Sejumlah kelompok investasi Eropa, yang tahun lalu mengancam menarik dana dan melakukan divestasi dari Brasil karena meningkatnya deforestasi di negeri tersebut, ternyata hanya ‘omdo’ alias omong doang. Bahkan, data yang ada menunjukkan kecepatan deforestasi di hutan hujan Amazon mencapai titik terburuk sejak tahun 2006.
Peritel makanan Eropa seperti Tesco dan M&S dari Inggris, juga menghindari diri dari mengancam boikot produk Brasil. Alasannya, mereka sekarang mendukung satu pendekatan terpadu oleh industri dan pemerintah untuk menghentikan pembabatan hutan hujan terbesar di dunia itu.
Kurangnya tindakan dari dunia bisnis ini memicu kekhawatiran soal komitmen para pengelola dana (asset manager) dan riteler untuk mengambil tindakan efektif jika target-target lingkungan tidak terpenuhi. Hal ini juga memicu kekhawatiran bahwa pemerintahan Presiden Brasil Jair Bolsonaro — yang sejak lama dikenal sebagai pendukung dibabatnya hutan untuk kepentingan komersial — makin berani jika yakin boikot tidak terjadi.
“Data terkini menyoroti bahwa perubahan sesungguhnya sayangnya belum terjadi (di hutan Amazon Brasil). Ini makin mengkhawatirkan kami karena kami tidak mau dituduh “terlibat pencucian” — yang artinya melakukan dialog agar terlihat bagus, tapi tidak mencapai kemajuan yang nyata,” kata Thede Rüst, kepala divisi utang negara pasar berkembang di Nordea Asset Management — salah 1 dari 2 kelompok investasi dari 7 kelompok yang menindaklanjuti ancaman mereka melakukan divestasi.
“Jika tidak ada apa-apa, (maka) ini kemungkinan berpotensi membahayakan keterlibatan di masa depan karena negara-negara belajar bahwa mereka bisa menangkis berbagai kritik dengan ikut terlibat tapi tidak mengambil tindakan,” papar Rüst, seraya menyebut Nordea pada Agustus 2020 telah melepas saham mereka di raksasa industri daging Brasil, JBS senilai 40 juta dolar AS akibat catatan buruk lingkungan perusahaan tersebut, demikian seperti ditulis Financial Times.
Pada Juni 2020, puluhan lembaga keuangan di seluruh dunia menulis surat ke pemerintah Brasil, yang isinya menuntut Bolsonaro mengatasi lonjakan deforestasi yang mereka sebut telah menciptakan “ketidakpastian yang luas mengenai kondisi untuk berinvestasi atau memberikan layanan keuangan untuk Brasil.”
Sebanyak 7 perusahaan — termasuk pengelola dana pensiun Norwegia, KLP, dan Legal & General Investment Management, Inggris — secara tegas mengancam melepas saham yang dipegang dari perusahaan peternakan dan pengolahan daging serta trader biji-bijian yang dikaitkan dengan deforestasi serta obligasi pemerintah Brasil, jika situasinya tidak juga membaik.
Jeanett Bergan, saat itu kepala investasi KLP, mengatakan kepada Reuters saat itu bahwa divestasi bisa terjadi “secepatnya tahun ini (2020).”
Namun, sejak itu, deforestasi terus meningkat. Lebih dari 13.200 km2 hutan Amazon dibabat selama 12 bulan sejak Agustus 2020 sampai Juli 2021 — naik 22% dari periode sebelumnya dan menjadi angka deforestasi tertinggi selama 15 tahun — menurut data dari National Institute for Space Research, Brasil.
Pembukaan hutan biasanya dilakukan untuk padang pengembalaan ternak, perkebunan kedele atau penambangan emas — di mana banyak produknya masuk dalam rantai pasok yang lemah pengaturannya ke pasar internasional.
Dari tujuh kelompok itu, hanya Nordea dan Robeco (Belanda) yang melakukan divestasi pada tahun lalu, di mana mayoritas perusahaan yang mengancam kini mengatakan mereka mendukung “keterlibatan” — terutama setelah pertemuan puncak iklim COP-26 Glasgow, di mana Brasil mendapat banjir pujian karena berjanji memberantas deforestasi ilegal pada tahun 2028.
