Pemanfaatan hasil inovasi Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupa tanaman murbei unggul SULI 01 dan ulat sutera unggul PS 01 berhasil meningkatkan produktivitas benang sutera yang dihasilkan petani. Konsistensi pemanfaatan kedua produk unggulan tersebut bisa meredam gempuran sutera impor yang kini memasok hingga 95% dari kebutuhan dalam negeri.
Kepala Pusat Litbang Hutan BLI KLHK Krisfianti L Ginoga menyatakan implementasi inovasi ulat sutera unggul dan tanaman murbei unggul telah berhasil di tingkat tapak.
“Inovasi ini menjadi jawaban atas permasalahan utama dalam usaha persuteraan alam di Indonesia, yaitu rendahnya produksi kokon yang dihasilkan petani,” katanya saat Peluncuran Teras Inovasi di Bogor, Kamis (21/11/2019).
Saat ini produksi kokon sutera oleh petani sekitar 25 kilogram per box telur ulat. Dampaknya pendapatan petani belum optimal. Selain itu, kualitas kokon yang dihasilkan pun belum memenuhi kriteria sebagaimana yang diinginkan oleh pengrajin sehingga impor benang masih berlangsung di beberapa daerah. “sekitar 95% kebutuhan benang sutera masih diimpor,” kata Krisfianti.
Sejak diluncurkan pada tahun 2013 kedua inovasi persuteraan itu telah dilakukan berbagai uji coba pemanfaatan di lapangan. Selama kurang lebih 6 tahun berjalan hingga saat ini, kedua inovasi ini terbukti dapat meningkatkan produksi kokon sebesar 39% dari produksi ulat sutera pada umumnya, serta menghasilkan 20% lamen benang lebih panjang.
Keberhasilan ini dibuktikan oleh Kelompok Tani di Sukabumi dan Garut, Jawa Barat. Dengan demikian Petani sutera bisa mendapatkan alternatif tambahan pendapatan melalui produk kokon, benang sutera dan kain.
Secara makro dalam 1 box telur menghasilkan sekitar 40 kg kokon, setara dengan 4 kg benang atau 40 m kain. “ Pada gilirannya pengembangan sutera alam berpeluang mengurangi ketergantungan impor kapas untuk bahan baku kain,” kata Krisfianti.
Inovator BLI KLHK Lincah Andadari menjelaskan keunggulan SULI. Menurut dia, kondisi iklim Indonesia mendukung tumbuhnya tanaman murbei sebagai pakan ulaat sutera sepanjang tahun. Meski demikian, produktivitasnya ternyata berfluktuasi. “Ternyata masalahnya adalah penggunaan satu bibit untuk kondisi yang beragam oleh petani,” katanya.
Untuk merespons hal itu, Lincah menyatakan, pihaknya mengembangkan bibit tanaman murbei yang bisa beradaptasi dengan kondisi alam yang berfluktuasi.
Sementara untuk ulat sutera unggul PS 01, Lincah menceritakan, pengembangannya juga dilakukan berdasarkan kebiasaan budidaya yang dilakukan petani. Menurut Lincah, PS 01 dikembangkan dari jenis ulat sutera unggul yang juga dihasilkan BLI KLHK yaitu BS. Jenis ulat sutera itu menghasilkan filamen sutera yang bagus dan produktivitasnya pun tinggi.
“Tapi varietas BS ternyata butuh kondisi optimal untuk bisa menghasilkan kokon sutera yang baik. Sementara di lapangan, petani terkadang tidak bisa menyediakan kondisi yang dibutuhkan,” katanya.
Maka dikembangkanlah jenis unggul PS 01. Ulat sutera PS 01 lebih fleksibel dan adaptif dengan kondisi pemeliharaan di lapangan namun produktivitas dan filamen yang dihasilkan tetap sangat baik.
Menurut Lincah, untuk bisa menghasilkan sebuah inovasi seperti SULI 01 dan PS 01, butuh proses yang panjang. Mulai dari uji laboratorium, uji lapangan hingga uji calon pengguna memakan waktu bertahun-tahun. “Prosesnya dimulai sejak tahun 2009,” kata Lincah.
Dia menekankan, sebuah inovasi baru sukses jika sudah melewati uji pengguna. “Kalau hasilnya konsisten dari uji laboratorium dan uji lapangan. Itu inovasinya berhasil,” kata Lincah. Sugiharto