur maupun Bupati menjadi suatu hal yang sangat menentukan. Oleh karena itulah perlu ada suatu mekanisme penilaian kinerja dimana Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI, dapat memasukkan aspek keberhasilan pimpinan pemerintahan di daerah dalam menanggulangi dan mencegah pembakaran hutan dan lahan. Di era pemerintahan Orde Baru ada penghargaan terhadap Gubernur/Kepala Daerah yang memiliki kinerja terbaik dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya yang namanya kalau tidak salah Pra Samya Purna Karya Nugraha. Waktu itu penghargaan ini bisa dianggap sebagai suatu penghargaan yang sangat bergengsi. Barangkali meskipun itu cara jaman Orde Baru, kalau dampaknya positif bagi bangsa dan negara, tidak ada salahnya kita contoh. Mungkin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa menyiapkan parameter penilaian kinerja  dalam penanggulangan asap.

Kemungkinan penggunaan instrumen lain untuk mengatasi bencana Karhutla adalah instrumen dana Bantuan Desa yang cukup besar sekitar Rp 1 miliar per desa. Kepala Desa yang lalai memantau potensi bencana karhutla yang ada di daerah yang menjadi tanggung jawabnya, dikategorikan kinerjanya kurang baik. Konsekuensinya,  dikurangi bantuan desanya sampai penangguhan sementara  tentu dengan kesepakatan antara instansi yang terkait.

Mengingat kompleksnya permasalahan karhutla serta dampaknya bagi masyarakat, maka perlu ada upaya yang menyeluruh yang komprehensif  yang harus melibatkan semua pihak yang terkait  baik dari segi penegakan hukum, pemerintah segi teknis maupun  sosial ekonomi  serta dampaknya sehingga kualitas lingkungan kita pun akan senantiasa terjaga.

Semoga di tahun-tahun mendatang kita tidak lagi disibukkan oleh masalah karhutla dan bencana asap yang ditimbulkan.