“Pengecualian dan kepemilikan aktif merupakan dua alat yang sama-sama penting yang kami miliki sebagai investor. Divestasi bisa jadi solusi, meski tidak selalu. Terkadang keterlibatan (engagement) malah membawa kita lebih mendalam,” ujar Sara Skärvad dari Storebrand, yang jadi ketua bersama (co-chair) Investor Policy Dialogue on Deforestation (IPDD) — sebuah kelompok penekan investor.
Graham Stock, mitra di BlueBay Asset Management — yang juga terus berdialog dengan pemerintah Brasil sebagai ketua bersama lainnya di IPDD, berkata: “Saya tidak berpikir kami harus menyerah dengan keterlibatan.” Ditambahkannya, data baru memperlihatkan penurunan kebakaran hutan di Amazon dalam tiga bulan terakhir menunjukkan munculnya “sebuah gambaran yang sedikit lebih baik”.
“Klien kami ingin mendengar soal keterlibatan. Mereka tidak memperkecil minat mereka di Brasil mengenai masalah tunggal ini. Ada banyak unsur dalam kisah ESG (lingkungan, sosial dan tata kelola). Penarikan investasi bakal jadi instrumen yang majal dan sebuah reaksi berlebihan,” paparnya.
KLP, Storebrand dan pengelola dana Inggris, LGIM mengatakan pada Financial Times bahwa tahun lalu mereka belum melakukan divestasi dari Brasil terkait dengan masalah lingkungan. Sedangkan pengelola dana pensiun Swedia, Ap7 mengatakan tidak melakukan divestasi, tapi mengatakan mereka telah “memasukkan JBS dalam daftar hitam selama dua tahun silam” karena masalah praktik perburuhan.
DNB Asset Management yang berbasis di Oslo mengatakan, mereka “sebelumnya telah mengeluarkan” perusahaan-perusahaan berdasarkan risiko deforestasi, dan berbagai perusahaan Brasil yang berhubungan dengan deforestasi ilegal bukan bagian dari mandat yang dikelola secara aktif. Mereka juga menyebut sedang “melakukan dialog” dengan kelompok bisnis Bunge, yang masuk dalam indeks dana yang dikelola DNB Asset.
Semua kelompok investasi yang bicara dengan Financial Times menyatakan masih akan mempertimbangkan melakukan divestasi jika Brasil tidak mengambil tindakan lebih lanjut.
JBS sendiri tidak memberi tanggapan. Bunge mengatakan, “sumber kedele mereka tidak berasal dari kawasan yang dideforestasi secara ilegal” dan tetap “komit dengan rantai pasok yang lestari.”
Masalah ini menjadi lebih mendesak dalam beberapa pekan belakangan setelah diajukannya RUU dari Brussels yang akan melarang impor produk-produk pertanian masuk ke Uni Eropa, termasuk daging sapi dan kedele, yang berasal dari lahan deforestasi.
Jika RUU ini lolos jadi UU, maka akan sangat mempengaruhi industri daging kemasan Brasil, seperti JBS dan Marfrig, serta trader komoditi biji-bijian internasional seperti Cargill, yang mempertahankan pengoperasian atau sumber produk di Amazon Brasil dan kawasan savana Cerrado.
“(RUU UE) itu sendiri mengirim sebuah pesan kuat ke pasar apa yang diharapkan,” ujar Jan Erik Saugestad, CEO Storebrand, seraya menambahkan perusahaannya masih bisa mendivestasi “jika hasilnya gagal.”
Beberapa peritel makanan juga telah mundur dari ancaman boikot sebelumnya. Tahun lalu, lebih dari perusahaan Eropa, termasuk Tesco dan Marks and Spencer, memperingatkan bahwa mereka bisa memboikot produk Brasil jika RUU reformasi agraria — yang diperkirakan bakal meningkatkan deforestasi Amazon — diloloskan Kongres.
Meski RUU itu tidak berkembang, namun deforestasi tetap saja meningkat. Banyak perusahaan yang kini mengatakan perlu adanya tekanan terpadu oleh pemerintah dan pengusaha untuk mengatasi masalah ini.
“Kami komit memainkan bagian kami dalam mengatasi deforestasi, tapi kami juga butuh seluruh industri pangan dan pemerintah bergabung dengan kami,” ujar jubir Tesco. AI