Pemerintah harus bergerak cepat menindaklanjuti keputusan penataan kawasan hutan di Jawa dari tangan Perum Perhutani. Pasalnya, di lapangan mulai terjadi konflik. Masyarakat memulai mematok lahan hutan dengan harapan bisa menjadi hak untuk dikelola berdasarkan kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Keputusan Menteri LHK Siti Nurbaya menerbitkan SK.287/MenLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 pada 5 April 2022, yang memangkas hampir separuh konsesi hutan Jawa dari tangan Perum Perhutani, tak hanya mendapat penolakan dan meresahkan karyawan Perum Perhutani, tapi juga memicu konflik di tingkat tapak. SK yang secara teknis dinilai banyak masalah ini, di lapangan telah memicu aksi pematokan kawasan hutan oleh masyarakat dengan harapan bisa dikelola berdasarkan payung hukum Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Konflik ini dikemukakan oleh Sekjen Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P), Sugito. “Ada pemasangan patok dengan klaim KHDPK yang harapannya akan menjadi haknya,” katanya, pekan lalu. Padahal, selain akses pengelolaan hutan melalui skema perhutanan sosial, masyarakat harus paham KHDPK juga untuk penataan untuk pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, atau pemanfaatan jasa lingkungan.
Sugito sendiri tidak menyebutkan berapa banyak aksi pematokan yang terjadi sejak keluarnya keputusan pemerintah, tapi Sugito mengaku karyawan Perhutani memang resah dengan ketidakjelasan yang disebabkan oleh SK.287/2022 tersebut.
Keresahan yang sama juga dikemukakan Dirut Perhutani Wahyu Kuncoro. Sebagai badan usaha, Perhutani butuh kepastian usaha, terutama soal kawasan hutan yang dikelolanya. Apalagi, investasi hutan bersifat jangka panjang. “Untuk itu, Perhutani memerlukan kepastian kelola kawasan hutan karena investasinya bersifat jangka panjang,” tegas Wahyu dalam dalam seminar “KHDPK dan Eksistensi Hutan Jawa” di Kampus UGM, yang disiarkan live di YouTube, Sabtu (28/5/2022).
Desakan direksi dan karyawan Perhutani ini masuk akal. Pasalnya, SK.287/2022 dinilai pengamat hukum Totok Dwi Diantoro berpotensi melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan UU Cipta Kerja (UUCK) melanggar UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Selain itu, segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas ditangguhkan dan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bersifat strategis dan berdampak luas terkait UUCK.
Nah, SK.287/2022 merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan merupakan turunan dari UUCK. Selain itu, SK.287/2022 juga dinilai aneh karena tidak menyertakan peta KHDPK, meski dalam amar kesatu SK tersebut, peta KHDPK merupakan lampiran yang tidak terpisahkan.
Namun, Sekjen KLKH Bambang Hendroyono mengatakan tidak ada yang salah dengan SK tersebut. Kebijakan itu bagian dari corrective action untuk memulihkan lingkungan dan ekonomi berbasis bentang alam. Selain itu, KLHK tidak melanggar putusan MK terkait UUCK karena yang harus ditangguhkan adalah ketentuan setingkat PP. Kebijakan KHDPK juga mengacu ke UU 41/1999 dan peraturan turunannya. “Kami sudah konsultasi dengan Kemenkumham, tidak ada masalah,” katanya. AI