Sinyal Positif Dari Industri Manufaktur di Tengah Resesi Global

Dalam situasi global yang belum stabil, dimana dua ekonomi besar dunia, Jepang dan Inggris, justru masuk dalam gelombang resesi, perekonomian Indonesia masih tetap tumbuh dan tampak terkendali, termasuk sektor industri manufaktur.
Rata-rata pertumbuhan PDB industri manufaktur Indonesia mencapai 3,44 persen (2014-2022), lebih tinggi dari pertumbuhan dunia maupun OECD (data world bank), dengan kontribusi mencapai 19,9 persen. Nilai Manufacturing Value Added Indonesia tahun 2021 yang mencapai USD288 miliar (data UNStats), menunjukkan Indonesia merupakan salah satu power house manufaktur dunia.
Ekspor produk Industri nonmigas menyumbang 72,24 persen ekspor Indonesia (tahun 2023). Penyerapan tenaga kerja hingga 19,29 juta orang (naik 23,5 persen dibandingkan 2014), dan investasi sektor industri yang mencapai Rp3.031,85 triliun selama satu dekade menunjukkan bahwa industri manufaktur tetap kuat dalam menghadapi resesi global saat ini.
Sementara itu, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur menunjukkan selama 29 (dua puluh sembilan) bulan berturut-turut Indonesia mengalami ekspansi. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Indeks Kepercayaan Industri sejak dirilis November 2022 hingga Februari 2024 ini.
“Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Februari 2024 mencapai 52,56, meningkat 0,21 poin dibandingkan Januari 2024,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan saat rilis IKI Februari di Jakarta, Kamis (29/02/2024).
Febri menjelaskan, kenaikan IKI pada Februari ini dipengaruhi oleh peningkatan nilai IKI pada 15 subsektor. Selain itu, Pemilu 2024 yang telah berlangsung juga merupakan faktor yang membuat ekspektasi pelaku usaha terhadap perekonomian domestik menjadi lebih optimis. Faktor musiman bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri mendatang juga mendukung naiknya optimisme para pelaku industri, terutama di subsektor industri makanan dan minuman, pakaian jadi, serta kendaraan bermotor. “Sehingga kami memprediksi IKI pada Maret 2024 akan meningkat dibandingkan Februari 2024,” imbuhnya.
Kondisi umum kegiatan usaha di bulan Februari 2024 lebih baik dibanding bulan Januari 2024. Hal ini dilihat dari persentase responden yang menjawab kondisi usahanya meningkat naik dari 30,1 persen menjadi 31,7 persen, atau responden yang menjawab meningkat dan stabil naik dari 76,4 persen menjadi 76,8 persen.
Demikian juga dengan optimisme pelaku usaha 6 bulan ke depan juga sangat baik, naik lagi dari 67,6 persen pada Januari 2024 menjadi 71,0 persen di Februari. Level pesimisme juga turun, dari 10,6 persen di bulan sebelumnya menjadi hanya 7,9 persen. Nilai ini menunjukan persepsi terbaik sejak IKI dirilis.
Jumlah subsektor industri yang mengalami ekspansi menjadi 17 subsektor dengan kontribusi terhadap PDB triwulan IV – 2023 sebesar 87,91 persen. Nilai IKI terbesar atau ekspansi terbesar masih dialami oleh industri minuman, disusul oleh subsektor industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri makanan, industri barang galian bukan logam, dan industri farmasi, obat kimia dan tradisional.
Apabila dilihat dari variabel pembentuk IKI, peningkatan nilai IKI berasal dari peningkatan variabel persediaan produk (3,48 poin) dan pesanan baru (0,97 poin). Adapun variabel produksi mengalami penurunan hingga pada 50,45 (turun 3,23 poin), meskipun masih pada level ekspansi. Kondisi ini menggambarkan bahwa industri pengolahan nonmigas pada bulan Februari masih menghabiskan hasil produksi periode sebelumnya.
Lebih lanjut, Febri menjelaskan beberapa subsektor yang mengalami penurunan produksi yang signifikan yaitu subsektor industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki; industri minuman; industri pengolahan tembakau; industri karet, barang karet dan plastik; industri makanan; industri barang logam bukan mesin; industri pakaian jadi; industri kendaraan bermotor, trailer; industri farmasi, obat kimia dan tradisional, dan seterusnya. “Penurunan aktivitas produksi ini mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja industri,” jelas Febri.
Secara umum, faktor dominan yang menyebabkan pelaku usaha menurunkan produksinya adalah penurunan pesanan, tingkat ketersediaan produk, ketersediaan bahan baku/penolong, dan faktor musiman. Krisis di Laut Merah yang telah disebutkan tadi menyebabkan peningkatan biaya logistik dan waktu pengiriman produk beberapa subsektor, seperti pada industri kayu dan barang dari kayu.Buyung N